Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 23 August 2016

KHAS–Soal Khilafah, Kang Said: Para Ulama Sepakat untuk Tidak Sepakat


IslamIndonesia.id – Soal Khilafah, Kang Said: Para Ulama Sepakat untuk Tidak Sepakat.

 

Di tengah maraknya kelompok militan yang ingin mendirikan khilafah – baik di Indonesia maupun Timur Tengah -, KH. Said Aqil Sirajd merefleksikan kembali sejarah keruntuhan Khilafah Turki Ustmani. Ketika wilayah khilafah yang sangat luas itu mulai merosot, tidak terurus lagi, Inggris dan Prancis bersepakat untuk ‘menjarah’ warisan khilafah yang sedang sakit itu. Akhirnya, Prancis mendapat Maroko, Aljazair, Tunis, Suriah, dan Lebanon. Adapun Inggris dapat Mesir, Sudan dan Irak.

“Dalam Turki sendiri, ada agen yang menggerogoti khilafah dari dalam. Yakni Mustafa Kemal Ataturk. Khalifah terakhir, Abdul Hamid digulingkan dari tahta singgasana Ustmaniyah, dan diusir ke Jerman . Bubarlah sistem khilafah (yang berdiri) sejak Sayyidina Abu Bakar As Siddiq sampai Abdul Hamid itu,” katanya dalam sebuah acara bersama warga Nahdhiyin di Puro Pakulaman Yogyakarta, (31/7).

Di kemudian hari, ulama-ulama dari berbagai negara bertemu di Mesir. Mereka bermusyawarah selama dua hari dua malam untuk mempertimbangkan berdirinya kembali sistem khilafah.

“Tapi dua hari dua malam ngga pernah sepakat. Apa kreterianya orang jadi khalifah? Kalau sudah ada, siapa yang mengesahkan? Kalau sudah ada yang mengesahkan, ibu kotanya dimana? Akhirnya mereka bersepakat untuk tidak sepakat,” kata pria jebolan Ummul Quro Makkah ini.

(Baca, Said Aqil Siradj: “Jika Agama Tak Boleh Campur Budaya, Shalat Jangan Pakai Pakaian”)

Di sisi lain, ada seorang ideolog dari Arab yang mendirikan partai nasionalis, sekuler dan sosialis. Partai itu bernama Ba’ats yang didirikan oleh Michel Aflaq. Partai ini menggembleng kader-kader militan dari berbagai wilayah seperti Suriah, Irak, Mesir, Yaman, Sudan dan Libya. Bergeraklah gerakan nasionalis ini, dan berhasil hingga berdirilah negara-negara nasionalis.  Irak berdiri sendiri, Suriah sendiri dan seterusnya. Semua yang merdeka itu di belakangnya Soviet. Karena anti kolonial pada saat itu, dibelakangnya adalah Sosialis-Soviet

“Amerika Serikat pun kebakaran jenggot dan cepat-cepat bikin boneka. Maka berdirilah negara keluarga.”

Jadi, kata Kang Said, ada keluarga yang terdiri atas bapak, anak, saudara-saudaranya, menantu, paman dan seluruh kerabatnya berjumlah 200 ribu jadi negara yang bernama Bahrain. Hingga kini, dikuasai oleh keluarga khalifah. Demikian juga Qatar, Kuwait, dan negara-negara dalam Uni Emirat Arab.

“Kalau sebelumnya (Irak, Suriah dll) berdiri karena semangat nasionalis, tapi Qatar, Kuwait, Emirat berdiri atas berkah wasilah dari Amerika Serikat.”

Dari dua kelompok negara-negara di atas, Kang Said menyimpulkan tidak ada tokoh ulama besar- nasionalis dan tidak ada tokoh nasionalis yang ulama. Sejumlah kader partai nasionalis Arab itu pun disebut, seperti Gamal Abdul Nasir, Saddam Hussain, dan lain-lain.

“Semuanya bukan ulama. Maka kalau bentrok ngeri.”

(Baca, Kang Said: Kanjeng Nabi Tegakkan Supremasi Hukum di Madinah)

Zaman Gamal Nasir, ulama besar seperti Sayyid Qutb digantung. Dan masih banyak lagi ulama dibunuh di tangan Nasir. Demikian juga Saddam yang juga tercatat telah membunuh banyak ulama. Karena yang nasionalis tidak ada satupun dari mereka ulama dan yang ulama tidak ada satupun yang nasionalis.

“Alhamdulillah, KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama-nasionalis, KH. Ahmad Dahlan juga ulama-nasionalis.”

Kakeknya Gus Dur itu sejak tahun 1914 sudah punya visi misi, agenda besar, cita-cita besar, berupa sinergi antara ‘ukhuwah islamiyah’ dan ‘ukhuwah wathaniah’ atau semangat keislaman dan semangat kebangsaan.

“(Gagasan itu) jauh sebelum NKRI berdiri.”

Bagi Kiai Hasyim, Islam saja belum bisa menyatukan umat. Demikian juga nasionalisme saja, tanpa agama yang kosong dari spirit, kering. Harus dua-duanya. “Dan ternyata betul, sekarang kita buktikan. Afganistan misalnya, 100 persen Muslim, mayoritas di antaranya adalah mazhab Hanafi. Perang terus tidak karu-karuan. Mengapa? Karena tidak punya ukhuwah wathaniah.”

Kiai asal Cirebon ini lalu mengulas sejarah pendiri NU dengan agenda besarnya itu, hingga mbah Hasyim punya jargon terkenal, “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman). Tak lupa Kang Said menyanyikan mars ‘Hubbul Wathan‘ yang pernah dikarang oleh Kiai Wahab pada masa perlawanan melawan penjajah.

“Padahal dalam kitab Syu’abul Iman, cabang Iman itu ada 77. Berbuat baik kepada orang tua, menjenguk orang sakit, menolong orang susah … dst. Eh…, mbah Hasyim tambah satu lagi; membela tanah air.”

(Baca, Said Agil Siradj: Ada Pihak Ketiga di balik Konflik Iran-Saudi)

Sinergi yang ada pada diri misi ulama seperti Kiai Hasyim ini tidak didapatkan oleh KH. Said Aqil Sirajd selama belajar di Timur Tengah. “Saya 13 tahun sekolah di Timur Tengah, pernah di Yordania, di Mesir, di Makkah. Saya tidak pernah mendengar ada ulama besar mengatakan ‘hubbul watan minal iman’. Sedunia ini, tidak ada yang mengatakan itu kecuali Hasyim Asy’ari.”

Setelah merefleksikan Islam di Arab, konflik berkepanjangan di Timur Tengah, dan sejarah Wali Songo hingga Mbah Hasyim, Kang Said berkesimpulan bahwa Nusantara atau Indonesia memang berbeda dengan Arab.

“Inilah yang saya maksud dengan tema besar; Islam Nusantara. Islam yang melebur dengan budaya, dengan nasionalis, dan menjunjung tinggi perbedaan suku, agama dan budaya.”

Seperti diketahui, nahkoda PBNU dua periode ini meminta Polri mengawasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinilai mengampanyekan anti-nasionalisme. Saat menerima kunjungan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bersama jajarannya di Kantor PBNU, Jakarta (18/8), Kang Said sempat mendiskusikan soal kelompok seperti HTI  dengan misi aktivitasnya yang dianggap merongrong Indonesia dari dalam.

“Gerakan tersebut saat ini masih kecil dan lemah, tetapi jika tidak diantisipasi lebih dini bisa mengancam keutuhan bangsa,” katanya. []

 

YS/IslamIndonesia

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *