Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 04 September 2022

Kolom Haidar Bagir – Habib Ali al-Jufri: Masa Depan Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 3-Habis)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Habib Ali al-Jufri: Masa Depan Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 3-Habis)

Sambungan dari Bagian 2

Habib Ali al-Jufri: Masa Depan Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 3-Habis)

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Dari mana semua sikap dan cara pandang Habib Ali al-Jufri yang terbuka, luwes, toleran, dan penuh keramahan ini? Menurut saya, tak lain dan tak bukan adalah dari sikap penuh cinta dan permakluman beliau. Karena, jika hati seseorang dipenuhi cinta, maka yang lahir daripadanya adalah permakluman—yakni kejembaran hati untuk melihat peluang kebaikan pada diri semua manusia.

Habib Ali adalah orang yang percaya pada kebaikan kemanusiaan (insaniyah). Kepercayaan beliau ini melahirkan kesiapan untuk melihat kebenaran pada pandangan-pandangan yang berbeda, ditambah kapasitas untuk memaafkan orang yang terlancung berbuat kesalahan.

Memang Habib Ali dikenal sebagai dai kemanusiaan, dai cinta.

Dalam bukunya yang sempat saya singgung sebelumnya, berjudul Kemanusiaan sebelum Keberagamaan (al-Insaniyah qabla at-Tadayun), beliau menyatakan bahwa kebaikan agama hanya bisa tampil jika dia berada dalam diri orang yang memelihara kemanusiaannya. Yakni yang termanifestasikan dalam cinta, serta kebersihan dan kebaikan hati (jiwa).

Jika pada diri seorang manusia telah rusak kemanusiaan, maka rusaklah wadah bagi keberagamaannya. Sebagai akibatnya, agama yang sempurna menjadi terkotori dalam dirinya. Kiranya kita ingat bahwa Allah Swt. menyatakan bahwa, orang-orang yang berbahagia adalah yang membersihkan jiwanya (asy-Syams: 9).

Pada kesempatan lain Habib Ali menyatakan, bahwa bahkan ibadah-ibadah utama dalam Islam—seperti shalat, puasa, haji, shalat malam, membaca Al-Qur’an, bahkan jihad di jalan Allah—akan tak punya nilai sama sekali—beliau sebut bernilai nol—jika tak dikerjakan dengan penuh keikhlasan (kemurnian) hati.

Kemurnian dari apa? Dari kotoran egoisme.

Dengan kata lain, semua amal ibadah kita baru akan mencapai kesempurnannya jika dilakukan dengan penuh cinta. Cinta kepada Allah, dan cinta kepada sesama manusia.

Sehingga, pernah sekali waktu, ketika beliau sedang berceramah di Inggris, seorang di antara hadirin mengimbau dukungan bagi seorang perempuan yang dizalimi suaminya. Sebetulnya acara sudah harus ditutup. Tapi, mendengar itu, Habib Ali berbicara panjang lebar, dengan penuh keprihatinan, akan keharusan membela orang-orang tertindas—khususnya kaum perempuan yang, tanpa itu, semua ibadah kita menjadi sia-sia.

Di sisi lain, Habib Ali tak segan mengulang-ulang dengan penuh kesungguhan tentang keburukan membenci. Membenci makhluk Allah, meskipun dia berbeda agama, bahkan orang kafir dan pelaku maksiat sekalipun, adalah dilarang dalam Islam.

Ingat bagaimana Nabi kesal dengan para sahabatnya yang memrotes penghormatan dan simpati beliau Saw. kepada jenazah seorang Yahudi? Saat itu Nabi hanya menukas dengan mengatakan: “Bukankah dia seorang manusia (juga)?” inilah logika seorang Nabi kekasih Allah.

Cukup bahwa sesuatu itu adalah makhluk Allah untuk kita mencintainya dan tidak boleh membencinya. (Maka menjadi sangat tidak aneh jika beliau mengajarkan agar sama sekali tak ada kebencian kepada sesama Muslim, betapa pun jauh perbedaan pandangannya dengan kita, bahkan pun jika dia mensyirikkan atau memunafikkan kita).

Bagaimana penjelasannya? Sebelum yang lain-lain, Habib Ali mengajak kita untuk membedakan antara manusia pelaku keburukan dan keburukan itu sendiri. Kita hanya boleh membenci keburukan, tapi tak boleh pelakunya.

Kita harus mencegah, bahkan melawan keburukan, tapi kita harus tetap mencintai pelakunya. Kita tetap harus mengharapkan kebaikan bagi si pelaku. Dengan cara apa? Mencegahnya dari berbuat keburukan dan berdakwah kepadanya.

Dan bagaimana kita akan berdakwah untuk mengajaknya kepada kebaikan jika kita membencinya? Sudah pasti kebencian akan menyebabkan kita mengharapkan keburukan bagi mereka. Maka dakwah—yang artinya adalah menyeru (kepada kebaikan)—akan menjadi mustahil. Inilah asas Habib Ali al-Jufri—yang mewarnai semua materi dakwahnya.

Dan sama sekali bukan mengada-ada jika dikatakan bahwa akar dari asas dakwah beliau itu adalah ajaran tasawuf yang beliau anut. Selain kenyataan bahwa beliau adalah pengikut setia Thariqah Alawiyah, tampak bahwa beliau menjadikan ajaran tasawuf sebagai fondasi pemikiran dan sikap-sikapnya.

Dalam hubungan ini, suatu kali beliau menyatakan bahwa dai yang baik adalah dia yang telah mengupayakan dirinya untuk menjadi insan kamil (manusia sempurna). Yakni manusia yang bersih hatinya, dan mulia akhlaknya. Dan kuatnya akar asas cinta ini dalam tasawuf sama sekali tidaklah aneh. Karena, bukankah memang tasawuf adalah mazhab cinta?

Semoga Allah panjangkan umur Habib Ali Zaynal Abidin al-Jufri, dan memelihara kesehatan beliau, sehingga beliau bisa terus menjadi pandu bagi kita semua, khususnya bagi para dai dari kalangan Alawiyin (haba’ib), dan lebih khusus lagi di Indonesia kita tercinta ini. Amin.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Dok. Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *