Satu Islam Untuk Semua

Monday, 29 August 2022

Kolom Haidar Bagir – Habib Ali al-Jufri: Masa Depan Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 2)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Habib Ali al-Jufri: Masa Depan Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 2)

Sambungan dari Bagian 1

Habib Ali al-Jufri: Masa Depan Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 2)

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Kontroversi—saya sendiri menganggapnya sikap progresif—Habib Ali al-Jufri dalam pemikiran keagamaan tak hanya berhenti pada pembolehan ucapan selamat Natal. Habib Ali juga tidak membenarkan sikap pembangkangan kepada pemerintah yang sah. Karena, bagi beliau, pemerintah adalah penjaga keamanan dan kedamaian suatu negeri. Jika pemerintah suatu negeri dirongrong, yang akan terjadi adalah chaos (kekacauan). Karenanya, beliau selalu menentang kelompok-kelompok Islam yang membangkang dan ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, di negeri Muslim mana pun.

Habib Ali juga tidak menutupi  ketidaksejalanannya dengan kaum Salafi yang—di samping berbagai sikap mereka yang menentang (bahkan mensyirikkan) tasawuf/thariqah dan praktik-praktik tradisionalisme Islam—juga bahu membahu dengan Ikhwanul Muslimin dalam menyasar posisi kekuasaan di Mesir.

Secara umum beliau memang tampak tidak setuju kepada sikap-sikap Ikhwanul Muslimin di berbagai negeri Muslim yang yang berambisi merebut kekuasaan—seringkali dengan risiko perpecahan di antara kaum Muslim.

Sehingga, meski Ikhwanul Muslimin di Mesir akhirnya memenangi pemilu, Habib Ali dikenal mendukung sikap-sikap ulama al-Azhar di Mesir yang berseberangan dengan kelompok Ikhwanul Muslimin di sana, sampai-sampai beliau dianggap bekerjasama dengan rezim militer yang berhasil mengkudeta rezim Ikhwanul Muslimin dan sekarang berkuasa di negeri piramid ini.

Sebagai akibatnya, kelompok-kelompok islamis (islamiyyun) tidak menyukainya. Pernah, misalnya, sekelompok Salafi (atau Ikhwan) di Inggris menggalang dukungan untuk menentang kunjungan Habib Ali ke negeri tersebut.

Sikap yang sama, yang beliau gaungkan di Indonesia, juga telah ikut memperkuat penolakan sesama Alawiyin sendiri yang mendukung gerakan-gerakan model islamis ini, khususnya yang dilancarkan oleh Kelompok 212 pimpinan Habib Rizieq Shihab.

Meski demikian, Habib Ali selalu menekankan bahwa ketidaksetujuannya kepada sikap-sikap dan pandangan kelompok-kelompok Muslim lain tak boleh menyebabkan kita membenci mereka. Tanpa ragu Habib Ali menyampaikan di depan massa Salafi bahwa dalam ketidaksetujuannya kepada mereka, dia tak segan membela hak-hak mereka, bahkan dengan nyawanya.

Demikian pula terhadap kaum Syiah. Habib Ali tak pernah menutupi ketidaksukaannya kepada rezim Wilayah al-Faqih yang berkuasa di Iran sekarang ini, dan dianggapnya membangkitkan kembali perseteruan Sunah-Syiah (khususnya di Yaman) (catatan: bagi sebagian orang yang tak setuju sepenuhnya dengan pandangan Habib Ali ini, negara-negara Arab juga dianggap tak kurang berperan dalam menciptakan perseteruan ini).

Beliau secara terbuka menunjukkan ketidaksukaannya dengan pandangan kaum Syiah tentang (sebagian) sahabat, atau pun pandangan mereka tentang kemaksuman Imam, yang hanya dibatasi pada sejumlah orang tertentu. Dan mungkin masih ada ketidaksetujuan-ketidaksetujuan lainnya.
Habib Ali memang adalah orang yang terbiasa mengemukakan apa yang beliau rasa harus dikemukakan secara terus terang. Tanpa tedeng aling-aling, rasa segan, sungkan, apalagi takut (dimusuhi). Tapi, Habib Ali juga adalah seorang Alim yang, di berbagai kesempatan dan melalui berbagai medium, selalu menganjurkan perdamaian dan persatuan di antara Sunah-Syiah.

Yang unik, dan tak kurang kontroversial, Habib Ali juga pernah mengakui secara publik menyesali kehidupan poligamisnya. Sampai beliau menyatakan bahwa, kalau beliau bisa memutar waktu, beliau tak akan menjalani kehidupan poligami. Sikap beliau ini kiranya bisa ditempatkan dalam konteks pemihakan beliau—betapa pun bukan tanpa batas—terhadap prinsip kesetaraan gender.

Beliau juga percaya kepada keharusan berijtihad secara progresif,  sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Misalnya, tak apa seseorang harus memilih pendapat lain yang berbeda dengan mazhab yang dianut jika situasi dan tempat mengharuskan. Bahkan, Habib Ali dengan tegas menyatakan bahwa lokalitas dan latar belakang budaya yang berbeda bisa saja menuntut ijtihad yang berbeda. Yakni, selama maqashid (tujuan-tujuan akhir) syariah bisa dicapai dengan sebaik-baiknya.

Maka, lebih-lebih lagi, perbedaan warna (celupan/sibghah) kultural yang berbeda-beda pun masih dimungkinkan. Beliau bahkan mengambil contoh Wali Songo—yang, menurut satu versi, setidaknya delapan di antara mereka merupakan keturunan dari kaum Alawiyin—yang dengan spektakuler berhasil mengislamkan Nusantara tanpa “memperkosa” nilai-nilai budaya ke-Nusantaraan yang ada.[]

(Bersambung ke bagian 3, bagian terakhir, tentang mazhab cinta Habib Ali al-Jufri)

PH/IslamIndonesia/Foto: Dok. Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *