Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 18 June 2015

‘Sulitnya Mengajarkan Filsafat di Indonesia’


“Aku malu kalau hanya terlihat jago berteori tapi tidak berani menyentuh tugas praktis,” tulis Plato dalam sebuah suratnya. Filosof asal Athena tersebut menjawab positif usulan mantan muridnya untuk kembali ke Syracuse dan mendidik penguasa di sana, Dionysius Muda. Plato tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menunjukkan betapa penting ilmu-ilmunya.

Namun, nafsu Dionysius untuk menjadi seorang tirani lebih kuat dari pada seleranya untuk mengejar kebenaran. Setelah melarikan diri dari penangkapan, Plato meninggalkan Syracuse untuk kembali ke Academy di Athena.

Carlos Fraenkel, peneliti filsafat Islam dan Yahudi abad pertengahan yang kini mengajar di Universitas McGill, juga ingin menguji keyakinannya bahwa filsafat dapat dipraktikkan di luar tembok-tembok akademi. Antara 2006 dan 2011, ia mengajar filsafat di berbagai negara dan kultur: mahasiswa Universitas Al-Quds; pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Indonesia; pelajar di timur laut Brasil, hingga suku Mohawk di perbatasan Amerika Serikat-Kanada

Pengalaman tersebut ia anggap sebagai sebuah “perjalanan intelektual”. Sebuah perjalanan yang diawali dengan membuka cakrawala pemikiran murid-murid Muslimnya yang menafsirkan Islam dengan pendekatan filosofis.

Fraenkel menggiring mereka untuk mendiskusikan Abu Bakar Ar-Razi, ilmuwan luar biasa abad sembilan yang menyebut Socrates sebagai “pemimpinku”. Atau Al-Farabi, filosof Muslim abad sepuluh, yang mendamaikan penggunaan akal dan wahyu untuk menjamin kebenaran keyakinan lain.

Tak ubahnya Plato, Fraenkel menghadapi pengaruh tekanan politik dan rasa takut akan kebebasan berpikir. Ketika Fraenkel menantang murid-muridnya di Indonesia untuk merenungkan apakah Islam sesuai dengan pluralisme dan demokrasi, ia justru dihadapkan dengan batasan kebebasan mengkritisi di negara yang prinsip pertamanya adalah keyakinan terhadap Tuhan yang Mahaesa.

Rekan Fraenkel asal Indonesia di universitas tersebut berkata, “Paradoksnya, hanya universitas Barat yang memberi ruang kebebasan berpikir untuk mempelajari tradisi Islam yang kaya dan dinamis dalam segala manifestasinya.”

Dalam salah satu bagian bukunya, Teaching Plato in Palestine, Fraenkel berpindah dari sebuah kisah perjalanan menuju semangat pembelaan terhadap filsafat sebagai sebuah bahasa nalar universal yang dapat memutus batasan budaya dan agama. Tak sekedar memberikan perlindungan di balik relativisme budaya, ia yakin filsafat akan membuat kita kritis pada keyakinan sendiri sehingga dapat meningkatkan kapasitas diri untuk mengartikulasikan kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain.

(Ali Reza/The Wall Street Journal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *