Satu Islam Untuk Semua

Friday, 12 August 2022

Kolom Haidar Bagir Alhabsyi – Habib Zen bin Umar Smith: Penerus Jalan Ba’alawiy di Indonesia (Bagian 1)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir Alhabsyi – Habib Zen bin Umar Smith: Penerus Jalan Ba’alawiy di Indonesia (Bagian 1)

Habib Zen bin Umar Smith: Penerus Jalan Ba’alawiy di Indonesia (Bagian 1)

Oleh Haidar Bagir Alhabsyi | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Seringkali kita baru memahami kelebihan seseorang, ketika orang itu meninggal dunia. Atau dia sudah jauh dari kita. Ya, seringkali kita baru tahu kelebihan-kelebihan seseorang, ketika ketiadaannya meninggalkan kekosongan dalam kehidupan kita. Paling tidak, bagi saya, ini terjadi berkali-kali.

Belum lama kita ditinggal seorang tokoh besar bangsa. Sederhana, tulus, terbuka, berani, dan bebas nafsu kuasa. Dialah Buya Syafi’i Maarif (saya sangat berbahagia diundang memberikan testimoni, dalam buku yang akan diterbitkan tentang pribadi besar ini).

Semalam kita dikagetkan lagi dengan meninggalnya seorang tokoh, yang mungkin secara nasional tidak sekaliber Buya Syafi’i, tapi secara tidak langsung sumbangannya bisa jadi tak kurang nilainya. Dialah Habib Zen bin Umar Smith. Allah yarhamuh rahmatal abrar. Dialah mantan Ketua Umum—sebelum meninggalnya, beliau adalah Ketua Majelis Syura—Rabithah al-‘Alawiyah (RA), organisasi kaum ‘Alawiyin—atau kadang disebut Ba’alawiy (keturunan Alawi/Alwi—red) di Indonesia—selama beberapa periode.

Kaum ‘Alawiyin adalah keluarga keturunan Nabi Muhammad Saw., yang pendatang-awalnya berasal dari Hadhramawt, dari keturunan ‘Alwi bin ‘Ubaydillah. Imam ‘Alwi ini adalah cucu dari Imam Ahmad bin ‘Isa al-Muhajir, seorang mujtahid besar yang pertama kali berhijrah ke Hadhramawt.

Menurut salah satu versi yang cukup kuat dalam sejarah, setidaknya delapan dari sembilan Wali Songo (yakni, kecuali Sunan Kalijaga) adalah dari kaum ‘Alawiyin, keturunan Abdul Malik ‘Ammul Faqih, yang hijrah ke India dari Hadhramawt. Melewati berbagai peristiwa dalam sejarah awalnya, Thariqah ‘Alawiyah berkembang menjadi suatu manhaj sufistik yang mempromosikan jalan cinta dan kedamaian. (Mengenai Thariqah’ Alawiyah, silakan baca tulisan saya Nafas Cinta dari Hadhramawt.)

RA didirikan di Jakarta pada tahun 1928 oleh para tokohnya di masa itu. Meski terus berkiprah dalam panggung sosial kemasyarakatan serta dakwah di Indonesia, RA secara khusus didirikan juga untuk menjaga kelestarian keluarga, memersatukan, memajukan, dan mengurusi kepentingan kaum ‘Alawiyin di Indonesia.

‘Alawiyin bernasab sampai ke Nabi Saw. melalui jalur Imam Ja’ far as-Shadiq. Tapi, para anggota Thariqah ‘Alawiyah secara umum bermazhab Suni Syafii dalam fikih, berpegang pada kalam (teologi) Asy’ari, serta mengikuti tasawuf ajaran Imam Ghazali dan Imam Syadzili.

Tentu di kalangan ‘Alawiyin sendiri bukan tak ada mujtahid muthlaq, karena itu tak jarang dari kelompok ini lahir juga ijtihad-ijtihad orisinal—meski pada umumnya tak menyalahi mazhab-mazhab di berbagai aspek keislaman yang saya sebutkan di atas.

Apakah tak ada ‘Alawiyin yang bermazhab lain? Tentu saja ada, baik bermazhab Hanafi, atau Maliki, bahkan Syiah (Ja’fariyah). Perlu saya sampaikan di sini, bahkan tak sedikit Syiah dari keturunan ‘Alawiyin ini tetap merasa memegang prinsip-prinsip umum dan praktik-praktik tertentu Thariqah ‘Alawiyah dalam ke-Syiahan mereka. Apalagi jika kita berbicara tentang para keturunan Nabi di seluruh dunia, yang kaum’ Alawiyin hanya sebagian darinya. Begitu pun, jika kita bicara tentang Thariqah ‘Alawiyah, tetap saja dapat dipastikan hampir semua populasinya bermazhab Suni, Syafii, Asy’ari, dan Ghazali-Syadhili.  

Dalam sejarahnya, kaum ‘Alawiyin dikenal kuat memelihara sikap cinta damai. Kabarnya, Imam Ahmad bin ‘Isa, meski dia sendiri adalah seorang mujtahid muthlaq, dengan besar hati menerima mazhab-mazhab yang saya sebutkan di atas, karena dorongan ingin menyatu dengan masyarakat di mana mereka hidup. Dan mazhab Syafii pada masa-masa sekitar itu, memang dicatat merupakan mazhab para penduduk asli Hadhramawt. Demikian pula haluan tasawuf mereka.

Tasawuf tentu saja sudah merupakan warisan datuk-datuk mereka. Bukankah Imam Ali adalah pangkal semua aliran tasawuf/tarekat, kecuali Naqsybandiyah? Bahkan Tarekat Naqsyabandiah pun, yang berpangkal pada Sayidina Abubakar, tetap melewati Imam Ja’far ash-Shadiq (dan Salman al-Farisi, yang oleh Nabi Saw. disebut sebagai “dari kami”, dan dimasukkannya dalam kalangan ahlul bayt beliau Saw.).

Seorang di antara datuk kaum ‘Alawiyin, al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, yang dianggap sebagai tonggak tasawuf dalam sejarah ‘Alawiyin, juga adalah seorang quthub besar dalam dirinya sendiri. Kebesarannya, dalam riwayat, diakui tak kurang dari Syaikh al-Syuyukh Abu Madyan—seorang sufi besar yang oleh Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi diakui sebagai gurunya.

Masih ada juga Fakhrul Wujud Syaikh Abubakar bin Salim, Habib Abdullah Haddad, dan banyak lagi. Tapi, lagi-lagi karena hendak selalu berbaur dan hidup tanpa konflik dengan yang lain—dan tentu juga karena kebesaran kedua guru sufi ini—mereka memilih Imam Ghazali dan Imam Syadzili sebagai kiblat tasawuf mereka.

Memang, kedamaian merupakan salah satu ciri Thariqah ‘Alawiyah.

Tentu, manhaj dengan ciri-ciri seperti ini bukannya tidak pernah mendapatkan tantangan internal. Dikabarkan bahwa Imam Ahmad bin ‘Isa sempat memimpin konflik melawan kaum ‘Ibadhi (Khawarij moderat) di Yaman—meski menurut sebagian catatan, tidak sampai terjadi pertempuran di antara keduanya.

Al-Faqih al-Muqaddam pernah mengumpulkan pengikutnya, dan di hadapan mereka semua secara simbolik mematahkan pedangnya untuk menegaskan manhaj damainya. Sebagian ahli menyatakan bahwa pematahan pedang itu adalah pelajaran bagi para suku di Hadhramawt pada masa itu, yang masih memiliki tradisi menyelesaikan konflik dengan perang. Dan upacara pematahan pedang itu menggarisbawahi peran arbitrase damai kaum ‘Alawiyin—yang diakui penduduk asli Hadhramawt—dalam menyelesaikan konflik-konflik di atara mereka.

Dalam sejarah konon ada Habib Husein bin Thahir yang pernah mengangkat senjata kepada penguasa. Tapi ini, jika benar, adalah preseden yang sangat terisolasi. Di Indonesia ada juga sekelompok habaib (jamak dari habib—red) yang dalam tahun-tahun terakhir mengusung semangat perlawanan frontal terhadap pemerintah. Tapi, pada kenyataannya, kaum ‘Alawiyin, hampir-hampir sepanjang sejarahnya mempromosikan cara-cara damai.

Nah, kembali kepada Rabithah—khususnya di bawah kepemimpinan Habib Zen bin Smith—tampaknya garis manhaj damai ini ingin diupayakan untuk terus dipelihara. Tapi hal ini bukannya tanpa tantangan. Gesekan dengan kelompok habaib anti-pemerintah bukan tak pernah terjadi.

Saya sendiri pernah membaca pesan Habib Zen kepada kelompok habaib model ini, yang mengingatkan mereka dengan lembut agar tak menggunakan kekerasan dalam aksi-aksi mereka, dan menyarankan agar mereka menghindari tindakan dan kata-kata kasar.

Tapi pesan lembut Habib Zen ini mendapatkan respon keras, sampai-sampai salah seorang pimpinan mereka menjawab dengan agak ketus, “Jika Antum (bahasa Arab: Anda—red) tak mau mendukung kami, setidaknya Antum jangan menghalangi kami. Biarkan kami dengan cara kami!”

Waktu itu adalah masa-masa perlawanan terhadap Ahok. Di masa Habib Zen, godaan untuk terlibat dalam politik praktis bukannya tak ada. Entah sebagai inisiatif Habib Zen sendiri, atau karena desakan banyak pihak, RA mengambil langkah politis berpihak kepada salah satu kelompok dalam pilpres yang lalu (saya sendiri ber-husnuzh-zhann, bahwa dorongan Habib Zen pribadi adalah lebih bersifat keagamaan ketimbang politik-praktis).

Sempat juga Habib Zen mundur dari keanggotaannya dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) yang lalu, mungkin akibat ketidaksetujuannya dengan arah sosial-politik-keagamaan yang diambil kepengurusan NU masa itu—dan bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap NU. Karena sesungguhnya, bahkan sebelum masa pendirian NU oleh KH Hasyim Asy’ari, sejarah RA dan NU tak pernah bisa dilepaskan. Keduanya terlalu erat berjalin berkelindan, baik dalam soal keagamaan, keilmuan, maupun sosial (baca, selain tulisan saya di atas, tulisan lain saya Peran Habaib dalam Pengembangan Islam Nusantara, juga Jaringan Ulama Nusantara dengan Ajaran para Habaib Sepanjang Sejarah: Sebuah Outline). Kenyataannya, Habib Zen justru masuk lagi dalam kepengurusan PB NU KH. Yahya Staquf sebagai Musytasyar.[]

(Bersambung, dengan sekelumit uraian tentang pribadi Habib Zen. In sya’ Allah) –> Klik Bagian 2

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Kumparan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *