Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 29 December 2020

Kolom Haidar Bagir – Peran Habaib dalam Pengembangan Islam Nusantara


islamindonesia.id – Peran Habaib dalam Pengembangan Islam Nusantara

Peran Habaib dalam Pengembangan Islam Nusantara

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Sepuluh tahunan lalu saya pernah diminta bicara dalam sebuah konferensi tentang Filsafat Nusantara. Saya pun diminta menyampaikan pendapat tentang Filsafat Islam Nusantara. Setelah sedikit berargumentasi, saya bilang bahwa filsafat Islam “asli” Nusantara itu pada dasarnya bersifat panteistik – dalam makna semacam faham wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud). Banyak orang – tak sedikit ahli di dalamnya – shock mendengar statement saya. Malah ada yang marah juga.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara diskusi zoom (aplikasi konferensi daring-red), ternyata seorang ahli sejarah/antropologi dari New York University – Profesor Ismail Fajrie Alattas, atau akrab dipanggil Prof Ajie – tampaknya punya pendapat yang mirip.

Bahkan beberapa minggu lalu, saya sendiri masih menyinggung hal yang sama pada diskusi tentang habaib dalam jaringan ulama Nusantara bersama Sanad Media (ulasan tentang diskusi ini bisa disimak dalam artikel ini: Dakwah Habaib di Indonesia dari Sejak Abad ke-14: Berdakwah dengan Cinta, Damai, dan Santun-red).

Awalnya adalah keprihatinan para ulama Nusantara yang lebih ortodoks terhadap dominasi Islam (yang berpusat di) Keraton dalam wacana keislaman di Indonesia. Inilah faham keislaman yang bersifat panteistik dan terkadang klenik (baik dalam makna esoteris maupun melibatkan apa yang belakangan disebut sebagai takhayul).

Pada saat yang sama terbentuk interaksi dan jaringan antara para ulama Nusantara tersebut dengan para habaib dari Hadhramawt (salah satu wilayah di Yaman-red), sebagai salah satu pusat Islam. Prof Ajie menyatakan dalam hal perlunya ada pengajaran Islam yang lebih ortodoks (tradisional, setia pada nash, serta pada pemahaman ulama salaf), sekaligus standar, lebih mudah dipahami awam, mencakup prinsip-prinsip dasar, sekaligus bersifat lebih “murni”, kepada orang-orang Muslim di Nusantara.

Para kyai itu – yang belakangan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) – memiliki kesejalanan dengan para habaib dalam hal menganggap tingkat dan cara pemahaman keislaman umumnya orang Nusantara pada masa itu masih rendah atau, di sisi lain, malah “kejauhan” sehingga menyebal dari Islam “murni”, serta lebih dekat pada apa yang kemudian biasa disebut sebagai “kebatinan” atau “kejawen” – yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Tasawuf (teoretis/filosofis-Wujudi) tersebut, baik melalui Tarikat Syath-thariyah maupun ajaran Syaikh Ibn ‘Arabi (martabat tujuh).

Faham ini memang sangat rentan dituduh sebagai amat dipengaruhi oleh filsafat Hinduisme – yang memang dominan hingga sebelum kedatangan Islam di Nusantara. Islam seperti ini memang berkembang dengan pusat keraton-keraton di Nusantara.

Inilah model Islam aristokratik atau yang belakangan disebut sebagai Islam Patrician. Memang, pembelajaran Islam dan pengembangan pemikiran Islam yang lebih “standar” bahkan “puritan” yang diprakarsai para habaib ini tak mungkin terjadi tanpa kesepakatan para kyai tersebut. Oleh Prof Ajie, disebut sebagai adanya kesamaan visi-misi dan isnad.

Hal yang terakhir ini terkait dengan kenyataan banyaknya ulama Nusantara – yang belakangan terlibat dalam pendirian NU tersebut – yang belajar dari para ulama habaib dari Hadhramawt, baik yang pada waktu itu berada di Makkah (bahkan beberapa menjadi mufti Makkah), atau ulama Indonesia yang datang ke wilayah Nusantara, termasuk ke Indonesia dan Singapura.

Hasilnya, antara lain, tampak pada penggunaan buku-buku ajar pendahuluan di banyak pesantren di Indonesia. Termasuk di antara buku-buku tersebut adalah Safinatun Najah, Safinatus-Shalah, Aqidatul ‘Awam, Kitab al-Jami’ah, Sullamut-Tawfiq, Bughyat al-Mustarsyidin, dan lain-lain.

Dan, dalam diskusinya dengan saya setelah itu, Prof Ajie menyampaikan bahwa proyek “standardisasi” pemahaman Islam yang merupakan kolaborasi dari beberapa ulama dari habaib dan para kyai ini begitu berhasil, sehingga bisa dibilang telah melahirkan/membakukan manhaj ahlus-Sunah di Nusantara, dan dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia – khususnya, ini tambahan dari saya, hingga masa-masa masuknya modernisme Islam di Indonesia.

Tapi tampaknya sudah waktunya, zaman yang di dalamnya ilmu dan pemikiran keislaman sudah berkembang begitu jauh ini, perlu ada upaya untuk menawarkan kembali pemikiran Islam yang lebih “canggih” (yakni, lebih khawash, kompleks, dan intelektualistis) di atas fundamen ortodoksi Islam yang sudah kokoh terbangun itu.

Dan, sebetulnya, upaya ini bukannya belum pernah terjadi di Nusantara, masih dalam kaitan dengan jaringan antara para kyai/ulama habaib dari Thariqah ‘Alawiyah. Seperti kita ketahui pada kenyataannya, interaksi yang melibatkan transmisi pemikiran keislaman yang lebih “canggih” seperti ini sudah terjadi sejak beberapa abad sebelumnya.

Pada masa-masa itu, ulama Hadhramawt justru menjadi kunci transmisi elemen Thariqah ‘Alawiyah yang lebih bersifat filosofis wujudiyah. Memang, sesungguhnya, ada elemen irfan – disebut sebagai ilmu hakikat atau ilmu haqa’ iq vis a vis ilmu muamalah atau raqa’iq oleh para ulama Thariqah ‘Alawiyah sendiri, di samping aliran Haddadiyah yang lebih “standar”, simpel, dan ortodoks yang diarahkan kepada kaum awam itu.

Di antara transmisi pemikiran Islam model begini adalah terkait dengan Nuruddin ar-Raniri yang merupakan murid al-Aydrus, Syaikh Yusuf Makassari yang merupakan Qusyasyi dan Kurani, guru Makassari, Singkeli. Walisongo yang konon semua atau hampir semua dari keturunan Azhamat Khan, yang notabene adalah ‘Alawiyin/habaib dari  keturunan ‘Ammul Faqih yang hijrah ke India. Bahkan konon, meski banyak diliputi mitos, Syaikh Siti Jenar juga diriwayatkan berasal dari keluarga ‘Alawiyin atau habaib. Belum lagi Syaikh Nur Jati, Datuk Kahfi, mungkin juga Syaikh Mutamakkin yang lebih belakangan, dan lain-lain.

Artinya, sebetulnya peran habaib ada di dalam dua jenis Islam di Indonesia itu. Yang “canggih” dan wujudi-filosofis yang lebih banyak berkembang di keraton-keraton, dan yang lebih puritan dan standar itu.

Peran yang disebut pertama inilah yang kiranya perlu direvitalisasi kembali, tanpa mengecilkan posisi pemahaman Islam yang lebih standar tersebut, demi memampukan Islam Nusantara berdialog secara lebih canggih dengan pemikiran-pemikiran ilmiah-filosofis yang sudah maju di berbagai belahan dunia di zaman ini.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *