Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 20 October 2016

Cak Nun: Orang yang Mengkafir – kafirkan adalah Orang Kafir


IslamIndonesia.id – Cak Nun : Orang yang Mengkafir – kafirkan adalah Orang Kafir

Emha Ainun Najib menggambarkan fenomena akhir-akhir ini dimana istilah-istilah dalam Islam telah dimanipulasi sedemikian rupa. Karena itu adanya diskusi atau kajian yang elaboratif diperlukan untuk menggali kembali makna-makna seperti apa itu Islam, jihad, hingga kafir.

“Nah, sekarang Anda tahu, orang bilang ‘Allahuakbar’ untuk bunuh,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini di forum Kenduri Cinta Jakarta menyinggung kelompok Islam garis keras.

Demikian juga dengan pendangkalan makna Islam atau Muslim. Menurut pria asal Jombang ini, tidak sedikit orang yang menandakan keislaman seseorang dari sekedar membaca dua kalimat syahadat. Padahal yang perlu diketahui ialah apakah syahadat itu formal atau substansial?

“Kalau substansial, berarti tidak tergantung diucapkan atau tidak. Sebab kalau harus mengucapkan, berarti ini tidak berlaku bagi orang bisu,” kata budayawan yang juga cendekiawan Muslim Indonesia ini.

Sedemikian, Islamnya seseorang tidak bisa diukur dengan panca indra seperti dilihat menggunakan peci atau didengar mengucapkan syahadatain. Pada tingkatan tertentu, jangankan menuduh orang lain itu kafir, menilai bahwa seseorang itu Muslim, sejatinya kita tidak mempunyai hak.

“Jangankan orang lain, saya menyebut diriku Muslim saja tidak berani. Karena itu hak prerogatifnya Allah untuk menilai saya ini Muslim benar atau bukan. Ko’ saya menyebut diri saya Muslim? (Ini maksudnya) saya cuman berusaha, mudah-mudahan kelak lulus (sebagai Muslim), lah sekarang ko’ orang saling mengkafir-kafirkan,” katanya

Orang yang gemar mengkafir-kafirkan orang lain, lanjut Cak Nun, adalah orang Kafir. Karena menilai seseorang kafir atau tidak yang berhak ialah Allah. Dialah yang memiliki informasi yang sempurna hingga bisa melihat, baik yang dzahir maupun yang batin, soal Islam tidaknya seseorang.

“Maka, hanya Allah yang layak menilai seseorang itu Muslim atau bukan.”

[Baca: KAJIAN–Sesatnya Fatwa Sesat (Bagian I)]

Setelah menjelaskan secara bahasa makna kafir yang berarti ‘menutupi’, Cak Nun mengatakan jika seseorang menghakimi orang lain kafir, berarti ia ‘menutupi’ haknya Allah.  Tidak hanya menutupi, bahkan ada orang atau lembaga yang mengklaim bahwa pemberi stempel kafirnya seseorang adalah haknya.

“Apakah di sini Anda bisa punya cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau Anda menjawab “bisa”, itu kan mulutmu. Lha hatimu? Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI,” kata Cak Nun disambut tawa hadirin.

[Baca – NU: Di MUI, Ada Orang yang Paham Kebangsaannya Kacau]

Begitu juga persoalan halal dan haram, yang boleh melegitimasi kedua hukum tersebut adalah Allah Swt. Seperti dilaporkan caknun.com, apabila kemudian MUI mengeluarkan fatwa halal atau haram, sebaiknya diawali dengan kalimat “berdasarkan sidang para ulama, menurut sidang itu” baru kemudian dilanjutkan kepada kalimat hukum tentang fatwa halal atau haram. Karena dalam kehidupan ini pemilik saham total adalah Allah swt.

Hal ini juga agar jelas, bahwa fatwa atau label halal yang dikeluarkan oleh MUI bersifat relatif, setidaknya tidak merepresentasikan umat Islam Indonesia seluruhnya. Sedemikian sehingga membuka ruang dialektika yang sehat dan bisa memberikan masukan serta kritik.

“Saya setuju saja dan senang ada banyak dana yang  masuk dari sertifikat halal. Cuman kan nggak masuk akal,” katanya

Penulis “Slilit Sang Kiai” ini lalu bercerita tentang sejumlah  kota di luar negeri dimana 90 persen di jalan raya adalah mobil. Dalam kondisi seperti ini, kalau ada motor, apalagi dari arah yang berlawanan,  akan berbahaya. Adalah wajar, jika motor di sana harus menyalakan lampu utama. Dengan demikian pengendara mobil bisa melihat dari jauh adanya motor.

Sebaliknya, kalau di Yogyakarta misalnya, kendaraan paling banyak adalah motor. Lalu apa perlunya dinyalakan? Apakah tidak terbalik? “Mestinya yang dinyalakan yang minoritas, karena asumsi dasarnya jika kebanyakan mobil dan ada segelintir pengendara motor maka berbahaya. Karena itu motor harus menyalakan lampu”

Jika dikatakan di Amerika itu mayoritas non-Muslim maka asumsi dasarnya makanan itu haram sehingga dibutuhkan sertifikasi halal. Tapi jika di Indonesia yang disebut sebagai mayoritas Muslim dan semua makanan relatif halal, maka yang dibutuhkan sertifikasi haram.

Bicara soal sertifikasi halal ala MUI, ulama senior KH. Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri juga mengaku banyak mendapat ‘laporan’. Mulai dari telur hingga jilbab bersertifikasi halal.

Setelah menyinggung kaidah fikih, “Pada dasarnya segala sesuatu mubah sampai ada dalil yang mengharamkan,” Gus Mus – via akun pribadinya di media sosial – berpendapat bahwa sebelum memberikan sertifikasi halal, MUI perlu mengeluarkan sedikitnya tiga fatwa.

Pertama, fatwa tentang hukum sertifikasi halal itu sendiri.

Kedua, hukum uang dari hasil sertifikasi halal.

Ketiga, fatwa tentang siapa yang sejatinya berwenang mengeluarkan sertifikasi halal di Indonesia. []

 

[Baca – Gugat MUI, Gus Mus: Apa Hukum Uang Hasil Sertifikasi Halal?]

 

YS / Islam Indonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *