Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 02 August 2016

KHAS–KH. Said Aqil Siradj: “Jika Agama Tak Boleh Campur Budaya, Shalat Jangan Pakai Pakaian”


IslamIndonesia.id – KH. Said Aqil Siradj: “Jika Agama Tak Boleh Campur Budaya, Shalat Jangan Pakai Pakaian”

 

Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj, menjawab kritik yang menuding dirinya sesat karena mencampuradukkan agama dan budaya. Pria yang akrab disapa kang Said ini kembali menegaskan bahwa konsep Islam Nusantara yang diusung Muktamar NU tahun lalu tidak main-main. Bahkan, menurutnya, agama dan budaya tidak mungkin dipisahkan.

“Agama dari Gusti Allah, kreativitas dari manusia. Shalat dari Allah, pakai sarung atau gamis dari manusia. Kalau agama tidak boleh campur budaya, shalat jangan pakai sarung, jangan pakai celana. Pergi haji, jangan pakai pesawat. Itu namanya, agama jangan dicampur budaya,” katanya di depan warga Nahdatul Ulama dalam acara Halal bi Halal Akbar, Yogyakarta (30/7).

Pria jebolan Ummul Qura Makkah ini lalu menjelaskan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dimana Wali Songo menggabungkan agama dan budaya. Dakwah damai dan kultural itupun berlanjut ke ulama dan kiai dari masa ke masa.

Suatu hari, seorang kiai bertemu dengan orang yang sedang membuat sesajen. Setelah ditanya tujuannya, katanya agar ruh jahat lari dari rumahnya. Alih-alih menuding bid’ah dan merusak sesajennya, sang kiai menyarankan untuk memasak beras 10 kilo supaya ruh jahat itu semakin jauh larinya. Orang itu pun patuh, bahkan memasak puluhan porsi gule.

“Kiai, sudah selesai. Jumlahnya 30 piring. Diletakkan di pojok mana 30 piring itu Kiai?”

“Bukan ditaruh di pojok, tapi dimakan. Undang fakir miskin dan tetangga. Sebelum makan, baca doa dulu kepada Allah supaya kamu selamat, istrimu selamat, anakmu selamat, duniamu selamat, hidupmu selamat, matimu selamat. Maka, namanya bukan sesajen nak. Tapi, Selametan,” kata Kang Said sembari mengapresiasi warisan dakwah Wali Songo itu.

Di sisi lain, pria 63 tahun ini berkisah tentang penguasa Muslim yang memberi bantuan pembangunan di pedalaman Afrika Selatan dengan syarat rajanya harus masuk Islam. Setelah benar-benar desanya dibangun, sang raja pun masuk Islam. Pada malam harinya, seorang petugas menyampaikan pada  sang raja untuk disunat (khitan) karena telah masuk Islam. Sang raja bingung, “Apa itu sunat?”

Setelah dijelaskan, sang raja langsung menolak. Namun, petugas itu kembali menegaskan bahwa khitan adalah hukum yang harus dilakukan bagi yang telah memeluk Islam. Sang raja tetap menolak, dan setelah merenung, dia lebih baik kembali ke agama leluhurnya.

“Kalau bapak keluar dari agama Islam, dipotong lehernya,” katanya.

“Sontak sang raja kaget dan berkata: Agama apa ini? Masuk ‘dipotong’, keluar juga dipotong …” kisah Kang Said yang disambut tawa hadirin.

Bagi kiai asal Cirebon ini, para sunan atau wali berdakwah dengan caranya yang khas tanpa menyakiti hati masyarakat yang berbeda keyakinan. Termasuk Prabu Siliwangi yang awalnya ingin memerangi Syekh Quro karena membawa ajaran baru. Namun, Syekh Quro menghadapinya tidak dengan cara kekerasan. Ketika mantra Prabu Siliwangi lumpuh, Syekh Quro memperkenalkan ‘mantra’ yang lebih mujarab. Dalam Islam, ‘mantra’ ini dikenal dengan sebutan dzikir. Singkat cerita, Prabu Siliwangi tertarik masuk Islam, bahkan menjadi menantu Syekh Quro.

“Walhasil, itulah Islam Nusantara. Dimulai oleh para Wali Songo yang melebur dengan budaya dan puncaknya Syekh Hasyim Asy’ari melebur dengan semangat nasionalisme,” katanya disambut tepuk tangan.

Dengan Islam Nusantara, Kang Said kembali menegaskan khittoh Nahdatul Ulama yang anti radikalisme dan anti terorisme. Enggan dianggap tidak terang-terangan, dengan lantang nahkoda dua periode PBNU ini berkata, “NU anti wahabi. NU anti salafi.”

Dan hadirin pun kembali menyambut dengan tepuk tangan. Lebih-lebih kata Kang Said, sejumlah kelompok dengan doktrin Salafi-Wahabi berlabel ‘mujahidin’ adalah teroris. Mengutip sebuah hadis, pria yang pernah nyantri di Krapyak ini berkata, “siapa yang mengancam sesama Mukmin, Allah dan malaikat akan melaknatnya.”

“Baru ngomong – saya akan membunuhmu – saja, Allah dan  malaikat melaknatnya,” jelas kang Said.

Sebab turunnya ayat ‘la ikraha fiddin’ kemudian dia jelaskan. Dimana seorang ayah yang meminta anaknya masuk Islam. Sang anak terlalu lama memberi jawaban. Akhirnya sang ayah kesal dan mengancam dengan kekerasan. Mengutip ayat itu, Kang Said berkata tidak boleh ada ancam-mengancam, teror, intimidasi dalam agama.

“Apalagi kepada yang bukan anaknya, kepokanannya, cucunya, tapi menggunakan cara ancam-mengancam,” katanya menyindir sejumlah gembong teroris seperti Abu Wardah alias Santoso yang tewas akibat baku tembak dengan aparat di Poso.

Sejauh pantauan IslamIndonesia, selain warga Nahdiyin, pengurus NU daerah, aparat keamanan, sejumlah pejabat dari tingkat kota, propinsi, DPR dan DPD turut hadir mendengarkan ceramah Kang Said yang diselenggarakan di halaman Puro Pakualaman Yogyakarta. []

photo_2016-08-01_16-38-16 photo_2016-08-01_16-38-38

YS/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *