Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 22 December 2016

TASAWUF – Benarkah Kaum Sufi Meremehkan Syariah?


islamindonesia.id – TASAWUF – Benarkah Kaum Sufi Meremehkan Syariah?

 

Menurut Dr. Haidar Bagir, di antara salah satu masalah yang kontroversial tentang tasawuf adalah anggapan bahwa kaum sufi menyepelekan keharusan menaati kewajiban-kewajiban syariah (fiqhiyyah). Dan barangkali, kata Haidar, tak ada anggapan tentang tasawuf yang lebih salah dari ini.

“Tak ada satu pun tokoh tasawuf sepanjang sejarah yang pernah menyatakan atau menunjukkan sikap meremehkan syariah. Yang sebaliknya justru merupakan suatu ciri menonjol tasawuf,” kata pria yang juga dosen Tasawuf dan Filsafat Islam ini.

Kaum sufi pada saat yang sama justru dikenal sebagai‘âbid atau ‘ubbâd (para ahli ibadah, mahdhah atau ritual). Bahkan, dalam pandangan mereka, tak ada jalan lain untuk menempuh tasawuf (biasa disebut juga tharîqah) kecuali melalui penyelenggaraan ibadah-ibadah syar‘i seperti ini.

“Makin sufi seseorang, makin intens ibadah-ibadah dilakukannya. Atau, diungkapkan secara lain, tingkatan kesufian seseorang justru ditentukan oleh intensitas ibadahnya,” katanya.

>> Cak Nun dan Noe ‘Letto’, Bicara Makna Sufistik Lagu ‘Sebelum Cahaya’

Haidar menambahkan, hampir-hampir sudah standar dalam buku-buku tasawuf adanya kutipan hadis masyhur mengenai ihsân. Yakni, bahwa “ihsân adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; atau, kalau engkau tak dapat melihat-Nya, percaya bahwa Dia melihatmu”.

Hal ini, lanjut penulis buku ‘Belajar Hidup dari Rumi’ ini, disebabkan umumnya sufi mengidentikkan tasawuf dengan ihsân. Artinya, tasawuf pada intinya adalah beribadah kepada Allah. Hanya saja, dalam tasawuf, ditekankan agar ibadah hendaknya tidak semata-mata berupa gerakan-gerakan fisik dan bacaan-bacaan yang kosong, melainkan penuh khusyû‘ dan khudhû‘.

“Yakni, menghadirkan hati dan penuh kerendahan-diri di hadapan Allah Swt.”

Kutipan standar lain dalam buku-buku tasawuf, kata Haidar, adalah hadis tentang hamba-hamba Allah yang mendekatkan diri secara terus-menerus dengan melakukan ibadah (ritus) nawâfil (Sunah). Sedemikian, sehingga Allah mencintainya dan Dia menjadi Matanya untuk melihat, Telinganya untuk mendengar, Kakinya untuk berjalan, dan seterusnya.

“Lagi-lagi di sini ibadah dipahami sebagai inti tasawuf,” katanya

Adalah kaum sufi juga yang menekankan shalat, misalnya, sebagai mi‘râj-nya kaum Mukmin. Bahwa shalatlah yang bisa membawa seseorang bertemu dengan Allah Swt. “Demikian pula halnya dengan puasa, haji, zakat, bersedekah, dan sebagainya ….”.

Sudah merupakan suatu kelaziman bahwa para sufi secara khusus membahas kegiatan-kegiatan ibadah dalam buku-buku mereka. Dan itu tak terbatas pada para sufi “ortodoks” seperti Imam Al-Ghazali, tetapi juga dalam karya-karya Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya.

Bagi kaum sufi, syariah adalah landasan tasawuf (tharîqah), sedang tharîqah adalah jalan menuju hakikat (haqîqah atau kebenaran sejati). Al-Qusyairi, penulis kitab tasawuf terkenal, Risâlah AlQusyairiyah, misalnya, menyatakan bahwa tanpa syariah tak akan seseorang berhasil meraih hakikat.

“Bahkan, menurutnya, hakikat identik dengan syariah, dan sebaliknya. Al-Kalabadzi, penulis buku sufi terkenal lainnya, Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf (Pemahaman atas Mazhab Kaum Sufi), menyatakan bahwa kewajiban menjalankan perintah-perintah syariah mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi.”

>> KOLOM–Berbagai Makna Tasawuf menurut kalangan Sufi dan Ulama

Tak ada satu maqâm (tataran) pun yang membuat orang yang telah meraihnya bebas dari kewajiban syariah. Justru sebaliknya, makin tinggi maqâm seseorang dalam tasawuf, seharusnya makin keraslah kesetiaannya terhadap ajaranajaran syariah.

“Al-Hujwiri, penulis Kasyf Al-Mahjûb (Penyingkap yang Terselubung) menisbahkan kemunafikan kepada orang-orang yang mengaku sufi tapi tak menjalankan perintah-perintah syariah,” katanya.

Bahkan Ibn ‘Arabi, seorang tokoh besar sufi, yang pikiran-pikirannya sering kali disalahpahami orang sehingga menyebutnya sebagai kafir itu, mendefinisikan tasawuf sebagai “mengikatkan diri kepada perilaku-perilaku terpuji menurut syariah, secara lahir dan batin”.

“Lalu, dari mana bisa muncul kesalahpahaman terhadap sikap kaum sufi terhadap syariah ini?”

Mungkin, kata Haidar, hal itu lahir dari adanya suatu kelompok tertentu dalam sejarah tasawuf yang disebut sebagai malamati. Seperti namanya, kelompok ini berpendapat bahwa, untuk dapat terjauhkan dari dunia dan dekat kepada Allah, mereka harus mendedahkan diri mereka kepada celaan-celaan orang.

“Makin banyak mereka dicela dan makin rendah kedudukan mereka di tengah manusia, menurut pendapat kelompok ini, makin mungkin mereka untuk bersikap rendah diri di hadapan Allah Swt.”

Meski pendapat seperti ini bukannya sama sekali tak berdasar, terkadang ia diselewengkan. Ada sekelompok di antara orang-orang yang mengaku sufi seperti ini (biasa disebut mustashwifîn, kaum “sok sufi”) menampilkan diri sebagai orang-orang yang tidak menjalankan perintah syariah agar, menurut pengakuan mereka, orang menganggap buruk dan mencela mereka.

“Mengenai kelompok malamati yang satu ini, Al-Hujwiri bersikap amat keras dengan menyatakan bahwa mereka telah nyata-nyata melakukan kesalahan, kejahatan, dan pengumbaran nafsu,” katanya.

Yang mereka cari, menurut jebolan Harvard University ini, sesungguhnya hanyalah popularitas di mata orang. Dengan kata lain, tindakan-tindakan mereka yang seolah-olah agar tidak populer itu justru hanyalah untuk mencari popularitas.

Berbeda dengan kaum malamati sejati, yang memang sudah populer, orang-orang seperti ini biasanya tidak dikenal orang, bukan siapa-siapa. Dengan kata lain, sama sekali bukan ahli atau tokoh tasawuf.

Daftar kita mengenai contoh-contoh kesetiaan kaum sufi kepada syariah bisa saja kita perpanjang nyaris tanpa batas. Namun, untuk keperluan ini, kiranya apa yang diuraikan serbaringkas di atas telah dengan jelas menunjukkan betapa, sebaliknya dari meremehkan syariah, kaum sufi menempatkannya pada posisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

“Bahkan, bagi mereka, tak ada tasawuf, tak ada pencapaian hakikat, tanpa syariah. Bahwa maqâm kesufian seseorang sepenuhnya bergantung pada intensitasnya dalam menjalankan perintah-perintah syariah,” katanya.[]

>>  TASAWUF – Mengapa Tuhan Ciptakan Segalanya Berpasang-pasangan?

 

YS / islam indonesia / sumber: Buku ‘Saku Tasawuf’, Mizan, 2005

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *