Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 07 July 2016

ANALISIS–Mantan Imam Besar Masjidil Haram Akui ISIS sebagai Produk Salafi


Islamindonesia.id–Mantan Imam Besar Masjidil Haram Akui ISIS sebagai Produk Salafi

al-kalbani

Serangkaian bom bunuh diri di berbagai belahan dunia telah mencengangkan banyak orang. Tapi apa yang dalam penghujung Ramadhan lalu terjadi di depan Masjid Nabawi di Madinah merupakan klimaksnya. Banyak yang bingung, bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Muslim, mengaku pengikut Nabi Muhammad, menjadi demikian beringas terhadap sesama Muslim, dan lebih gila lagi bertekad membunuh mereka di salah satu mesjid tersuci umat Islam? Bagaimana mereka bisa sampai pada pikiran dan niat seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Namun, yang jelas, orang yang sampai pada tekad seperti itu tidak mungkin mendadak, melainkan berproses panjang, dari satu derajat ekstremisme menuju puncaknya yang absurd dan nihilistik. Dari sekian banyak pemikiran dan mazhab Islam, aksi-aksi brutal ini banyak mengambil inspirasi dari sumber-sumber dan khazanah pemikiran Islam yang kerap disebut sebagai Salafi Wahabi Takfiri. Pemikiran ini berpijak pada cara berpikir yang kolot, tertutup, menolak logika, apalagi filsafat, full doktrinal, anti atas segala rupa metode kritis, rasis, dan macam-macam unsur primitif lain. Inilah biang kerok di balik banyak aksi absurd para teroris yang mengatasnamakan Islam.

Maka itu, tidaklah aneh jika lantas Mantan Imam Besar Masjidil Haram, Syekh ‘Adil Al-Kalbani, terang-terangan menyatakan bahwa Daesh (ISIS) adalah “produk Salafisme”. Dalam kicauannya beberapa waktu silam, dia juga menyatakan bahwa ulama Saudi dan dunia Islam “harus menghadapinya dengan jujur dan transparan.” Pernyataan Al-Kalbani itu kemudian mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan ulama Salafi-Wahabi di Saudi sendiri. Tak mau menyerah, Al-Kalbani lalu menulis artikel cukup panjang di koran Al-Riyadh sepekan setelahnya

Dalam artikel yang ditulisnya di koran Al-Riyadh 24 Agustus 2014 itu, Al-Kalbani menjelaskan bagaimana Salafisme telah berubah menjadi suatu cara mengkafirkan, menyesatkan dan membid’ahkan pihak-pihak lain. Kebiasaan ini, tulisnya, berjalan tanpa ada yang menolak, menghukum dan mencela. Semua sikap ekstrem penghakiman itu berlangsung di depan umum tanpa ada suara kritis yang hendak menolaknya. Bahkan, tulisnya, orang-orang yang melakukannya dan mengaku diri sebagai perwakilan dari Salafi, justru mendapat kehormatan dan kesempatan berbicara di mana-mana. Lebih jauh dia menulis, “Mereka menyebarkan prinsip-prinsip Islam dengan cara yang menyimpang sehingga membuatnya tidak dapat dipahami atau terdistorsi, sekaligus memelihara hal-hal yang menafikan Islam.”

Al-Kalbani barangkali bukan ulama Salafi pertama yang ingin merevisi arus-utama Salafi-Wahabi di Arab Saudi. Tapi suara mereka tak pernah dapat mengubah arus besar yang sudah demikian berjalin-berkelindan dengan kepentingan politik kerajaan. Kolusi antara pemikiran ekstremis Salafi-Wahabi dan kerajaan telah menjadi sorotan banyak pihak, termasuk pemerintah Amerika Serikat yang menjadi sekutu utama dan terdekatnya sendiri. Hanya saja, sorotan kritis ini tak membuat kolusi itu serta merta pudar, melainkan justru membuatnya semakin rumit untuk dideteksi dan diurai. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kolusi itu telah berubah menjadi mutualisme siombiosis yang saling menghidupi dan memperkuat.

Kerajaan Arab Saudi sepertinya tidak lagi dapat menemukan penopang lebih kuat daripada kaum Salafi-Wahabi dan demikian pula sebaliknya. Sedemikian rupa sehingga kurikulum pendidikan Islam di banyak belahan dunia yang mendapat sumbangan Arab Saudi juga telah terkontaminasi dengan unsur-unsur pemikiran ekstremis ini. Dan itulah sebabnya penanggulangan ekstremisme yang menakutkan ini membutuhkan seluruh elit Muslim dunia, khususnya Indonesia. Jika tidak cepat melangkah, bukan mustahil Indonesia akan segera merasakan dampak-dampak buruknya. Sebagai bangsa dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mewaspadai masuknya pikiran-pikiran Salafi-Wahabi dalam berbagai kurikulum pendidikan Islam di berbagai lembaga pendidikan terkait.

 

AJ/IslamIndonesia

One response to “ANALISIS–Mantan Imam Besar Masjidil Haram Akui ISIS sebagai Produk Salafi”

  1. Nursamsi Kusuma Putra says:

    Memgapa Tulisan sang mantan Imam – yang ditulis 24-Agustus-2014, anda jadikan “sandakan” untuk menganalisa bom Madina yang baru terjadi 5-Juli 2016 ?

    Tapi bisa saja analisa bom Madina ANDA analisa menggunakan rujukan / peringatan dari tulisan sang mantan Imam.

    Bisa saja saya yang salah, bahwa memang sang mantan imam – saat membuat tulisan di 2014 tsb, sudah membayangkan akan terjadi nya BOM Madina ini ,,

    Atau, … Ada penjelasan lanjutan nya ?

    Semoga ..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *