Satu Islam Untuk Semua

Friday, 08 July 2016

KAJIAN–Cacat Logika Takfirisme dan Pembelaan atas Ibn Taimiyah (Bagian 1)


Islamindonesia.id–Cacat Logika Takfirisme dan Pembelaan atas Ibn Taimiyah (Bagian 1)

Azam-islamindonesia.id

0leh: Azam Bahtiar

Pengantar

Alkisah, di akhir masa hidupnya, Allamah Al-Hilli – Husain bin Yusuf bin Ali bin Muthahhar (w. 726 H), seorang alim besar mazhab Syiah – menunaikan ibadah haji. Di sana ia bertemu dengan Ibn Taimiyah (w. 728 H), rival pemikirannya dan pengusung terdepan doktrin Salafisme. Setelah berdialog, Ibn Taimiyah – yang tak mengenal secara personal Ibn Muthahhar Al-Hilli – terpesona dan bertanya: “Anda ini siapa?.” “Saya,” jawab Al-Hilli, “adalah orang yang Anda labeli dengan nama “Ibn al-Munajjas” (anaknya orang najis)”. Dari peristiwa ini, secara tak dinyana, justru timbullah perasan bersahabat dan kedekatan antarkeduanya.

Kisah di atas dimuat dalam margin Al-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852), seorang ahli hadis besar dan pesnyarah kitab Shahih al-Bukhari, melalui penukilan murid berbakatnya, yakni Imam Sakhawi (1993: II/72). Jawaban Al-Hilli dengan “Ibn al-Munajjas” sesungguhnya merupakan sindiran untuk Ibn Taimiyah yang – dalam Minhaj al-Sunah, sebuah karya yang ditulisnya untuk meng-counter karya Al-Hilli, yakni Minhaj al-Karamah – menyebut Al-Hilli sebagai “lebih tepat disebut najis dan kotor daripada suci” (2005: 14). Ini merujuk pada nama populer Al-Hilli yang dinisbatkan kepada datuknya, yaitu “Ibn Muthahhar” (secara literal: Anaknya Muthahhar, “orang suci”).

Untuk mengafirmasi apakah peristiwa di atas benar-benar fakta historis, tentu dibutuhkan sejumlah penelitian, misalnya, terkait perbandingan tahun kematian keduanya, kapan keduanya melaksanakan haji, dan kapan dua karya polemik di atas ditulis. Namun, yang jauh lebih penting dari itu sesungguhnya adalah apa pesan moral yang hendak disampaikan dalam nukilan Imam Sakhawi ini? Tak lain bahwa setajam apapun tingkat perbedaan paham, sikap saling menghormati dan persaudaraan tetaplah harus diprioritaskan.

Tren Salafi-Takfiri modern, yang sangat giat melancarkan tuduhan “kafir” kepada kelompok yang tak sepaham dengan mereka, agaknya perlu mencontoh sikap Ibn Taimiyah ini. Meski Ibn Taimiyah dikenal memanfaatkan bahasa yang sangat pedas dan sarkastik dalam melabeli lawan-lawan pemikirannya, khususnya Syiah, namun kisah di atas menampilkan gambaran lain bahwa, di atas segala perbedaan paham yang ada, persaudaraan dan keramahan harus lebih diutamakan.

 

Takfir Harus Sophisticated

Sikap lain yang perlu ditiru adalah bahwa takfir atau pengkafiran harus dilakukan melalui pemikiran dan investigasi yang mendalam dan sophisticated. Takfir (pengkafiran) sesungguhnya memiliki pembenar baik secara rasional maupun doktrinal. Sebab, penegasan status “iman” secara sekaligus berarti penegasan adanya yang bukan iman, yakni “kekafiran”. Keduanya bak dua sisi dari satu mata uang yang sama. Yang perlu dicatat, sepanjang sejarah pemikiran Islam, pengkafiran bukanlah semata umbaran dan ekspresi penolakan akan perbedaan dan kemajemukan cara pandang liyan. (Kecuali dalam kasus Khawarij yang tersulut oleh arbitrase lantas mengkafirkan Imam Ali as dan seluruh yang ada di barisannya).

 

Takfir Muthlaq dan Takfir Mu’ayyan

Ibn Taimiyah pun dengan cerdas memahami perlunya bangun konseptual yang memadai sebelum melemparkan tuduhan kafir. Ia membedakan antara takfir muthlaq dan takfir mu’ayyanTakfir muthlaq adalah proposisi umum untuk menetapkan status kekafiran atas ucapan, tindakan, dan keyakinan yang berlawanan dengan prinsip dasar Islam, secara mutlak, tanpa menunjuk pada person tertentu. Sedangkan takfir mu’ayyan adalah menetapkan seseorang sebagai kafir karena terpenuhinya syarat-syarat kekafiran di dalam dirinya, dan tanpa adanya mawani’ al-kufr. Pembedaan ini menjadi sangat penting mengingat penetapan takfir muthlaq tidak serta-merta berimplikasi pada dibenarkannya menuduh seseorang sebagai kafir (takfir mu’ayyan). Misalnya, sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim menarasikan, bahwa ada seseorang yang berpesan agar ketika mati kelak, tubuhnya dibakar dan abunya ditebarkan di kencangnya angin lautan. “Sungguh, jika Tuhanku mampu mengembalikanku, niscaya aku akan disiksa-Nya dengan amat pedih,” demikian alasan di balik pesan itu. Namun, ketika Allah perintahkan bumi untuk menghimpun kembali abunya dan ketika ia bangkit, Allah bertanya, “Apa yang membuatmu melakukan itu?.” “Rasa takut kepada-Mu, ya Rabb,” jawabnya. Tak diduga, Allah pun malah mengampuninya (1997: 195-6).

Kata Ibn Taimiyah, ucapan orang dalam kisah hadis di atas jelas kufur menurut kesepakatan semua umat Islam. Namun, narasi hadis di atas menolak menyebutnya sebagai kafir, mengapa? Tak lain karena pelakunya “tidak mengetahui” kuasa Allah dalam mengembalikan jasadnya yang telah menjadi abu berhamburan. Dia pikir, pembakaran tubuh-fisiknya untuk kemudian ditebarkan berhamburan abunya, dapat membuatnya selamat dari pengadilan Allah. Ada kegalatan konsep teologis di sini. Dan ketidaktahuan – di samping kekeliruan, ketidakmampuan, dan paksaan – adalah bagian dari mawani’ al-kufr, yakni faktor-faktor yang mementahkan atribusi kafir atas seseorang.

Betapapun Ibn Taimiyah tidak cukup konsisten dan terkesan emosional dalam mengoperasikan kaidah-kaidah takfir yang digariskannya, tentu ini adalah persoalan lain yang masuk kategori hafwat al-‘alim (kekeliruan seorang pakar), yang jelas tak dapat ditiru. Rumusan kaidah-kaidah pengkafiran adalah satu hal, dan sikap sembrono Ibn Taimiyah sendiri adalah persoalan lain.

Bersambung

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *