Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 10 January 2017

KAJIAN – Benarkah Al-Qur’an Menafikan Adanya Syafaat di Akhirat?


islamindonesia.id – KAJIAN – Benarkah Al-Qur’an Menafikan Adanya Syafaat di Akhirat?

 

Secara umum, siapa pun pelakunya, suatu tindak kejahatan layak mendapatkan sanksi. Namun, adakalanya seorang hakim menganggap perlu mengganti suatu jenis sanksi dengan sanksi lain yang boleh jadi lebih ringan karena alasan-alasan tertentu menurut hakim.

Seperti misalnya, permohonan pelaku kejahatan agar ia diberi keringanan sanksi atau ia memohon pertolongan sang hakim dengan cara menyuapnya. Mungkin juga si pelaku kejahatan mendatangkan seorang yang dapat menjadi perantara antara dia dengan sang hakim sehingga tidak bersikap adil, memihak terdakwa dan pada akhirnya menetapkan keputusan hukum yang bertentangan dengan fakta sebenarnya.

[Baca juga:  TASAWUF – Film Kehidupan]

Ketidakadilan serta keberpihakan sang hakim kepada pelaku kejahatan ini akan semakin parah jika kepentingan pribadi sang hakim lebih besar daripada kepentingannya menegakkan hukum. Demikianlah gambaran yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia di dunia ini.

Dan seperti diketahui, dalam kehidupan ini, sebab timbulnya sistem kekuasaan adalah keniscayaan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya atau memperoleh berbagai manfaat darinya, termasuk di antaranya pemberian ganjaran atau sanksi.

Dari sini para penganut kepercayaan kuno dari kalangan penyembah berhala berkeyakinan bahwa kehidupan akhirat mirip dengan kehidupan dunia ini, di mana sistem kekuasaan, relasi pengaruh dan faktor-faktor material juga berlaku di sana.

Mereka beranggapan bahwa seperti halnya di dunia, mereka di akhirat nanti dapat mempersembahkan sesajen, kurban, upeti dan hadiah-hadiah lainnya – yakni memohon syafaat kepada sembahan-sembahan mereka – agar kesalahan-kesalahan mereka dapat diampuni atau permohonan mereka dikabulkan.

Tidak jarang mereka membekali jenazah yang hendak dikuburkan dengan berbagai jenis senjata, azimat atau benda-benda bertuah lainnya. Bahkan, sebagian ada yang menyertakan foto wanita cantik atau pahlawan yang mereka kira dapat dimintai tolong bersama jenazah tersebut.

[Baca juga: KAJIAN – Kematian: Ketiadaan atau Perpindahan?]

Al-Qur’an dengan tegas membantah anggapan-anggapan seperti ini dengan menyatakan bahwa Hari Kiamat nanti segala sesuatu tunduk dan patuh dalam perintah kendali Allah. Ketika mereka melihat siksa, segala hubungan-hubungan mereka dengan yang lain terputus sama sekali.

Pada saat itu mereka datang menghadap Allah Swt, sendiri-sendiri sebagaimana awal mula mereka diciptakan. Mereka telah meninggalkan di alam dunia apa yang telah Allah karuniakan kepada mereka.

Tiada lagi satu pun pemberi syafaat yang dahulu ketika di dunia mereka anggap sebagai sesembahan atau faktor yang mereka persekutukan di sisi Allah Swt. Pada Hari Kiamat itu pertalian antara sesama makhluk benar-benar terputus dan yang dahulu mereka anggap sebagai sekutu Allah telah lenyap serta tidak berpengaruh sama sekali.

Allah di dalam kitab-Nya menegaskan bahwa keadaan di akhirat nanti berbeda dengan kehidupan dunia. Dia menafikan satu per satu anggapan-anggapan salah mereka seperti dalam ayat:

“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka  akan ditolong.” [Al Baqarah: 48]

“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafaat kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” [Al Baqarah: 123]

Demikianlah ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas menafikan adanya syafaat serta pengaruh sebab-sebab materi atau para perantara di Hari Kiamat nanti. Meski demikian, Al-Qur’an tidak menafikan adanya syafaat secara total.

Tidak sedikit ayat-ayat yang juga menegaskan bahwa dalam kondisi tertentu di Hari Kiamat nanti terdapat syafaat. Allah berfiman:

“Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfaat kepada karibnya sedikitpun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” [Ad Dukhan 41-42]

“…Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, …” [Al Baqarah: 255]

“Dan syafaat di sisi-Nya hanya berguna bagi orang yang telah diizinkan-Nya” [ QS. Saba’: 23]

Sebagaimana Anda lihat, kelompok ayat-ayat di atas menyatakan bahwa kuasa syafaat yang hanya dimiliki Allah Swt. Itu juga diberikan-Nya kepada selain-Nya, dan tentunya atas izin serta restu dari-Nya.

[Baca juga:  TASAWUF –  Merenung, Syarat Utama Pesuluk Ruhani]

Lalu apa makna syafaat sebenarnya? Syafaat dalam bahasa Arab bersal dari akar kata yang menunjukkan arti genap (syafa’) lawan dari ganjil (witr). Dalam hal ini seakan-akan pemberi syafaat menggenapkan yang lain – setelah sebelumnya masing-masing dari mereka ganjil, sendiri-sendiri – dengan sesuatu yang tidak dimiliki si pemohon syafaat sehingga gabungan mereka berdua menjadi lebih kuat dalam mencapai apa yang diinginkannya.

Perbedaan  mendasar antara syafaat yang benar dan yang keliru ialah bahwa syafaat yang benar itu berangkat dari Allah dan berakhir pada orang yang berdosa. Sedangkan syafaat yang keliru bertolak belakang dengan itu.

Pada syafaat yang benar, seorang yang diberi syafaat (masyfu’) memperoleh syafaatnya dari sisi Allah, sebagai Zat yang menetapkan dan menciptakan perantara syafaat (syafi’). Sedangkan pada syafaat yang batil, peminta syafaat (orang yang berdosa) justru menetapkan dan memberdayakan perantaraan untuk dirinya sendiri.

Pada syafaat yang batil, yang banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini, perantara syafaat memperoleh status keperantaraan dari pelaku kesalahan dosa itu sendiri. Karena dialah yang mendorong si perantara untuk mendapatkan syafaat baginya.

Artinya, peminta syafaat (pelaku dosa) adalah pihak yang mengangkat perantara syafaat. Adapun dalam syafaat yang benar, yang tepatnya diperantarai oleh para nabi, wali, serta yang dekat dengan Allah, perantara syafaat memperoleh status keperantaraannya dari Allah Swt.

[Baca juga-  Makna di Balik Maulid, Habib Lutfi: Jika Nabi Manusia Biasa, Lalu Kita Ini Apa?]

Artinya, Allah-lah yang menjadikanya sebagai perantara pemberi syafaat. Jadi, syafaat yang menyeleweng ialah syafaat yang menempatkan perantara syafaat (Syaafi’) di bawah pengaruh peminta syafaat (orang yang berdosa), dan Pemberi syafaat (Allah) berada di bawah pengaruh perantara syafaat.

Syafaat yang benar sepenuhnya berkebalikkan dari itu karena, Pemberi syafaat itulah yang mengefektifkan pengaruh perantara syafaat. Dengan iradah Allah, perantara syafaat dapat menyalurkan ampunan Allah kepada peminta syafaat (pendosa). Rangkaian gerak rahmat lah pada syafaat yang batil dimulai dari pendosa, sedangkan pada syafaat yang benar dimulai dari Allah.

Dan memang, untuk selamat di akhirat, kita tidak mungkin bersandar semata-mata pada ketakwaan dan amal saleh kita sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah di akhir hayatnya: “Demi Yang mengutusku dengan benar, tidak akan selamat (seseorang), kecuali dengan amal saleh dan rahmat.” <!>

[Baca juga: TASAWUF – Muhammad Sang Cahaya ]

 

YS/ MM/ Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *