Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 30 April 2023

Kolom Haidar Bagir – Ketika Al-Ghazali Menderita Anxiety (Bagian 2)


Islamindonesia – Kolom Haidar Bagir – Ketika Al-Ghazali Menderita Anxiety (Bagian 2)

Sekarang, mari kita singgung serba sedikit dan secara populer/awam makna “anxiety disorder” (gangguan kecemasan).

Biasanya anxiety merupakan konsekuensi dari suatu trauma akibat suatu peristiwa fisik atau tekanan pikiran yang mencekam. Tekanan fikiran bisa bersifat psikologis, bahkan keagamaan. Peristiwa fisik bisa terkait dengan kecelakaan, dan/atau tindakan medis besar yang pernah dilakukan.

Dalam hal yang disebut belakangan, gangguan bisa terjadi akibat terganggunya keseimbangan hormonal dalam tubuh, sehingga tubuh gagal menyuplai hormon-hormon yang selama ini menjaga kenormalan psikologis seseorang: tingkat kegembiraan, semangat hidup, dan sebagainya. Maka penderitanya cenderung menjadi murung, tak punya semangat hidup, dan dihantui bayangan akan terjadinya peristiwa-peristiwa buruk di masa depan.

Seingat saya Imam Ghazali tak bercerita lebih detil tentang traumanya. Tapi, meski mungkin ada sebab-sebab lain, agak mudah diduga bahwa anxiety Al-Ghazali untuk sebagian besarnya bersifat spiritual-religius.

Seperti sebagian besar penganut agama, kita diajar secara turun-temurun akan kebenaran agama yang kita anut. Sebagian besar bahkan dengan embel-embel bahwa menganut agama lain selain agama yang kita anut secara turun temurun, tak akan menjadikan kita selamat di akhirat. Dengan kata lain, jika kita menganut agama yang keliru, maka kita akan masuk neraka, dengan ancaman siksaan yang sering digambarkan dengan cara eksesif.

Ini bisa terjadi pada orang-orang yang cara berpikir keagamaannnya lemah dan tidak canggih tapi, sebaliknya, justru bisa juga terjadi pada orang-orang yang cara berpikir keagamaaannya rumit dan filosofis sehingga selalu menjadikan pemikirannya self-critical.

Hal seperti ini sering menjadikan seseorang skeptis. Peragu-ragu. Maka tidak aneh jika Al-Ghazali sempat disebut sebagai pemikir Muslim skeptis, mendahului bahkan menjadi sumber pengaruh Descartes di Dunia Barat.

Orang-orang skeptis ini rentan guncangan keyakinan atau keimanan. Yakni, ketika suatu saat keyakinannya mendapatkan tantangan frontal. Tak sedikit orang beragama mengalami masalah keterpecahan kepribadian religius. Lepas dari apakah kita setuju pada pandangan psikologis analitik (yang berakar pada psikologi Freudian atau tidak), masalah ini banyak dibahas di dalam aliran ini.

Inilah yang tampaknya dialami Al-Ghazali. Kenyataannya, seperti ditulis salah satu penulis utama biografinya, DB McDonald, setelah merasa sembuh Al-Ghazali mengembara untuk “mencari cara beragama yang lebih simpel”.

Ia rupanya merasa terintimidasi oleh cara berpikir keagamaan yang terlalu rumit dan kritis-filosofis. Juga sering kali terlalu mengobsesi pikiran penganutnya dengan berbagai ancaman.

Belakangan, kita tahu, Imam Ghazali bertransformasi menjadi seorang sufi. Dan bukan seorang sufi yang terutama mempromosikan tasawuf filosofis, melainkan lebih kepada aspek praktisnya. Kadang disebut suluk (laku tasawuf), atau praktik (mu’alamah) tasawuf. Atau lebih umum lagi disebut sebagai akhlak saja. Maka, biasanya, metode tasawuf Imam Ghazali disebut sebagai tasawuf akhlaqi.

Sekadar catatan, akhlak di sini menyangkut perilaku kita kepada sesama makhluk Allah. Namun, ia juga sepenuhnya menyangkut – atau berakar pada kebersihan batin/hati (spiritualitas/kedekatan kepada Allah), persis seperti makna istilah tasawuf itu sendiri.

Sepertinya Al-Ghazali berpikir, bahwa kemajuan pemikiran filsafat Islam – termasuk pemikiran legal formalnya – telah menjadikan agama – yang seharusnya sederhana dan sepenuhnya diarahkan kepada penyebaran  penyempurnaan akhlak mulia dan spiritualitas itu – menjadi sesuatu yang mencekam pikiran para penganutnya dengan gejala kecemasan spiritual.

Yakni, terkait dengan soal Tuhan yang picky (“rewel”) dan lebih cenderung awas terhadap kesalahan ketimbang kebaikan manusia. Lebih menampilkan rasionalitas penuh aspek legal-formal dan hukuman yang amat keras ketimbang memberi maaf.

Bahwa mendapatkan ridha Allah dan surganya amatlah sulit, sedang jalan menuju nerakanya terbentang lebar.., dan seterusnya.., dan seterusnya..

Inilah, menurut saya, juga salah satu sumber keraguan anak-anak muda beragama di era sekarang – berabad-abad setelah Al-Ghazali menjadi korbannya. Memang sudah seharusnya agama tampil sebagai sumber cinta, welas asih, permaafan, dan kedamaian…

AL/Islam Indonesia/Featured Image: arabartforsale.com

Bersambung…

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *