Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 19 January 2017

TASAWUF – Syariat Menurut Para Sufi


islamindonesia.id – TASAWUF – Syariat Menurut Para Sufi

 

Kehadiran Ilahi (Divine Presence) mempunyai dua sisi penampakan atau manifestasi; Jalal (keagungan) dan Jamal (keindahan). Sang Penyiksa, Pemarah, Pemberi ancaman, Pembalas, Penghancur, dan Pembuat makar (khair al-makirin) adalah bagian dari manifestasi sifat-sifat Jalaliyyah yang menunjukkan keagungan dan kebesaran Allah.

Sementara itu, sifat Pengasih-penyayang, Lathif (lembut), Penyabar, Pemberi ampun, dan Penerima doa adalah bagian dari manifestasi sifat-sifat Jamaliyyah yang menunjukkan keindahan dan kelembutan Allah.

Menurut pada sufi, kedua sisi ini sebenarnya tak terpisahkan, keduanya sama-sama bersumber dari Zat Mahasuci yang tunggal. Akan tetapi, keindahan Allah kerap tersembunyi di balik keagungan-Nya dan demikian pula sebaliknya. Dan keseimbangan kedua sisi kehadiran Ilahi ini adalah hakikat dari keadilan Ilahi menurut pandangan para sufi.

[Baca juga: TASAWUF – Benarkah Kaum Sufi Meremehkan Syariah?]

Dalam buku Jamal al Mar’ah wa Jalaluha (Keindahan dan Keagungan Perempuan), Syeikh Abdullah Jawadi Amuli memberikan contoh “keseimbangan” ini dengan ayat-ayat tentang qishash dan difa’ (pertahanan diri). Dalam ayat itu, menurut Amuli, Allah menegaskan bahwa keagungan Ilahi tak lain ialah sisi lain dari kasih sayang dan keindahan-Nya.

Sebagai ilustrasi, Allah berfirman:

“Pada qishash itu terdapat kehidupan bagi mereka yang berakal” (QS. Al Baqarah: 179).

Dengan ayat ini Allah hendak mengatakan bahwa pelaksanaan qishash (yang merupakan manifestasi dari sifat murka Allah) sebenarnya justru untuk memelihara kehidupan umat manusia (yang merupakan manifestasi dari sifat rahmat Allah).

Eksekusi fisikal pada ruang dan waktu yang amat terbatas ini sebenarnya mengandung revitalisasi moral, mental, spiritual, dan sosial bagi segenap manusia pada rentang ruang dan waktu yang tidak terbatas. Individu yang mati tereksekusi akan menjadi sekoci penyelamat kesinambungan kehidupan sosial.

Kematian spasio-temporal individu yang membawa berkah begitu banyak ini merupakan manifestasi kasih sayang dan Keindahan Ilahi yang tiada berhingga. Amarah Allah atas terbunuhnya manusia tak berdosa ini justru membawa rahmat yang terus menerus.

Hal yang sama juga ditunjukkan pada ayat yang berkonteks perintah berperang melawan agresi musuh. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan,”  (Al-Anfal: 24)

Meski tampak sebagai manifestasi Keagungan Allah, bertempur melawan para agresor itu akan diikuti dengan kedamaian di atas prinsip kebenaran, persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan individual dan sosial yang merupakan manifestasi Keindahan dan kelembutan Allah.

Bagi sufi, semua perintah Allah akan selalu membawa “kehidupan” bagi manusia. Kehidupan yang tidak saja bersifat material dan fisikal, melainkan lebih utama lagi ialah kehidupan yang berifat moral dan spiritual.

Ayat yang turun pada konteks pengorbanan dan perlawanan di jalan kebenaran itu menandaskan bahwa mengikuti perintah jihad akan menjamin kehidupan manusia. Setelah melaksanakan perintah pengorbanan dan peperangan di medan tempur menghadapi kezaliman, kehidupan dan rezeki yang berlimpah akan datang tanpa henti.

Allah berfiman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al Imran 169-170].

“Hukum keseimbangan” antara amarah dan rahmat, keagungan dan keindahan, penderitaan  dan kesenangan tidak hanya berlaku pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan berlaku pada semua bagian dan perintah syariat.

[Baca juga: TASAWUF – “Quantum Being”]

Karenanya, menurut para sufi, semua iradah (kehendak) terselubung dalam karahah (kebencian) dan semua isytiaq (kerinduan) terselubung dalam istila’ (keengganan). Allah berfiman:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Ayat ini ingin menekankan bahwa perang (melawan agresi musuh) yang tampak menimbulkan kerusakan, justru menyimpan kebaikan bagi umat manusia. Mengemban berbagai kesulitan dalam mengarungi kehidupan keluarga memang tampak tidak menyenangkan, tapi di dalamnya terkandung kebaikan dan kebahagiaan yang tiada tara. Allah berfiman:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa 19).

Atas dasar itu, kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an menyatakan: Sesungguhnya Allah ingin mensucikan kalian, saat memerintah wudhu, mandi dan tayammum. Ini bermakna bahwa perintah wudhu secara zahir (yang tampak) tersebut berdampak pada penyucian ruhani yang melestarikan keindahan qalbu (hati).

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6)

Demikian juga halnya dengan zakat. Secara material hitung-hitungan ekonomis, zakat adalah pengurangan harta. Tetapi, secara spiritual, ia adalah sumber perkembangan dan pertumbuhan harta. Allah berfiman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al Baqarah: 276)

Dalam ayat lain, Allah berfiman,

“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang mendapatkan kelipatgandaan” (QS. Ar Rum: 39)

Pendek kata, menurut para arif dan sufi, seluruh taklif (perintah) Ilahi yang memberatkan dan menyusahkan itu adalah manifestasi Keagungan Ilahi yang menyimpah  ihya’ (penghidupan) sebagai manisfestasi KeindahanNya.

Karena yang hakiki menurut para sufi itu adalah apa yang di sisi Allah, maka apa yang tidak mulia di sisi-Nya adalah tidak mulia sebenar-benarnya.

Anggapan para sufi-palsu (pseudosufi) bahwa meninggalkan syariat dapat mempercepat pencapaian haqiqah dengan demikian terbentah. Karena, bagi sufi sejati, syariat adalah thariqah yang sesungguhnya. Untuk mencapai haqiqah atau hakikat, unsur keseimbangan antara cinta dan amarah, benci dan sayang, derita dan senang yang terdapat dalam syariat tidak bisa ditinggalkan.

Lebih dari itu, para penempuh jalan spiritual (salik) akan merasakan kebahagiaan puncak dalam penghambaan mereka kepada Sang Kekasih. Penyair sufi terkenal dari Persia, Sa’di, menulis:

“Harta karun dan ular, bunga dan duri, kebahagiaan dan kesedihan, adalah tak terpisahkan”

Penyair sufi lain melantunkan,

Gelak tawa adalah kabar kebaikan dan rahmatnya

Tangisan adalah keluhan murkanya

Dua nada alam yang bertentangan ini

(Sama-sama merupakan) nyanyian satu Penawan hati.

Gagasan serupa terkandung dalam syair berikut:

Ibarat pancaran sinar cahaya,

terpisah dari mentari padahal tidak terpisah

Begitu pulalah alam raya,

tanda Allah padahal bukan Allah

Lihatlah pantulan kalian di sebuah kaca cermin,

bakal tampak (gambar) kalian padahal bukan kalian

Ke arah mana pun kalian mengamati, pasti akan terkuak (kehadiran) Penyaksi nan tersembunyi.

Bagaimana bisa orang bertanya,

di manakah Dia ada dan di mana Dia tiada?

Darwis, sang raja di negeri orang-orang miskin

Tampak bagai pengemis di mata orang kebanyakan

Padahal, ia bukan pengemis dalam kenyataan

Ketiadaan ini (kehidupan dunia-pen.-) muncul bagai keberadaan

Yang punya ciri keabadian dalam pandangan daku dan kalian

nyatanya ia benar-benar tidak punya keabadian.[]

[Baca juga: TASAWUF – Muhammad Sang Cahaya]

 

YS/MK/ islam indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *