Satu Islam Untuk Semua

Monday, 01 May 2023

Kolom Haidar Bagir – Ketika Al-Ghazali Menderita Anxiety (Bagian 3)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Ketika Al-Ghazali Menderita Anxiety (Bagian 3)

Dari segi medis, barangkali anxiety bisa dilihat sebagai “hanyalah” disfungsi organis biasa. “Sekadar” defisit, katakanlah, hormon seretonin. Paling jauh ia adalah masalah psikologis, yakni adanya akar traumatis dari gejala kecemasan itu. Bisa trauma perlakuan medis yang pernah dijalani, efek ketakutan yang timbul akibat kejadian traumatis-psikologis di masa lampau, atau ketakutan akibat obsesi religius yang mencekam.

Maka, bagi para psikiater, inilah penyakit yang membutuhkan obat, sebagaimana penyakit-penyakit lain. Dan, bisa saja, sambil diobati, gejala anxiety bisa hilang begitu saja bersama waktu, yakni ketika penderita mulai lupa pada traumanya itu.

Tapi bisa juga gejala anxiety menjadi lebih berkepanjangan karena trauma tak begitu saja mudah pergi. Di sini kadang bantuan psikolog diperlukan untuk membantu mengusir trauma tersebut. Berbagai langkah terapi bisa ditawarkan: terapi psikoanalitis (Freudian-Jungian yang berusaha mengonfrontasi trauma masa lampau itu), atau terapi perilaku, atau terapi perilaku kognitif.

Belakangan kesemuanya itu bisa dilengkapi dengan metoda mindfulness, seperti breathing exercise, meditasi, dan sebagainya.

Lebih jauh lagi kita bisa minta bantuan kepada model-model terapi psikologi transpersonal yang lebih bersifat spiritual-religius. Puncaknya adalah meningkatkan relasi dan kedekatan kepada Sumber dan Tempat kembali Keberadaan (Sangkan Paraning Dumadi).

Tentu dibaliknya harus ada keimanan kepada-Nya. Yakni, bukan saja bahwa Dia Ada dan Mahakuasa, tapi bahwa Dia menyayangi makhluk-Nya, dalam segenap tindakan-Nya – baik yang terkesan menyenangkan, bahkan yang terasa melahirkan penderitaan.

Dengan kata lain, kita selalu rela menerima takdir-Nya, khayruhu wa syarruhu. Karena, jika kita beriman kepada-Nya lalu pasrah kepada-Nya, maka sesungguhnya segala yang telah, sedang, dan akan datang kepada kita pada akhirnya adalah untuk kebaikan kita. Kalau bukan buat dunia kita, adalah buat kehidupan akhirat kita yg abadi nanti.

Karena, apa artinya kehidupan dunia yang bermasa pendek dan menipu ini, jika dibanding kehidupan akhirat. Dengan kata lain, kita selalu tak lupa bersyukur atas segala karunia-Nya, dan bersabar atas segala cobaan-Nya. Dan yakin bahwa yang mana pun di antara kedua hal itu tak lain adalah sapaan Cinta dari-Nya.

Terapi atau kesadaran spiritual seperti ini bukan saja membantu upaya mengatasi anxiety karena dia meningkatkan resiliensi fisik dan psikologis kita, tapi pada kenyataannya tak sedikit anxiety memang berakar – atau bisa berakar sampai – dalam sumber-sumber spiritual yang lebih dalam.

Kiranya kepasrahan inilah yang dimaksud Allah dengan “melapangkan dada” (mengaruniai insyirah ash-shadr) sebagaimana disebut dalam Surah al-An’am ayat 125 yang saya kutip – langsung dari tulisan Al-Ghazali sendiri – di awal seri tulisan ini.

Ya, Al-Ghazali menyebut bahwa kesembuhannya adalah semata-mata karena karunia “insyirah ash-shadr” dari Allah karena kesiapannya untuk beriman dan pasrah kepada-Nya, sejak sebelum dan di tengah-tengah cobaan yang di deritanya.

Insyirah al-qalb ini jugalah, tentu dalam maqam yang jauh lebih tinggi, yang Allah karuniakan kepada Rasulullah dalam kehidupan beliau Saw.

“Bukankah telah kami lapangkan (nasyrah) dadamu, (wahai Muhammad?)” Keseluruhan surat al-Insyirah ini memang bernada seperti memberikan hiburan dan ketenangan batin kepada Rasulullah Saw ketika dakwah beliau mendapat tantangan hebat. Atau bahkan sejak sebelum itu, yakni ketika beliau berada dalam fase pengembangan spiritual dan pencarian kebenaran sejati pra-bi’thah (walLaah a’lam).

Tentu, seperti sudah saya singgung di atas, maqam insyirah ini bertingkat-tingkat, sesuai dengan maqam spiritual siapa yang dikarunianya. Bagi sebagian orang, ia mengambil bentuk kepasrahan dan keikhlasan kepada Allah sebagaimana umumnya hamba Allah yang baik. Itu pun mungkin masih diwarnai “naik-turunnya” iman, atau “berbolak-baliknya hati”. Tapi bagi para awliya’ seperti Imam Ghazali, apalagi Rasulullah Saw, “islam” dan iman mereka sudah mencapai tingkat tertinggi yang bisa dicapai manusia.

Dalam salah satu riwayat, disampaikan bahwa ketika Nabi Saw membaca ayat pertama surat al-Insyirah (dalam beberapa tafsir, termasuk tafsir al-Baghawi, hadis Nabi ini merupakan respon beliau terhadap ayat 125, surat al-An’am), sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, adakah tanda-tanda bahwa hati seseorang sudah terlapangkan dan apa tanda-tandanya itu?

Rasulullah Saw. menjawab “Wahai sahabatku, jika Allah SWT telah melapangkan hati seorang hamba maka tentu ada tanda-tanda yang dengan itu kita mengetahui apakah hati kita sudah terlapangkan atau belum.

Rasulullah Saw. pun melanjutkan: ” Jika di dalam dirimu ada tiga kecenderungan ini berarti kamu termasuk manusia terlapangkan dadanya. Pertama, hatimu sudah terlepas dari ketergantungan dengan dunia fana ini. Kedua, hatimu sudah cenderung dan rindu pada alam keabadian akhirat, dan ketiga, dirimu sibuk mempersiapkan diri setiap saat apakah menjemput atau dijemput kematian.”

Akhirnya, terkait dengan hal ini. kita pun dianjurkan untuk membiasakan membaca doa berikut:

اللهم ارزقنى التجافى عن دار الغرور و الإنابة إلى دار الخلود و الإستعداد للموت قبل حلول الفوت

“Ya Allah, lepaskan diri ini dari rumah penuh tipuan ini. Dan, sebagai gantinya, karuniai semangat kembali ke rumah keabadian (akhirat). Karuniai diri ini untuk selalu membangun kesiapan untuk mati, sampai kematian itu benar-benar datang”.

Selesai

AL/Islam Indonesia/Featured Image: kumparan.com

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *