Satu Islam Untuk Semua

Friday, 13 January 2017

KAJIAN – Alam Persepsi Manusia dalam Filsafat Islam


IslamIndonesia.id – KAJIAN – Alam Persepsi Manusia dalam Filsafat Islam

 

oleh Haidar Bagir

 

Mari kita mulai dengan tingkat pertama, yakni berpikir rasional, atau disebut juga berpikir logis, sama dengan analitis,  sama dengan diskursif. Terkait dengan persepsi inderawi, yang melewati ‘sensus communis’ (dalam bahasa Inggris: common sense, atau internal sense) – yakni bagian akal (mind) yang menggabungkan semua persepsi indera – untuk selanjutnya dicerna oleh bagian-bagian akal yang lebih tinggi, termasuk imaginative prehension, memory, dan cogitative.

Kata ‘rasional’ berasal dari kata ‘ratio’ (latin) yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan reason. Yakni nalar (logis). Logika adalah prosedur berpikir silogistik. Yaitu merumuskan kesimpulan (silogisme) melalui penyusunan premis mayor dan premis minor. Misalnya:

–  “Semua manusia pasti mati”

– “Socrates adalah manusia”

– Kesimpulan (silogisme)-nya: “Socrates pasti mati”

Jika prosedur silogismenya rigorous (ketat atau valid), hanya ada satu kebenaran rasional untuk setiap hal. Problemnya, pemikiran rasional punya domain yang terbatas. Dia bersifat  sepenuhnya ‘cerebral’. Soal cinta, misalnya, itu sudah di luar domain rasional.

[Baca juga:  Setelah 500 Tahun ‘Tertidur’, Iqbal Membangun Kembali Filsafat dalam Islam]

Dalam kaitan ini, iman yang belum mencapai level puncaknya, masih bersifat kognitif, dan merupakan hasil ratiocination (ta’aqqul). Tapi,  terkait dengan iman dalam makna puncaknya, rasiosinasi adalah precursor (pendahulu), yang ujungnya adalah pengalaman religius, yang melibatkan dzawq (spiritual tasting).

Ada lagi intuisi. Istilah ini punya dua makna. Yang pertama, kemampuan mencapai silogisme tanpa harus menyusun premis. (Jadi, logis juga, tapi dengan cara yang tidak biasa). Yang kedua, adalah daya khayal atau imajinal. Inilah daya yang terletak di atas yang rasional, tapi di bawah yang spiritual.

Kadang, meski tak tepat benar, daya intuitif disamakan dengan daya spiritual. Kadang juga daya spiritual disamakan dengan daya intelektual, sebagai dibedakan dari daya rasional.

Daya khayal terkait dengan imajinasi. Daya spiritual alatnya hati. Hati, menurut tasawuf, punya banyak tingkatan, yang urutan-urutannya dari yang paling rendah hingga tinggi adalah: qalb, fuad, sirr, khafiy, akhfa.

Awliya’ atau ‘urafa’, juga bermacam-macam tingkatannya. Yang paling tinggi telah mencapai daya akhfa (paling subtle).

Pengalaman religius atau mistis tidak bisa sepenuhnya, tapi bisa secara sebagian. Dengan kata lain, dengan bahasa yang merepresentasikannya, tapi tak identik dengannya. Bahasa untuk mengungkapkan pengalaman religius itulah yang disebut irfan.

Tokoh utamanya Ibn Arabi. Ciri-ciri bahasa irfan, analogis (mengandalkan musytarak al-lafzh alias homonimy, bukan musytarak al-ma’ na alias sinonim), simbolik, i’tibari dan hermeneutik atau ta’wili.

Di sisi lain, meski pemikiran logis tak dapat menjelaskan pengalaman religius, para pemikir iluminis (isyraqi) percaya bahwa setidaknya makna pengalaman religius tak boleh melanggar logika yang valid. Maka para pemikir aliran ini menerima kemungkinan verifikasi logis atas pengalaman religius.

Perlu dicatat, dalam Filsafat Islam, ada istilah  ‘takhayyul’  yang bermakna proses berpikir yang diterima, bahkan lebih intens dari pemikiran rasional. Yakni ber-“pikir” secara imajinal. Visi (vision) adalah bagian dari ‘takhayul’. Kata sebagian ahli, vision adalah mimpi dalam keadaan jaga.

[Baca juga: ‘Sulitnya Mengajarkan Filsafat di Indonesia’]

Memang mimpi yang benar (Alquran: al-ru’yah al-shadiqah) adalah salah satu bentuk takhayyul. Kebetulan, dalam bahasa Arab, ru’yah bisa bermakna vision atau pun mimpi.

Mimpi ada dua jenis, yang Freudian alias tidak real (disebut al-khayal al-muttashil alias dari dunia bawah), sedang mimpi yang benar (disebut al-khayal al-munfaahil alias dari dunia “atas”).

Masing-masing daya itu berkorespondensi dengan alam-alam (realm) yang terkait. Indera (dan rasio) dengan alam empiris (khalq/ syahadah/ thabi’i/ nasut). Khayal atau imajinasi dengan alam imajinal/ khayal/ barzakh (malakut), sedang daya spiritual (dzawq) dengan alam spiritual (jabarut).

Berbagai daya itu, rasional, imajinal,  dan spiritual, adalah sama secara esensial, tapi beda tingkatan. Meski kadang sufi seperti Imam Ghazali terkesan (kadang beliau juga mengesankan lain) mempertentangkan. Dan, dalam proses normal, ketiganya punya peran sendiri-sendiri. Kecuali dalam fenomena jadzb.

Soal jadzb ini juga mesti dikasih catatan. Semua pengalaman religius atau mistik mesti mengandung jadzb (maka wali atau ‘arif disebut al-‘ arif bil-Lah, bukan al-‘arif ila-Lah. ‘Araftu Rabbiy bi Rabbiy, kata Nabi saw). Tapi ada pesuluk yang mencapai Allah sebagai salik majdzub (lewat proses suluk), ada majdzub salik (tanpa suluk, ditarik begitu saja oleh Allah). Yang terakhir ini yang di masyarakat biasa disebut sebagai majdzub alias majedub.

Dzawq adalah daya yang menggabungkan akal dan akhlak: akal budi. Sejalan dengan itu, capaiannya oleh Al-Qur’an disebut hikmah, kebijaksanaan yang mencakup penguasaan ilmu dan ketinggian akhlak.[]

[Baca juga: TASAWUF – Benarkah Kaum Sufi Meremehkan Syariah?]

 

YS / IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *