Satu Islam Untuk Semua

Monday, 15 April 2024

Tanda Amal Diterima Usai Ramadhan: Tetap Istiqamah dalam Kebaikan


islamindonesia.id – Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah selama bulan Ramadhan. Yakni kondisi sebagaimana yang diucapkan oleh Malaikat Jibril as dan diamini oleh Rasulullah saw: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Swt).” (HR Ahmad, al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya.” (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab Latha-iful Ma’aarif)

Oleh karena itu, marilah kita mohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya.

Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan).” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Latha-iful Ma’aarif)

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini.

Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan. (Hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.” (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Latha-iful Ma’aarif)

Demi Allah, inilah hamba Allah yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam Asy-Syibli pernah ditanya: “Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban?” Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya).” (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Latha-iful Ma’aarif)

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya?

Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}

Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Faathir:15)

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba.

Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut.” (Kitab Latha-iful Ma’aarif)

Oleh karena itulah, Allah Swt mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawal, yang keutamaannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah saw: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa Sunah) enam hari di bulan Syawal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim)

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa.

Rasulullah saw bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya saw.

Rasulullah saw bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau akan menetapinya. (HR. Muslim)

Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu.

Inilah saatnya kita menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *