Satu Islam Untuk Semua

Friday, 26 August 2022

Kolom Haidar Bagir – Habib Ali al-Jufri: Masa Depan ‘Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 1)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Habib Ali al-Jufri: Masa Depan ‘Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 1)

Habib Ali al-Jufri: Masa Depan ‘Alawiyin Inklusif dan Kosmopolit (Bagian 1)

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Belasan tahun lalu, saya pernah memimpin rombongan umrah dari Indonesia. Suatu kali, ketika sedang beristirahat di kamar hotel kota Makkah—hanya di seberang Masjidil Haram—saya iseng-iseng membuka salah satu saluran TV Arab Saudi. Muncul di layar seorang dai muda berwibawa sedang berceramah dalam bahasa Arab yang masih menyisakan lahjah (dialek) Hadhramawt, Yaman.

Ceramahnya sangat mengesankan, menunjukkan keluasan wawasan dan keterbukaannya. Entah kenapa, meski sebelumnya belum pernah melihat wajahnya, saya seperti yakin bahwa dai itu adalah Habib Ali Zaynal ‘Abidin al-Jufri.

Ternyata betul, di layar belakangan muncul tulisan menyebutkan namanya. Ketepatan dugaan saya itu hanya bisa terjadi karena sebelumnya saya sudah banyak mendengar nama Habib Ali al-Jufri sebagai dai muda asal Hadhramawt atau dari kalangan ‘Alawiyin (komunitas keturunan Nabi asal Hadhramawt), yang memiliki kekhasan melewati ciri-ciri dai/ulama Hadhramawt pada umumnya.

Beliau dikenal dengan dakwahnya yang luwes, terbuka, toleran, dan kosmopolit. Dan ini bukan kebetulan. Habib Ali berasal dari keluarga “aristokrasi”  politik Yaman/Hadhramawt. Ayahnya, pernah menjadi Wakil Perdana Menteri di pemerintahan Republik Demokratis Yaman, yang berumur pendek, akibat dijatuhkan oleh Rezim Utara pimpinan Ali Abdullah Shaleh. Akibat masalah politik tersebut ayah Habib Ali harus meminta suaka politik di Arab Saudi, dan tinggal di sana. Itu sebabnya Habib Ali lahir di Jeddah, dan bukan di Hadhramawt.

Belakangan, selama mungkin lebih dari dua puluh tahun Habib Ali berhijrah ke Abu Dhabi, sebuah negeri Teluk “ultramodern”.

Karena keterbukaan, keluwesan, dan kemodernan pola pikir Habib Ali ini, tak jarang pikirannya mengejutkan masyarakat sesama ‘Alawiyin—yang berkultur keagamaan pristine (murni) dan segan bergeser dari tradisi leluhur. Saya dengar,  entah benar atau tidak, bahkan beliau sempat ditolak di kalangan sebagian ‘Alawiyin sendiri di Indonesia. Di bawah ini ilustrasi dari pengalaman pribadi saya sendiri.

Di antara pandangan beliau yang amat maju adalah soal kebolehan Muslim mengucapkan selamat Natal.

Saya memang selalu sejak dulu mengucapkan selamat Natal setiap tahun kepada saudara-saudara Kristiani kita. Setiap tahun pula saya dikritik, dan setiap tahun pula saya sampaikan bahwa saya mengikuti para ulama besar yang membolehkannya. Ada Prof. Quraish Shihab—bahkan konon juga Buya Hamka yang sangat saya kagumi—lalu saya menyebut tak sedikit ulama lain yang membolehkannya.

Nah, di antara nama-nama itu, saya tak pernah lupa menyebut nama Habib Umar bin Hafizh dan Habib Ali al-Jufri. Keduanya membolehkan, tapi adalah Habib Ali al-Jufri di antara yang membolehkannya dengan nada sangat empatik—selalu dengan gaya bicara antusias yang menjadi cirinya.

Maka, pernah sekali waktu, ketika saya sebut nama Habib Ali al-Jufri sebagai pendukung sikap saya, seorang tokoh muda sesama ‘Alawiyin (yakni dari komunitas habaib [jamak habib-red]), dengan ketus menyatakan bahwa dia bukan pengikut Habib Ali al-Jufri.

Dalam soal hubungan Islam-Kristen ini, Habib Ali bahkan dikenal sebagai salah satu pemrakarsa gerakan dialog Islam-Kristiani,  yang belakangan disebut sebagai the Common Words. Dimulai dengan surat dari banyak ulama besar Muslim Internasional, yang dikirimkan ke Vatikan, lalu gayung pun bersambut (seperti buku utama Habib Ali, berjudul Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan, belakangan buku tentang Common Words ini juga diterbitkan Kelompok Penerbit Mizan).

Habib Ali memang dikenal sudah malang melintang di dunia Internasional, termasuk di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, berdialog dengan tokoh-tokoh dunia, Muslim atau pun bukan.

Beliau juga pendiri dan Ketua Yayasan Thabah di Abu Dhabi yang pernah saya kunjungi. Sayang kami tak bisa bertemu dengan beliau, karena beliau waktu itu sedang mengurus ayahnya yang sakit.

Kami pun bertemu wakil beliau, seorang sarjana Islam asal AS, yang mengantar kami meninjau perpustakaan Yayasan. Saya lihat rak-rak bukunya penuh terisi dengan buku-buku klasik dan modern, dari berbagai bahasa. Saya ingat di antaranya adalah buku-buku filsafat Barat, Postmodernisme, hermeneutika, dan lain-lain.

Sambil melihat-lihat isi perpustakaan saya merasa bahwa dalam pemikirannya ada juga pengaruh kuat Syaikh bin Bayyah, seorang ulama besar dari Mauritania (Syinqith), mantan Menteri Pendidikan, Menteri Kehakiman, dan Wakil Presiden dari Presiden Pertama negeri Mauritania,  yang dikenal berpikiran amat luas dan dikagumi Habib Ali. Memang, saya dapati koleksi karya tulis Syaikh bin Bayyah terpampang lengkap di sana.[]

Bersambung ke Bagian 2….

PH/IslamIndonesia/Foto: Dok. pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *