Satu Islam Untuk Semua

Monday, 01 February 2016

OPINI – Nafas Cinta dari Hadhramawt


Oleh Haidar Bagir

Al-Syaikh Abu Madyan Syu‘ayb bin Abu Hasan At-Tilmisaniy Al-Maghriby, yang pada saat itu sedang berada di Tilmisan, Al-Jazair, mengutus muridnya yang bernama As-Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Maq‘ad, seraya bertitah:

“Sesungguhnya kami mempunyai seorang sahib di Hadramawt (Tarim), pergilah engkau menemuinya, dan pakaikanlah khirqa ini kepadanya. Sesungguhnya aku melihatmu akan menemui ajal di tengah perjalanan. Bilamana hal tersebut akan terjadi, maka titipkanlah jubah ini kepada orang yang engkau percayai.”

Kemudian pergilah Al-Syaikh Abdurrahman dari Tilmisan ke Hadramawt. Ketika sampai di Kota Makkah, ia pun disergap sakratulmaut. Maka, kemudian diserahkannya jubah tadi kepada muridnya, yaitu Al-Syaikh Abdullah Al-Salih al-Maghriby seraya berpesan agar menyampaikannya kepada yang berhak. Hingga Syaikh Abdullah sampai ke Tarim dan menyerah-terimakannya kepada Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali, sebagaimana yang diamanahkan Abu Madyan.

Al-Faqih al-Muqaddam (1176–1264) kemudian dikenal sebagai founding father aliran tasawuf yang biasa disebut sebagai Tariqah ‘Alawiyya di kalangan komunitas ‘Alawiyyin—yakni, anak-keturunan ‘Alwi bin ‘Ubaydillah, cucu Imam Ahmad bin ‘Isa al-Muhajir (820–924), sang pemuka keturunan Nabi yang kali pertama hijrah ke Hadramawt. Syaikh Abu Madyan (1126–1198) adalah salah seorang guru terpenting Ibn ‘Arabi—yang dipanggilnya dengan penuh penghormatan sebagai Syaikh al-Mashayikh (Syaikhnya Para Syaikh). Menurut catatan, pemberian khirqa dari Syaikh Abu Madyan kepada al-Faqih al-Muqaddam merupakan awal tenggelamnya beliau dalam suluk (pelancongan spiritual), mujahadah (upaya keras menundukkan nafsu rendah) dan riyadah (latihan-latihan spiritual) yang menjadi tonggak-tonggak tasawuf.

Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, salah seorang ulama besar dalam tarekat ini, menulis: “Sesungguhnya tarekat ‘Alawiyya, lahiriahnya adalah ilmu-ilmu agama dan amal, sedangkan batiniahnya adalah mewujudkan maqamat (stasiun-satasiun spiritual yang merupakan hasil upaya meraihnya dan bersifat tetap) dan ahwal (keadaan-keadaan spiritual) tak permanen berian Tuhan. Adabnya adalah menjaga rahasia-rahasianya dan cemburu terhadap penyalahgunaannya. Jadi, lahiriahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali, adalah (kepemilikan) ilmu dan beramal menurut cara yang benar. Sedangkan batiniahnya, seperti yang diterangkan oleh asy-Syadzili, adalah mewujudkan hakikat dan memurnikan tauhid.”

Definisi Imam Idrus memang tak menyebut Ibn ‘Arabi. Sebab, dalam lingkungan tarekat ini, ajaran Ibn ‘Arabi dibatasi aksesnya hanya pada kaum elite spiritual (khawash) saja. Bagaimanapun, sebagai sebuah ajaran tasawuf, prinsip cinta dan metode dakwah damai menjadi ciri utama tarekat ini.

Para pengikut tarekat ‘Alawiyya—yang umumnya dimotori oleh kaum haba’ib (tunggal: habib)—inilah yang, melalui diaspora mereka, kemudian berperan penting dalam penyebaran Islam ke seluruh dunia, khususnya ke Afrika dan Asia Timur Jauh, termasuk Nusantara. Hampir merupakan suatu kesepakatan bahwa warna Islam NU yang bersifat “tradisional” adalah warisan dari tarekat ‘Alawiyya ini. Bahkan, menurut salah satu versi, delapan dari sembilan Wali Songo melacak silsilahnya kepada Azhamat Khan, seorang tokoh dari lingkungan ‘Alawiyyin yang berakar di Hadramawt.

Yang menarik, sebagaimana disimpulkan dari berbagai penelitian, termasuk oleh Azyumardi Azra, perkembangan ‘irfan (gnostisisme Islam) Ibn ‘Arabi di Nusantara terutama dibawa oleh para pemikir dari lingkungan ini atau murid-murid mereka. Termasuk di dalamnya Hamzah Fansuri (1550–1605) dan, muridnya, Syamsuddin Sumatrani (w. 1630), Abdul Ra’uf Sinkili (1024–1105), Syaikh Yusuf Makassari (1037–1111), Abdul Shamad al-Palembani (1704–1785), Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710–1815), bahkan juga Syaikh Nuruddin al-Raniri (1068–1658).

Al-Raniri pernah belajar ke Hadramawt dan disebut-sebut sebagai pengikut tarekat al-‘Aidrusiyah. Gurunya ketika di India adalah Abu Hafs ‘Umar bin Abdullah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhrami yang juga dikenal sebagai Sayid Umar al-‘Aydrus (atau al-‘Aydrusi pengikut tariqa ‘Aidrusiyah?), yang berada dalam satu rantai perguruan dengan Ahmad al-Qushashi. Al-Qusyasyi sendiri adalah murid beberapa ulama tarekat ‘Alawiyya lainnya termasuk, Sayid Ali al-Qab’i, Sayid Abi al-Ghayts Syajr, dan Sayid As’ad al-Balkhi. Pada gilirannya, al-Qushashi merupakan guru dari para ulama tarekat ‘Alawiyya yang, antara lain, menjadi guru-guru al-Raniri.

Abd al-Ra‘uf Sinkili, adalah murid Al-Qushashi, guru dari para ulama dari tarekat ‘Alawiyya, dan Ibrahim al-Kurani, murid al-Qushashi. Al-Kurani dikenal luas sebagai penulis It-haf al-zaki, sharah atas al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabiy karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri, yang dianggap bertanggung jawab atas penyebaran pikiran-pikiran ‘Irfan Ibn ‘Arabi di Nusantara.

Kepada Al-Kurani juga silsilah Syaikh Yusuf Makassari bersambung. Selain al-Kurani, di antara guru-guru al-Makassari ini termasuk Umar bin Abdullah Ba Syaiban, yang juga guru al-Raniri, dan Sayid ‘Ali al-Zabidi atau Ali bin Abi Bakr dari tarekat ‘Alawiyya.

Abdul Shamad al-Palembani bahkan adalah seorang ‘alim Sayid keturunan Yaman. Ayahnya adalah Syaikh Sayid Abdul Jalil—ada yang mengatakannya bin Abdullah atau bin Abdurrahman—bin Syaikh Abdul Wahhab al-Mahdani. Pada gilirannya, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah murid dari al-Palembani.

Seperti disinggung sebelumnya, sebagai suatu metode tasawuf, tarekat ‘Alawiyya mempromosikan jalan akhlak, cinta, dan perdamaian. Inilah persis yang mencirikan berbagai kegiatan dakwah di lingkungan tarekat ‘Alawiyya. Selain sifat apolitis dan pilihan tema-tema yang cenderung menekankan pada penyucian hati lewat pembinaan akhlak dan ritual, dakwah tarekat ‘Alawiyya juga bersikap toleran dan inklusif, tak membeda-bedakan audience dari segi status sosial atau keagamaan.

Seperti juga kita lihat pada kiprah para Habib di Nusantara sejak dulu sampai sekarang, tak jarang pengajian mereka dihadiri para (mantan) preman, pejabat—yang mungkin diragukan integritasnya—artis, bahkan tak jarang pengikut agama lain. Hal ini, antara lain, terungkap dari hasil penelitian para pengamat asing, seperti Mark Woodward (Arizona State University, penulis Islam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim).[]

*Tulisan ini pertama kali tayang di Majalah Tempo.

3 responses to “OPINI – Nafas Cinta dari Hadhramawt”

  1. Saya mengenal beliau habib zen bin smith ketika sama aama bekerja pada perusahaan telekomunikasi pada tahun 1995 hingga 2007. Beliau atasan saya yang memiliki kharisma dan wibawa di hadapan bawahannya. Kepemimpinan beliau selalu memberikan keteladanan yang patut dicontoh oleh setiap bawahannya. Tegas dan mengayomi, itulah sifat beliau.
    Kemudian pada awal 2005 beliau diangkat menjadi ketua umum rabithah alawiyah, dan saya pun beruntung di bawa beliau untuk ikut bergabung untuk bidang Informasi dan Komunikasi. Rabithah Alawiyah merupakan salah satu ormas yang berpengaruh di Indonesia, sehingga dibutuhkan sosok pimpinan yang bisa mengakomodir pluralisme agar terus berkembang. Di bawah kepemimpinan beliau Rabithah Alawiyah bisa memiliki gedung sendiri berlantai 4 di jalan TB. Simatupang dan secara organisasi beliau mengembangkan organisasi ini untuk bisa lebih selaras dengan perkembangan zaman. Keteladanan dan kepemimpinan beliau menjadi peninggalan yang berharga bagi kita semua.
    Semoga Allah SWT menempatkan beliau dalam surga jannatun na’im. Amiin YRA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *