Satu Islam Untuk Semua

Monday, 07 November 2016

ANALISIS — Hukum dan Ishlah: Menghadapi Dugaan Penistaan Agama


islamindonesia.id — Hukum dan Ishlah : Menghadapi Dugaan Penistaan Agama

img_66824-150x150

Oleh: Zainal Abidin Bagir*

Setelah aksi 4 November lalu, tuntutan agar Ahok diproses secara hukum bergema makin kencang. Yang mengkhawatirkan, apa yang dimaksudkan “proses hukum” belum atau mungkin sengaja tidak mau dipahami.

Wapres Jusuf Kalla hanya menyebut prosesnya akan cepat dan tegas, dilakukan dalam dua minggu. Kapolri Tito Karnavian belakangan menjabarkan bahwa waktu dua minggu itu adalah masa penyelidikan. Hasil dari penyelidikan adalah keputusan apakah cukup bukti bahwa Ahok bisa dijadikan tersangka. Namun kecurigaan bahwa “proses hukum” berjalan secara tidak fair sudah muncul. Keinginan polisi membuat transparan gelar perkara di ujung proses penyelidikan ini pun justru kini dicurigai sebagai proses rekayasa. Jika demikian, menjadi tidak jelas: Yang dituntut adalah penegakan hukum, atau justru melangkahi proses hukum?

Seperti penulis sampaikan di tulisan lain, “penegakan hukum” memang bukanlah jalan terbaik untuk kasus-kasus-yang disebut “penodaan agama”. Alternatifnya adalah jalan penyelesaian lain, non-hukum, yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah dan lebih berkeadilan bagi semua pihak. Dalam sebuah talk show di Metro TV pada 4 November 2016, beberapa narasumber yang diundang (Sholahuddin Wahid, Azyumardi Azra, dan Abdillah Toha) telah memunculkan satu istilah untuk menjawab pertanyaan itu. Yaitu ishlah atau rekonsiliasi. Apa maksudnya?

Dalam upaya mengatasi konflik, biasa dikenal tiga pendekatan. Pertama, pendekatan kuasa, yang populer di masa Orde Baru, dimana pihak yang memiliki kekuatan memaksa pihak yang berkonflik untuk berhenti. Kedua, pendekatan berbasis hak, yang menggunakan instrumen-instrumen hukum untuk melihat pihak mana yang bersalah dan pihak mana yang benar. Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan bersama, dimana pihak-pihak yang bertikai mencari cara agar kepentingan mereka dapat terpenuhi dan konflik selesai.

Ishlah adalah salah satu bentuk jalan ketiga itu. Ada dua alasan mengapa pendekatan ini perlu dilakukan: (1) kemungkinan besar bahwa hasil proses hukum ternyata tidak bisa diterima sebagian orang; dan (2) bahwa masalah tuduhan penistaan agama ini kini telah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan.

Akankah hasil pendekatan hukum diterima?

Dalam isu “penistaan agama” ini, ada dua masalah besar yang menunjukkan bahwa proses hukum, apapun hasilnya, tak akan memenuhi harapan orang-orang yang ingin melihat Ahok dipenjara. Pertama, seperti disampaikan di awal, Pasal 156A dan UU yang terkait itu sendiri telah bermasalah, karena mengandung pasal karet yang memungkinkan orang menafsirkan dalam ruang yang cukup besar dan melihat hal-hal berbeda dalam penerapannya. Di satu sisi, tidak sedikit dari pandangan para ahli sejauh ini yang muncul di media massa menunjukkan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan dengan ucapanya. Namun pihak yang menuntut Ahok yakin benar bahwa ia telah nyata memenuhi unsur-unsur pidana dalam pasal itu, sehingga setiap penafsiran berbeda akan dianggap bahwa hukum telah dibelokkan untuk melindungi pelaku kriminal.

Pada tahap penyelidikan ini, masih ada kemungkinan Ahok menjadi tersangka. Jika menjadi tersangka, setelah itu ia akan diadili, dan di sini akan ada lagi kemungkinan ia dibuktikan bersalah atau tidak. Jika ia tidak dibuktikan bersalah, bisakah ini diterima? Jika ia dibuktikan bersalah, hukuman tertingginya, menurut KUHP, adalah lima tahun. Bisakah ini diterima atau dianggap terlalu lunak? (Dalam kasus di Temanggung pada tahun 2011 yang menggunakan Pasal 156A ini, kerusuhan pecah setelah seseorang yang dihukum dengan hukuman tertinggi justru menimbulkan kemarahan massa yang menganggap hukumannya terlalu rendah.)

Setiap peristiwa terkait proses ini, dalam gelar perkara, maupun sidang-sidang yang akan dilakukan, jika proses ini berlanjut ke sana, bisa diduga ada peluang besar untuk mobilisasi massa. Karena itu, dalam setiap tahap di atas, jika proses hukum ingin dilakukan dengan baik, polisi dan pemerintah dituntut untuk bekerja ekstra keras. Itu berarti bukan hanya pengamanan, tapi harus ada upaya tambahan.

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ini bukan lagi sekedar persoalan penegakan hukum untuk sebuah kasus kriminal biasa, tapi persoalan yang bisa membelah bangsa. Karena itu, yang diusulkan di sini adalah bahwa langkah-langkah non-hukum seperti ishlah sudah harus segera dimulai.

Bagaimana melakukan rekonsiliasi?

Akhirnya, pertanyaan praktis: Bagaimana melakukan ishlah? Sekali lagi, berbeda dengan pendekatan hukum dimana standar yang dipakai telah jelas (misalnya KUHP) dan kita tinggal menemukan pasal yang relevan, dalam pendekatan ini tantangannya jauh lebih besar, dan mesti ada dialog untuk menentukan apa yang ingin dicapai bersama. Namun kesulitan tidak berarti kemustahilan.

Sementara pertanyaan itu tidak bisa dijawab segera (dan ini bisa menjadi bagian dari proses rekonsiliasi), pertanyaan utamanya kini adalah tentang apakah kita memiliki kehendak kuat untuk mengatasi masalah ini. Termasuk di sini adalah kemauan pihak-pihak yang terlibat, yaitu Ahok sebagai pusat kasus ini, maupun kelompok masyarakat yang meprotesnya, yang, sebagaimana halnya setiap perundingan, harus terlibat dalam proses mengambil dan memberi (give and take), agar memperoleh solusi yang win-win.

Sedangkan mengenai kemampuan, ada dasar optimisme yang cukup kuat. Dalam diskusi di Metro TV pada 4 November yang disebut di atas, Azyumardi Azra mengatakan bahwa kita telah punya banyak pengalaman menyelesaikan masalah-masalah yang tidak lebih kecil melalui mekanisme rekonsiliasi. Ia menyebut konflik Aceh dan konflik Ambon sebagai contoh.

Tentu karakter perselisihan yang kita hadapi dalam kasus Ahok ini berbeda. Namun bangsa ini memiliki energi yang juga cukup besar, dalam diri para tokoh-tokohnya, dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan yang telah berumur panjang, dan tradisi rekonsiliasi yang juga tidak sedikit. Ini semua kiranya telah menjadi cukup modal untuk segera memulai proses rekonsiliasi, sebelum terlambat lebih lama.

KOLOM — Supremasi Hukum untuk “Penista Agama”?

Pakar Hukum: Ahok Keliru, Tapi Tak Bisa Dihukum dengan Pasal Penistaan Agama

KOLOM — Syekh Farhan Al Maliki: Siapa yang Sesungguhnya Menista Islam?

*Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

AJ / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *