Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 27 December 2016

KAJIAN – Benarkah Jubah Putih dan Serban Atribut Keislaman?


islamindonesia.id – KAJIAN – Benarkah Jubah Putih dan Serban Atribut Keislaman?

 

Menurut Syekh Muhammad Al-Ghazali, meneliti kebenaran suatu berita merupakan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatilkan yang batil. Kaum Muslim sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik untuk penetapan suatu pengetahuan atau pengambilan suatu dalil.

“Apalagi jika hal itu berkaitan dengan riwayat hidup Nabi mereka, atau ucapan dan perbuatan yang dinisbahkan kepada beliau,” kata ulama jebolan Al Azhar Mesir ini.

Di sisi lain, Al-Ghazali mengingatkan peringatan Nabi Saw dimana beliau pernah bersabda, “Kebohongan yang dilakukan berkaitan dengan aku (yakni tentang ucapan dan perbuatan beliau) tidaklah sama dengan kebohongan yang berkaitan dengan siapa pun selain aku.”

Penutup para nabi itu melanjutkan sabdanya, “Barangsiapa berbohong tentang aku secara sengaja, hendaknya ia bersiap-siap menduduki tempatnya di neraka.”

>> KAJIAN – Bagaimana Jika Ada hadis Bertentangan dengan Al-Qur’an?

Karena itu, agar umat Islam tidak mudah termakan berita bohong yang mengatasnamakan hadis Nabi, para ahli hadis telah menetapkan setidaknya 5 syarat dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw.

1 – Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya.

2 – Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.

3 – Kedua sifat tersebut di atas (butir 1 dan 2) harus dimiliki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tak terpenuhi pada diri seseorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat shahih.

4 – Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).

5 – Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).

Kelima syarat itu, katanya, cukup menjamin ketelitian dalam penukilan serta penerimaan suatu berita tentang Nabi Saw. “Kita berani menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia tak pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang menyamainya. Namun, yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk mempraktekkan persyaratan tersebut.”

Syekh Al-Ghazali lalu memberi contoh tulisan seorang ulama yang mengutip hadis riwayat Al-Baihaqi: “Hendaknya kalian mengenakan serban, sebab serban adalah tanda pengenal para malaikat. Dan biarkanlah ujungnya menjulur di belakang punggung kalian.”

Masih ada lagi beberapa “hadis” tentang keutamaan serban yang dirawikan oleh Tirmidzi dan Abu Daud. Namun di sisi lain, semua hadis itu (kebenarannya) telah dibantah oleh Syaikh Muhammad Hamid Al-Hanafi yang menegaskan, “Tak ada satu pun hadis sahih tentang serban.”

Dalam bukunya “Sunah Nabawiyah Bayna Ahlu Fiqh wal hadis” (Kairo 1989), Syekh Al-Ghazali menjelaskan bahwa serban adalah pakaian bangsa Arab, bukan lambang keislaman. Begitu pula igal (tali pengikat kerudung kepala).

“Dalam kenyataannya, iklim yang amat panas mengharuskan penutupan kepala dan punggung, serta lebih cocok dengan pakaian serba putih dan longgar. Sebaliknya, di negeri-negeri yang dingin, orang cenderung memilih baju yang ketat dan berwarna gelap agar lebih hangat.”

Berkenaan dengan ini, Al-Ghazali menyampaikan sebuah hadis, “ Makanlah apa yang kau ingini dan kenakanlah pakaian yang kau ingini, selama kau menghindar dari dua hal: pemborosan dan kesombongan.”

Yang menarik perhatian kita, lanjut Al-Ghazli, ialah bahwa pemborosan dan kesombongan yang tercermin dari pelbagai kebiasaan bangsa Arab maupun Barat, “sedemikian sehingga seolah-olah nilai seseorang ditentukan oleh pakaiannya,” katanya.

Bahkan di pelbagai kota di sejumlah negara, jubah Arab kini justru dianggap sebagai “lambang keborosan,” kata Al-Ghazali.

Sedangkan orang-orang yang berakhlak mulia dan mengutamakan keseriusan dalam hidupnya pasti enggan berlebih-lebihan dalam memilih pakaian mereka. Kehidupan modern, bagi Al-Ghazali, disebabkan tidak dibimbing oleh agama dan karena terdorong oleh hawa nafsu, telah menyebabkan rumitnya mode pakaian dan upaya menghias diri.

“Ada pakaian mewah dan serba terbuka untuk pesta. Ada pakaian untuk dalam kota dan ada pula yang khusus untuk bepergian ke luar kota. Ada pakaian khusus untuk makan, untuk olahraga, untuk musim semi, musim panas dan seterus-nya. . .”

Adapun seorang Muslim dapat mengenakan pakaian apa saja asalkan tidak menjurus kepada pemborosan ataupun kesombongan.

Mayoritas ulama mengharamkan sutera dan emas untuk pria dan membolehkannya untuk wanita. Demikian pula pakaian untuk wanita tidaklah sama dengan yang untuk pria. Pakaian wanita seharusnya menutupi sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam agama.

KAJIAN – Haramkah Membiarkan Wajah Muslimah Terbuka? (Bagian 1)

Walaupun demikian, ia tidak dilarang untuk menjadi seorang yang cantik asalkan tidak merangsang. Adapun pakaian pria disesuaikan dengan pekerjaan mereka.

“Dan tidak ada salahnya jika pakaian mereka itu tampak bagus.”

Tentang hal ini, Abdullah bin Abbas pernah berkata: “Telah kulihat Rasulullah Saw mengenakan pakaian yang bagus-bagus.”

Al Ghazali melanjutkan, akan lebih bagus lagi jika – baik pria maupun wanita – dalam suatu masyarakat tidak lagi bersaing satu sama lain menggunakan pakaian mahal hingga seringkali menyebabkan kerusakan akhlak.

>> Dr. Yo Nonaka: Hijab, dari Perlawanan Hingga Gaya Hidup

“Adakah Islam mempunyai bentuk pakaian tertentu?”

Tidak, jawab Al-Ghazali. Namun, sebagian di antara para pemuda mengira (secara keliru) bahwa jubah (kemeja longgar yang panjangnya sampai di atas mata kaki) adalah pakaian atau seragam Islam.

“Dan bahwa setelan baju dan celana adalah pakaian orang kafir! Pendapat seperti ini keliru,” katanya.

Al-Ghazali menambahkan, jika kita benar-benar ingin menjaga identitas kita, hal itu dapat terwujud dengan ketulusan akidah, kemuliaan akhlak, keluasan ilmu dan keramahan perilaku. []

KAJIAN – Syekh Al-Ghazali: Benarkah Menutupi Wajah Muslimah Tradisi Islami? (Bagian II)

 

YS / islam indonesia/Sumber: Sunah Nabawiyah Bayna Ahlu Fiqh wal hadis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *