Satu Islam Untuk Semua

Monday, 14 October 2019

Kisah Salman al-Farisi Mencari Rasulullah (1)


islamindonesia.id – Kisah Salman al-Farisi Mencari Rasulullah (1)

“Salman termasuk kepada kami, para Ahlul Bait.” – Rasulullah

Kisah perjalanan Salman al-Farisi, orang Persia, dalam memeluk Islam adalah salah satu kisah terbaik dalam sejarah. Dia akan menjadi salah satu orang yang paling dicintai Nabi dan kontribusinya kepada umat Islam sangatlah banyak. Beginilah Salman menceritakan kisahnya dalam menemukan kebenaran:

Aku adalah seorang pemuda Persia dari Isfahan, dari sebuah desa yang bernama Jayy. Ayahku adalah kepala desa. Dia adalah orang terkaya, dan yang paling ningrat. Sejak aku dilahirkan, aku adalah putra ayahku yang paling dicintainya.

Cintanya kepadaku sangatlah besar. Seiring waktu berlalu, dia takut kehilangan aku sehingga dia mengurungku di rumah seolah-olah aku adalah seorang tahanan.

Aku menjadi pengikut taat Majusi, agama nenek moyang kami. Aku bertanggung jawab untuk menjaga api suci keluarga kami, dan adalah tugasku untuk tetap membuatnya menyala, sehingga ia tidak akan pernah padam walaupun hanya sebentar, baik siang maupun malam.

Kini ayahku memiliki sebuah peternakan besar yang menghasilkan banyak uang. Dia merawatnya sendiri. Suatu hari, dia terlalu sibuk untuk pergi ke pertanian untuk memeriksa berbagai macam hal, jadi dia berkata, “Wahai anakku, seperti yang engkau lihat, aku terlalu sibuk untuk pergi ke pertanian kita. Engkau harus pergi hari ini dan mengurusnya.”

Dia memberiku instruksi tertentu dan kemudian berkata, “Jangan biarkan dirimu terlambat (pulang), karena engkau lebih penting bagiku dibanding pertanianku, dan mengkhawatirmu akan mencegahku menjalankan perniagaan!”

Jadilah aku mulai, menuju lahan pertanian. Dalam perjalanan, aku melewati sebuah biara Kristen, dan suara nyanyian dari dalamnya menarik perhatianku. Aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu karena ayahku memingitku di rumah, jauh dari orang-orang.

Ketika aku mendengar suara-suara itu, aku masuk ke halaman biara untuk mencari tahu apa yang mereka lakukan. Aku terkesan dengan sembahyang para rahib di sana dan merasa tertarik dengan ibadah mereka.

Aku berkata kepada diri sendiri, “Ini jauh lebih baik daripada apa yang kami – Majusi – lakukan!” Jadi aku tinggal bersama para rahib sampai matahari terbenam dan aku tidak pergi ke pertanian ayahku. Aku bertanya kepada mereka dari mana agama ini berasal, dan aku diberitahu bahwa itu berasal dari Suriah.

Malam harinya aku pulang. Ayahku sangat khawatir sehingga semua pekerjaannya terganggu. Dia bertanya dari mana saja aku, dan mengapa aku tidak mengikuti perintahnya. Aku berkata, “Wahai Ayah, aku melihat orang-orang sembahyang dalam sebuah biara. Aku penasaran, dan tinggal bersama mereka sampai matahari terbenam.”

Ayahku terkejut dan berseru, “Tidak ada yang baik dalam agama mereka, Nak! Agama leluhur kita lebih baik!”

“Tidak ayah,” jawabku, “agama mereka lebih baik dari kita!”

Ayahku ketakutan bahwa aku akan meninggalkan agama kami, jadi dia mengikatku dan mengurungku kembali di rumah. Ketika aku mendapat kesempatan, aku mengirim pesan kepada para biarawan Kristen, mengatakan, “Mana kala karavan datang dari Suriah, beri tahu aku.”

Tidak lama setelahnya, mereka mengirim kabar kepadaku bahwa memang ada karavan yang datang. Aku meminta para rahib untuk mencari tahu apakah para pedagang mau membawaku ke Suriah bersama mereka ketika mereka menyelesaikan perniagaan mereka. Mereka sepakat untuk melakukan ini.

Aku berhasil membuka ikatan kakiku dan melarikan diri dari rumah. Aku bergabung dengan karavan itu secara sembunyi-sembunyi dan ikut bersama mereka ke Suriah. Sesampainya di sana, aku bertanya kepada orang-orang yang paling terdidik dalam agama mereka. Mereka berkata, “Uskup gereja utama.”

Aku langsung menemui uskup ini dan berkata, “Aku ingin menjadi seorang Kristen. Aku ingin melayanimu, belajar darimu, dan sembahyang bersamamu.”

Bersambung ke bagian 2.

PH/Islam Indonesia/Sumber: Noura Durkee, Hearts Have Changed: Stories of the Sahabah Volume IV (Iqra: Chicago) hlm 99-105/Foto: Boston Consortium

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *