Satu Islam Untuk Semua

Monday, 09 January 2017

TASAWUF – Muhammad Sang Cahaya


islamindonesia.id – TASAWUF – Muhammad Sang Cahaya

 

Nur (cahaya) adalah penerang kegelapan. Yang terpekat dari semua kegelapan adalah kebodohan. Karenanya, penerang ruang gelap kebodohan mestilah nur yang paling terang, yang mampu mencerahi segenap titik gelap kehidupan.

Dan itulah yang oleh para sufi disebut sebagai “Nur Muhammad”, yang dengannya kebodohan umat manusia dapat dicerahkan dan kemanusiaannya dapat dikukuhkan. Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuk” (QS. Al-Maidah: 15-16).

[Baca juga: Pidato Maulid Nabi di Pekalongan, Mufti Suriah: Teladan dari Rasul Mengasihi Bukan Mengebom]

Dalam dua ayat tersebut, Allah mengatakan pancaran Nur Muhammad dengan dasar-dasar mistis Islam: “Kitab yang jelas (kitabun mubin)”, “jalan keselamatan (subul as salam)”, “petunjuk (yahdi bihi)”, dan “jalan yang lurus (shiratal mustaqim)”. Dengan kata lain memahami “kitab realitas”, manusia memerlukan perantaraan cahaya kenabian, yang dalam hal ini adalah Nur Muhammad.

Adalah mustahil melihat apalagi membaca dan memahami ayat dan petunjuk alam semesta dalam kegelapan. Kerenanya, sebagai cahaya Ilahi, Muhammad diutus untuk “menjelaskan (liyubayyina)” seluruh tanda dan petunjuk alam ciptaan (QS. Ibrahim: 4).

Itulah pula mengapa kenabian Muhammad dimulai dengan sebuah titah: Iqra bismi rabbika (Bacalah dengan nama Tuhanmmu)! Mulailah segala sesuatu dengan perspektif Ilahi (dengan nama Tuhanmu) yang menyeluruh.

Tanpa perspektif tersebut, segala sesuatu akan tampak acak dan kabur. Dengan mudah orang akan kehilangan konteks dan tujuan, lalu terjerat dan tersesat oleh rumitnya pantulan-pantulan realitas.

Minat yang kuat pada detail, pantulan, atom, molekul, virus, kasus, bidang, isu dan segala hal yang partikular-individual mengemuka sebagai  pelarian yang alami. Dan dengan landasan trials and errors, misi penciptaan  manusia tersedot pada penyelidikan mengenai clueless nitty-gritty dan potongan-potongan informasi yang bertebaran.

Rasanya sulit membedakan orang seperti di atas dengan pejalan yang tertatih-tatih di dalam kegelapan. Keduanya akan sama-sama suka bermain dalam trials and errors lalu merasa aman dengan menjamah segala apa yang ada di depannya. Allah berfiman:

“Perumpamaan mereka, yaitu munafikin, seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekitarnya, Allah menghapus cahaya mereka itu, dan meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa dapat melihat.” (QS. Al Baqarah: 17)

[Baca juga: TASAWUF – “Quantum Being”]

Muhammad sebagai nur berkaitan erat dengan peta yang jelas (kitabun mubin) dan jalan yang lurus. Dengan batuan Nur Muhammad, petunjuk –petunjuk peta baru akan dapat terbaca dan perjalanan akan menjadi mudah. Sebaliknya, dalam kegelapan, peta takkan dapat terbaca dan semua petunjuk menjadi tak nyata.

Namun demikian, peta yang jelas dan pelita yang terang tidak akan berarti tanpa fungsi penglihatan yang baik pada pelaku perjalanan. Itulah mengapa, selain diutus sebagai nur yang menerangi alam, Muhammad juga diutus untuk menerangi diri manusia. Allah berfirman:

Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah 151)

Atas dasar itu, kehadiran Muhammad sebagai pelita yang terang dan menerangi (sirajan muniran, QS. Al Ahzab: 46) bukan bersifat aksidental, melainkan inheren dan esensial, terhadap penciptaan alam semesta. Nur Muhammad adalah raison d’atre penciptaan alam semesta, lantaran tanpa nur itu, alam menjadi gelap dan manusia menjadi buta hingga sia-sialah penciptaan tersebut.

Dalam konteks inilah, kita dapat memahami makna hadis qudsi yang berbunyi, “Lawlaka ya Muhammad lama khalaqtu al aflak” (Tanpamu Hai Muhammad, tak akan Kucipta angkasa raya). Dalam hadis qudsi yang lain, Allah berfirman: “Pertama yang Kuciptakan adalah cahaya Muhamamd.”

Menurut Mulla Sadra, hadis di atas tidak bertentangan dengan hadis yang menegaskan akal sebagai awal ciptaan. Karena, akal dan Nur Muhammad mempunyai fungsi yang identik. Melalui keduanya, tujuan utama penciptaan, yakni pengenalan dan penyembahan kepada Allah, dapat tercapai.

Di ranjang kematiannya, Syibli melantunkan bait-bait puisi berikut ini:

Setiap rumah yang engkau diami

Tiada membutuhkan lampu sama sekali

Dan pada hari ketika bukti-bukti dibawakan

Maka buktiku adalah wajahmu

Dalam Mantiq Ath Thayr, Fariduddin Attar bersyair:

Yang pertama-tama muncul dari kedalaman Yang Tak Terlihat adalah cahaya beliau yang murni – tak perlu dipertanyakan dan tak perlu diragukan lagi.

Cahaya yang tinggi ini membuka tanda-tanda  – Tahta, Kursi, Pena dan Lembaran Catatan dengan demikian muncul.

Satu bagian dari cahayanya yang murni menjadi dunia, dan bagian lain menjadi Adam dan benih umat manusia.

Kendati demikian, betapa pun tingginya dan agungnya Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya untuk menerangi alam raya, beliau tetap harus ditegaskan sebagai ‘abduhu (hamba-Nya). Dan, menurut beberapa riwayat, predikat ‘abduhu ini memang demikian disenangi oleh Nabi Muhammad.

Sungguh, dalam kehambaan itu Nabi dan semua manusia menemukan kebebasan dari segala beban dan ketenangan yang tiada terkira, lantaran keyakinan si hamba bahwa Tuannya adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha  Penyayang.[]

[Baca juga: Makna di Balik Maulid, Habib Lutfi: Jika Nabi Manusia Biasa, Lalu Kita Ini Apa?]

 

YS/ MK/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *