Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 26 April 2023

Kolom Haidar Bagir – Ketika Imam Ghazali Menderita Anxiety (Bagian 1)


Islamindonesia – Kolom Haidar Bagir – Ketika Imam Ghazali Menderita Anxiety (Bagian 1)

Umurnya masih muda. Tapi saat itu dia sudah menempati jabatan semacam rektor salah satu universitas paling top di dunia Islam saat itu. Universitas Nizamiyah di Bahgdad. Ya, dialah Muhammad Ghazali, kelak dikenal dengan gelarnya sebagai Hujjatul Islam (Hujjah Kebenaran Islam Muhammad Ghazali), seorang filosof, sufi, ahli ilmu kalam (teologi) terbesar dalam sejarah pemikiran Islam.

Seperti ditulisnya dalam buku autobiografisnya, berjudul Al-Munqidh min al-Dhalal (Pembebasan Dari Kesesatan), Al-Ghazali adalah terutama seorang filosof/pemikir rasional par excellence.

Karirnya meroket. Apalagi dia sahabat Nizamul Mulk, perdana Menteri Imperium Seljuk.

Hidup Al-Ghazali pun moncer. Semua berjalan dengan mulus. Bukan saja dia dihormati sebagai seorang pemikir/filosof Muslim agung kaliber dunia, tampak Al-Ghazali sudah merasa at home, alias tenteram dengan penjelasan-penjelasan a la filsafat Islam atas kehidupan….

Namun, mendadak sontak dan tanpa diduga sebuah penyakit psikologis menerpanya. Sebuah gangguan semacam kecemasan (anxiety disorder) menyergapnya. Rupanya, dalam tuntutan kecanggihan pemikiran filosofisnya, tiba-tiba sebuah keraguan spiritual menyergapnya.

Seperti dia ceritakan sendiri di buku yang sama, awal-mulanya adalah hadis Nabi Saw yang menggoyang keimanannya: “Semua anak lahir fitri. Adalah orangtuanya yang menjadikannya Nasrani atau Yahudi.”

Hadis ini seolah menyatakan bahwa kebenaran itu relatif. Kita tidak akan bisa benar-benar mendapatkan kebenaran sejati. Selalu saja keyakinan keagamaan itu dibentuk oleh lingkungan luar. Khususnya oleh orang tua, secara tradisional.

Maka, pikir Al-Ghazali, apa yang bisa membuat kita yakin bahwa agama yang kita anut benar? Dengan kata lain, apa yang membuat kita bisa yakin bahwa Islam yang kita anut adalah agama yang benar, dan bukan sekadar bentukan orang tua kita?

Pondasi keimanan al-Ghazali pun seperti runtuh berkeping-keping. Dia dicekam kecemasan bahwa jalan keagamaan yang ditempuhnya memiliki kemungkinan salah.

Ya, bagaimana memastikan bahwa Islam adalah agama yang benar? Kenyataannya, ia lihat anak-anak di sekitarnya, yang Muslim begitu yakin akan kebenaran Islam yang dianutnya. Demikian pula anak Yahudi dan Kristen. Keyakinan mereka bisa jadi tak akan pernah tergoyahkan sampai tua. Padahal, jangan-jangan keyakinan itu hanya turun temurun dari para orang tua mereka….

Tidak tanggung-tanggung, penyakit kecemasan ini begitu merajalela sehingga telah melumpuhkan segala daya fisik dan jiwanya. Al-Ghazali hanya bisa berbaring tidak berdaya. Hal seperti ini terjadi sampai enam bulan.

Sampai di suatu titik, dokter sudah menyerah, dan tak lagi bisa membantu. Tampak tak ada lagi yang bisa dilakukan. Hingga, hampir-hampir sama mendadak dan terduganya seperti ketika penyakit itu datang, penyakit itu menghilang begitu saja.

Memang begitulah sifat penyakit kecemasan. Tak jarang waktu saja bisa menyembuhkan. Tapi, sebagai orang beriman, tentu Al-Ghazali yakin bahwa di ujung pangkal semua peristiwa, adalah kehendak Allah. Inilah kata Al-Ghazali sendiri tentang raibnya penyakitnya itu…:

“Ketika aku akhirnya sembuh begitu saja, aku tak bisa mengatakan apa-apa kecuali bahwa Allah – seperti difirmankannya dalam Kitab-Suci-Nya – telah melapangkan dadaku untuk menerima Islam, dalam suatu cara yang misterius – yang kelak membawa Al-Ghazali kepada keyakinan akan kebenaran tasawuf yang dzawqi (intuitif), dan justru melahirkan sikap kritis kepada filsafat, bahkan kepada metoda observasi empiris (ingat, bahwa pada masa itu sains sudah berkembang pesat di dunia Islam…)

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan gangguan kepada orang-orang yang tidak cenderung kepada keimanan… (al-An’am: 165).

Ayat ini amat menarik sebagai suatu cara menggambarkan gangguan kecemasan…

Bersambung…

AL/Islam Indonesia/ Featured Image: aymennjawad.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *