Satu Islam Untuk Semua

Friday, 23 December 2016

KAJIAN – Meninjau Kembali “Persaudaraan Agama-agama Abrahamik”


islamindonesia.id – KAJIAN – Meninjau Kembali “Persaudaraan Agama-agama Abrahamik”

 

Salah satu karya intelektual yang lahir menjelang akhir tahun ini ialah buku “Persaudaraan Agama-agama Millah Ibrâhîm dalam Tafsir Al-Mizan ” karya Dr. Waryono Abdul Ghafur. Di sela-sela kesibukannya sebagai Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga, Waryono menyempatkan diri memberikan gambaran umum terkait karyanya yang dilaunching dan dibedah oleh peneliti Lintas Agama dan Budaya UGM Dr. Zainal Abidin dan Pakar Tafsir Al-Qur’an Dr. Abdul Mustaqim.

Menurut penulis buku, pemilihan tema ‘Millah Ibrâhîm’ tidak lepas dari soal konflik agama sepanjang sejarah yang hampir tidak pernah berhenti. Di antara agama-agama yang ada di dunia, Yahudi, Nasrani, dan Islam memiliki penganut paling banyak dan juga paling sering terlibat konflik dalam sejarah.

>> Wali Kota New York Muak Polisi Muslimah Diancam, Kang Emil Sesalkan Ormas Bubarkan Natal di Bandung

Padahal, pembawa tiga agama tersebut bermuara pada satu figur: Ibrâhîm. Karena kesamaan itulah, penganut ketiga agama tersebut berebut klaim sebagai ahli waris millah Ibrâhîm. Meski demikian, bagi aktivis dialog lintas iman ini, agama tidak selalu menjadi faktor utama konflik. Bahkan, sebagian teori mengatakan tidak ada konflik sosial yang disebabkan oleh satu faktor saja.

Jika dibuka halaman pendahuluan buku yang telah diterbitkan Mizan ini, disebutkan bahwa agama ketika men-sejarah cenderung dan bahkan hampir pasti menyimpang. Dalam hal ini, Waryono sempat menyinggung hadis yang mengatakan adanya mujaddid (reformis) di setiap 100 tahun. Seorang reformis dalam setiap sejarah agama, kata Waryono, diperlukan untuk meletakkan kembali misi profetik.

Tak terkecuali Islam yang tidak ada lagi kitab suci setelah Al-Qur’an. Kerena itu, khazanah paling kaya dalam Islam ialah Tafsir.

“Tidak ada produk pemikiran yang menghasilkan karya ilmiah paling banyak selain Al-Qur’an,” katanya di depan hadirin launching dan bedah buku di Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (8/12).

bedah-buku-millah-ibrahim

Masih terkait tema ‘Millah Ibrâhîm’, penulis mengaku ingin menelusuri lebih jauh, pasca Ahlul Kitab, titik apa yang bisa menjalin agama-agama Ibrahmiyah. Apalagi, dari berbagai referensi, menyebutkan bahwa masing-masing agama itu mengklaim paling “abrahamik”.

“Dan bukan suatu kebetulan kalau dalam setiap shalat umat Muslimin, ketika tahiyat akhir (dalam shalat) selalu membaca shalawat ibrahimiyah,” kata pria asal Cirebon ini.

>> KAJIAN – Kafir, Kategori Moral atau Teologis?

Sedemikian sehingga Almarhum Nurcholis Madjid pernah menulis bahwa satu-satunya nabi yang disebut dalam shalat ialah Nabi Ibrâhîm. Ketika ditelusuri, Nabi Muhammad memang memiliki hubungan geneologis dengan Ibrâhîm.

“Tapi pertanyaannya mengapa langsung ke Ibrâhîm?” katanya menekankan di antara motivasi di balik penelitian tema ini.

Masih banyaknya terjadi “konflik agama” di muka bumi, termasuk di indonesia ini, mendorong ia untuk mengingatkan kembali nilai-nilai fundamental dari masing-masing agama. Karena sebenarnya ‘common platform’ dari semua agama adalah sama.

Menggunakan ‘tafsir tematis’ dengan pendekatan historis dalam menyelami ayat-ayat Al-Qur’an, Waryono menemukan sejumlah karakteristik Millah Ibrâhîm yang bisa pijakan persaudaraan agama-agama ini. Salah satu karakteristik itu ialah “ihsan”.

Waryono pun menyebut sebuah negara yang mayoritas Muslim dimana pernah mendirikan rumah sakit untuk penyakit kusta. Setelah diumumkan rekrutmen terbuka, tak satu pun Muslim yang mendaftar karena anggapan penyakit ini menular. Yang mendaftar justru dari orang-orang Non Muslim.

Nah, apakah orang–orang non-Muslim yang memiliki sifat ihsan seperti ini termasuk Millah Ibrâhîm atau bukan? Bagi penulis buku, bukan suatu kebetulan, jika dalam Al Qur’an diungkap “innallah yuhibbul muhsiniin” (sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan). Dan justru tidak ada ungkapan “innallaha yuhibbul muslimiin” (sesungguhnya Allah mencintai orang-orang Muslim).

>> Prof. Sumanto Al-Qurtuby: “Tak Setiap Orang Kristen Itu Kafir”

Adapun kata “muhsin”, menurut defenisi Prof. Quraish Shihab, memiliki tiga dimensi.Yaitu benar, baik, dan indah (estetik). Ketiganya merupakan unsur yang tinggi dibanding Muslim atau Mukmin yang sekedar nama. Karena ini juga, definisi Millah Ibrâhîm (Abrahamic Religion) dalam karya 292 halaman ini bermakna kepercayaan dan praktik hidup yang dijalankan oleh Ibrâhîm.

Mengikuti millah Ibrâhîm berarti mempraktikkan dan mengikuti jejak-langkahnya dalam hal faith (iman) dan sekaligus praktik empiriknya (syariat). Maka, pengikut millah Ibrâhîm bukan saja se-iman dengan Ibrâhîm, tetapi juga menjalankan tuntutan imannya, yang lazim dikenal dengan Islâm, yakni pasrah dalam menerima dan menjalankan semua perintah Allah secara total.

Maka, millah Ibrâhîm di satu sisi bersifat terbuka atas berbagai keyakinan dan praktik keagamaan yang selaras dengan pengertian tersebut, meski secara genealogis tidak bermuara pada Ibrâhîm. Di sisi lain, ia bersifat tertutup atas iman dan praktik keagamaan yang tidak selaras meski masih memiliki hubungan genetis dengan Ibrâhîm. Jadi, persaudaraan agama-agama terjalin bukan karena hubungan genetis, tetapi karena hubungan imani dan syar’i.

Millah Ibrâhîm dalam pengertian tersebut dapat dijadikan paradigma untuk memahami ayat-ayat Alquran tertentu—misalnya ayat inna al-dîna ‘inda Allâh al-islâm—yang oleh satu kelompok dipahami secara eksklusif, namun oleh kelompok lain dipahami secara inklusif. Ayat-ayat Alquran, mesti diingat, merupakan satu-kesatuan utuh yang tidak boleh dipahami secara parsial (juz’iyyah). Di samping itu, kita juga mesti memahami Alquran secara kontekstual dengan menelusuri latar historis ayat sambil menelisik ideal moralnya.

“Kita sebagai Muslim tidak layak mengaku Abrahamik sepanjang misalnya, sekedar pengakuan namun tidak diikuti dengan kemusliman yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrâhîm, khususnya pada level kelima.”

Bagi penulis Tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, ke-musliman memiliki sejumlah tingkatan dan yang paling tinggi ketika menjalankan perintah Tuhan dengan tetap bersahabat dengan makhluk-Nya yang beragam itu. Lalu pertanyaan lain soal buku ini, mengapa memilih Tafsir Al Mizan? Bahkan penulis buku mendirikan kelompok pengajian bernama ‘Al Mizan’.

Salah satu yang menarik bagi Waryono, kitab ini benar-benar memberikan perspektif – sebagaimana salah satu nilai dasar Nahdlatul Ulama – ialah “tawazun” atau seimbang. Dalam Tafsir Al Misbah misalnya, sang penulis Prof. Quraish Shihab hampir selalu mengutip Tafsir Al Mizan yang menunjukkan karya Thaba’thabai ini memiliki pengaruh dalam dunia Islam. Al-Mizan ini juga merupakan tafsir selain Tafsir Al Manar yang betul-betul mengutip Al Kitab (Injil, red.).

covim-116

Waryono menekankan, karya ini ditulis sebagai upaya akademis untuk bisa saling memberi pemahaman bahwa agama – sepanjang itu benar -, akan mengedepankan kemanusiaan.

“Jadi saya memiliki teori, bahwa tafsir apa pun, dianggap ‘mahmud’ (terpuji) sepanjang tafsir itu tidak mendistorsi kemanusiaan,” katanya.

Meminjam istilah dalam Ushul Fikih, ‘tafsir mahmud’ ialah yang mengedepankan ‘maqasid syariah’ (tujuan-tujuan yang disyariatkan). “Dan saya membaca, tafsir Al Mizan ini lebih mengedepankan maqasid syariah.”

Jebolan Pondok Pesantren As Salafi ini menambahkan, “Yang paling brilian dari Thabathaba’i ialah penelusuran sumber-sumber historis dari ungkapan-ungkapan Al-Qur’an.”

Hal ini sangat penting, apalagi mengingat William Montgomery Watt misalnya, mengkritik Al Qur’an yang ia nilai penyebutan “trinitas” tidaklah tepat karena waktu itu di Makkah tidak ada komunitas Nasrani.
Namun dalam karya tafsirnya, Thabathaba’i justru menelusuri sumber-sumber dalam aliran-aliran teologi, seperti dalam Kristen. Karena itu, dalam buku karya Waryono, dijelaskan bahwa fenomena trinitas bukan fenomena kristianiti.

“Sejak Ibrahim, sudah ada trinitas. Hanya mungkin yang perlu ditelusuri ialah mengapa paham trinitas itu selalu ada dalam sejarah?”

Melalui tafsirnya, Thabathaba’i mencoba memberi pemahaman utuh akan arti persaudaraan agama-agama. Dalam pandangannya atas millah Ibrâhîm, ia menangkap dan menawarkan ideal moral Alquran yang dapat dijadikan jembatan hubungan agama-agama yang ada di dunia, terutama agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.[]

>> KAJIAN – Benarkah Orangtua Nabi Masuk Neraka?

 

YS / islam indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *