Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 16 October 2019

Kisah Salman al-Farisi Mencari Rasulullah (2)


islamindonesia.id – Kisah Salman al-Farisi Mencari Rasulullah (2)

Sambungan dari bagian 1.

“Masuklah,” jawab sang Uskup dan aku memasuki gereja dan tinggal di sana untuk melayaninya. Namun, aku segera mengetahui bahwa orang itu kotor. Dia memerintahkan para pengikutnya untuk memberikan uang untuk amal, mengiming-imingi mereka dengan berkah yang akan mereka terima.

Tetapi ketika dia mendapatkan uang untuk digunakan di jalan Allah, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak pernah memberi kepada orang miskin sedikitpun. Karenanya, dia dapat mengisi tujuh guci besar dengan emas. Aku sangat membencinya karena hal itu.

Setelah sekian waktu, uskup ini meninggal dan orang-orang Kristen berkumpul untuk menguburkannya. Namun aku keluar dan memberi tahu mereka bahwa dia adalah orang munafik dan dia biasa mengumpulkan uang amal dari mereka dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak pernah memberikannya sedikit pun kepada orang-orang miskin.

“Bagaimana engkau bisa mengetahui tentang ini?” seru mereka.

“Aku akan menunjukkan kepada kalian hartanya,” jawabku. Mereka setuju untuk mengikuti, dan aku membawa mereka ke tempat dia menyembunyikan tujuh guci besar yang diisi dengan emas dan perak.

Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menguburkannya!” Mereka menggantungnya di atas salib dan melempari batu kepadanya. Kemudian mereka menunjuk orang lain sebagai gantinya.

Aku melanjutkan pelayananku terhadap uskup baru. Aku belum pernah melihat non-Muslim manapun yang aku anggap lebih zuhud, lebih taat terhadap akhirat, dan ibadah malam dan siangnya lebih bersungguh-sungguh daripada dia. Aku mencintainya lebih dari siapapun yang pernah kucintai. Aku berbakti kepadanya sepanjang dia hidup.

Ketika waktu kematiannya sudah sangat dekat, aku mengatakan kepadanya betapa aku sangat mencintainya dan aku memintanya untuk menyebutkan nama seseorang yang dapat aku ikuti setelah kematiannya.

Dia berkata, “Wahai anakku sayang, aku tidak tahu siapa pun yang seperti aku. Orang-orang (shaleh) telah mati dan (yang lainnya) berubah, atau meninggalkan sebagian besar iman mereka yang sebenarnya, kecuali satu orang. Dia tinggal di kota Mosul, Irak. Jadi pergi dan temukanlah dia.”

Ketika sang Uskup meninggal, aku pergi ke Mosul, menemukan orang itu dan menceritakan kisahku kepadanya. Dia sangat baik, seperti yang digambarkan oleh mendiang uskupku. Aku tinggal bersamanya tetapi tidak lama kemudian dia terbaring sekarat.

Sebelum dia meninggal, aku memintanya untuk memberi tahuku siapa yang bisa aku ikuti, dan dia menyarankan aku untuk menemukan seseorang di desa yang bernama Nasibin.

Orang ini sama baiknya dengan dua yang pertama. Aku menjadi pengikutnya sampai dia meninggal. Kemudian aku pergi ke Ammuriyyah untuk bertemu dengan orang lain yang telah disarankan (oleh orang dari Nasibin) untuk aku ikuti.

Aku mengabdi kepada orang ini, yang sama baiknya dengan yang sebelum-sebelumnya. Di sana aku bekerja sampai aku memiliki beberapa sapi dan sedikit domba. Sebelum dia meninggal, aku memintanya untuk memberi tahuku apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus diikuti.

Dia berkata, “Nak, demi Allah, aku tidak tahu siapa lagi di dunia ini yang masih mengikuti apa yang telah kita ikuti. Tetapi sudah tiba saatnya bagi seorang nabi untuk muncul di tanah orang-orang Arab.

“Dia akan diutus dengan pesan yang (sama yang telah) diberikan kepada Ibrahim. Setelah beberapa waktu dia akan pindah dari kotanya ke kota lain yang memiliki banyak pohon kurma di antara dua wilayah batu lahar hitam.

“Dia akan memiliki tanda-tanda yang jelas (yang dengannya engkau dapat mengenalinya): Dia akan memakan apa yang diberikan, tetapi dia tidak akan memakan apapun yang diberikan dalam bentuk sedekah, dan di antara bahunya terdapat tanda kenabian.

“Jika engkau dapat mencapai tempat tinggalnya, maka cobalah untuk melakukannya. Karena bersamanya adalah keselamatan dan jalan yang jelas untuk menuju Tuhan Allah kita.”

Orang suci Kristen ini meninggal dan dimakamkan. Aku tinggal di Ammuriyyah sampai sekelompok pedagang Arab tiba. Aku meminta mereka untuk membawaku ke Arab dengan bayaran sapi dan dombaku.

Mereka setuju dan membawa aku bersama mereka dengan bayaran hewan-hewanku. Tetapi ketika kami sampai di Wadi al-Qura (sebuah lembah di antara Madinah dan Suriah), mereka mengkhianatiku dan menjualku kepada seorang Yahudi sebagai budak.

Bersambung ke bagian 3.

PH/IslamIndonesia/Sumber: Noura Durkee, Hearts Have Changed: Stories of the Sahabah Volume IV (Iqra: Chicago) hlm 99-105/Foto: Tony Binder

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *