Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 15 October 2020

KAJIAN – Terbangun di Alam Kubur


Sebagian orang kaget saat terbangun di alam kubur. Di tengah keterkejutannya, mereka bertanya-tanya, “Yā wailana mam ba’aṡanā mim marqadinā?” (Celakalah kami, siapa yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami?) [QS. Yasin: 52].

Sebelumnya, mereka mengira kehidupan hanya sebatas di alam fisik dan kematian mengakhiri segalanya. Nyatanya, kehidupan berlanjut ke alam lain dan mereka baru menyadarinya setelah terbangun di kuburnya.

Menariknya, Allah mengumpamakan kuburan dengan مَرْقَد (marqad) yang secara harfiah bermakna tempat tidur. Kata ini berasal dari kata رَقَدَ – يَرْقُدُ yang berarti tidur, tertidur atau tidur nyenyak.

Ya, kematian sesungguhnya seperti tidur. Kematian yang dianggap luar biasa bagi perjalanan hidup setiap manusia hanya diumpamakan tidur oleh Allah.

Rasulullah Saw bersabda, “Sebagaimana tidur, begitulah kalian mati. Sebagaimana bangun dari tidur, begitulah kalian dibangkitkan”.

Oleh karena itu, seperti membangunkan orang tidur, tak ada yang berat bagi Allah untuk membangkitkan tulang belulang di kuburan. Dia membangkitkan orang mati seperti membangunkan orang tidur. Sesimpel itu.

Jika masih saja ada orang yang meragukannya, berarti ia termasuk orang-orang yang disentil dalam Alquran surat Yasin ayat 78. Andai dijadikan sarkasme, sindiran ayat itu kira-kira bunyinya: Jika di dunia ini saja Tuhan mampu menghadirkan kalian dari ketiadaan, apalagi membangkitkan kalian yang telah ada. Jika di dunia ini saja Tuhan bisa menciptakan kalian tanpa mengabarkan kepada kalian sebelumnya, apalagi setelah Dia memberitahu bahwa akan ada hari perhitungan kelak.

Baca juga:

Inilah kira-kira logika yang dibangun oleh Alquran. Dalam menjelaskan logika ini, para ulama kemudian mengkaji mengapa manusia masih tidak bisa menyadari kematian yang sering datang kepadanya. Bukankah tidur adalah kematian kecil yang telah dialami ribuan kali oleh manusia?

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”(Q.S. Az-zumar: 42)

Namun mengapa perumpamaan itu seperti tidak masuk dalam kepala kita? Secara sederhana, para ulama menjelaskan bahwa postur tubuh manusia memiliki ratusan lapisan.

Di antara lapisan itu ialah bagian terluar tubuh bernama الجسم المادي الغليظ atau kulit tubuh yang kita sentuh sehari-hari. Inilah tubuh kasar manusia.

Lapisan berikutnya ialah الجسم الحسي yaitu lapisan tubuh indrawi. Ketika kulit bersentuhan dengan benda, manusia merasakan sesuatu. Tapi, sesungguhnya lapisan tubuh indrawi lah yang merasakannya bukan lapisan luar tubuh.

Sementara di balik tubuh indrawi itu ada lapisan yang mereka mengistilahkannya dengan الجسم البرزخي المثالي atau tubuh barzakh. Pada lapisan inilah, imajinasi dan ilusi terkandung. Di sana pergolokan perasaan berlangsung.

Setelah tubuh indrawi merasakan hasil benturan pada lapisan luar, ia mengirimkan sinyal ke bagian yang lebih dalam lagi. Kemudian muncullah marah, sedih atau mungkin saja gembira.

Almuhaqqiq Allamah Syekh Muhammad Sanad mengibaratkan tubuh indrawi bagaikan ruang kontrol pengawas keamanan di suatu gedung. Dari ruang kontrol, pengawas dapat menyaksikan objek-objek di ruang lainnya melalui kamera pemantau atau CCTV.

Nah, panca indera manusia itu seperti layar di ruang kontrol yang menghasilkan gambar dari CCTV. Tapi tampilan layar itu tak bermanfaat jika tak ada yang dapat memaknainya. Pada wilayah inilah, lapisan di balik indrawi menjalankan fungsinya. Barzakh menghubungkan manusia dengan alam lain.

Hanya saja, persoalan terbesar manusia ketika mereka hanya memberikan perhatian kepada tubuh kasarnya. Orang-orang hanya merias tubuh kasarnya dan membedaki kulit terluar wajahnya.

Padahal manusia membutuhkan berkomunikasi dengan tubuh indrawi dan barzakhnya. Jika kita tak pernah menjalin hubungan dengan keduanya, bagaimana dengan lapisan-lapisan lainnya.

Tanpa pemahaman ini, kita tak akan mengerti mengapa Allah menyuruh hambanya berwudhu sebelum salat meskipun ia telah mendandani wajah terluarnya. Musababnya, wudhu itu memperindah tubuh lapisan dalam, bukan tubuh kasar.

Jika diselami lebih dalam lagi, salah satu tujuan dari agama ialah mengajarkan manusia untuk menggerakkan dan memfungsikan bagian-bagian dari tubuh manusia selain tubuh kasar. Jadi bukan hanya wudhu, tapi juga salat dan ajaran agama lainnya dapat kita gunakan untuk memfungsikan aspek-aspek lain dari tubuh ini.

Menariknya lagi, penelitian dalam ilmu biologi menunjukkan arah yang sama dengan apa yang dikatakan para ulama Islam. Riset ini bisa ditelusuri lebih lanjut dengan kata kunci ‘ektoplasma’ (ectoplasm) dan ‘endoplasma’ (endoplasmic).

Artinya, saintis yang tak percaya adanya kehidupan setelah mati pun memiliki paradigma yang sama dengan Alquran. Bahwa manusia memiliki lapisan-lapisan dalam tubuhnya yang kalau kita tidak mengolahnya atau enggan mengajaknya berkomunikasi, maka lapisan-lapisan tersebut seolah-olah mati. Dan ketika mati beneran lalu dibangunkan di alam kubur, mereka pun terperanjat lalu bertanya-tanya, “Yā wailana mam ba’aṡanā mim marqadinā?” []

Baca juga:

AJ | IslamIndonesia.id | Foto: stockfreeimage.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *