Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 09 August 2016

KHAS—Tafsir Lain Tembang Gundul-Gundul Pacul Terkait 4 Prinsip Kepemimpinan Semar


IslamIndonesia.id—Tafsir Lain Tembang Gundul-Gundul Pacul Terkait 4 Prinsip Kepemimpinan Semar

 

Dalam sebuah kesempatan, kepada Petruk yang gemar membincangkan hal-ihwal perpolitikan, Semar sengaja men-jelentreh-kan, mengurai detail makna tersirat yang terkandung dalam lagu Gundul-Gundul Pacul. Lagu yang sekian lama telah menjadi semacam rengeng-rengeng yang seolah tanpa makna karena hampir saban hari dilantunkan Gareng dan Bagong. Padahal menurut Semar, Gundul-Gundul Pacul itu bukan sekadar tembang dolanan tanpa arti.

Semar bilang, tidak main-main, kata “gundul” dalam tembang dolanan itu bermakna kehormatan tanpa mahkota. Sementara “pacul”, mengacu pada cangkul, salah satu alat yang biasa digunakan para petani dan secara fisik berupa lempeng besi segi empat itu, merupakan gambaran atau perlambang dari kawulo alit, yang dalam hal ini diwakili kaum petani.

Dengan penafsiran semacam itu, maka Gundul Pacul berarti bahwa sejatinya pemimpin bukanlah seseorang yang—ujug-ujug, begitu saja di kepalanya bertengger mahkota kehormatan ketika dia sudah meraih kursi kekuasaan. Artinya, kekuasaan itu selayaknya dimaknai bukanlah apa-apa kecuali amanah dari kawulo alit, yang hanya akan tertempel padanya kemuliaan apabila kekuasaan itu dimanfaatkan secara benar oleh sang pemimpin sehingga dengan itu dia mampu bersungguh-sungguh dalam tekad dan upaya menyejahterakan lahir-batin rakyat yang dipimpinnya.

Lebih lanjut Semar mengingatkan Petruk dan Gareng pada nilai kearifan lokal Nusantara, dalam hal ini Jawa, yang memaknai kata pacul itu sebagai papat kang ucul atau “empat yang terlepas”. Inilah 4 nilai kepemimpinan Semar yang menekankan bahwa kemuliaan seseorang, terutama pemimpin itu sangat tergantung pada 4 hal, yakni mata, hidung, telinga, dan mulut, dalam artian bagaimana keempat hal tersebut digunakan; mata untuk melihat, memotret dan memahami dari dekat kesulitan dan derita rakyat; telinga untuk mendengar saran, masukan, tanggapan, bahkan nasihat yang kadang berupa kritik dari rakyat; hidung untuk “mencium”, mengendus aroma kebaikan di tengah masyarakat, agar dengan itu nilai-nilai etika dan estetika tetap terjaga dan lestari di tengah mereka; sedangkan mulut, tidak lain adalah alat yang berguna untuk berkata benar dan adil, sehingga dengannya tersebar merata nilai-nilai kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat.

Sedemikian berartinya 4 hal tersebut, sehingga apabila keempatnya sampai ucul atau lepas, maka sudah pasti akan terlepas pulalah kehormatannya.

Alih-alih amanah dan mampu bertanggungjawab dalam mengabdi pada kepentingan dan maslahat rakyat, pemimpin yang kehilangan keempat mahkota kepemimpinan itu akan menjadi seseorang yang dalam tugas-baktinya sedang nyunggi-nyunggi wakul, dalam posisi menjunjung amanah atau tengah memegang kekuasaan, dia akan cenderung gembelengan; congkak, besar kepala, arogan, mentang-mentang kuasa, dan gemar mempermainkan kekuasaan dengan cara yang menyalahi aturan sehingga hanya akan menguntungkan diri dan keluarganya, sementara pada saat yang sama justru mengakibatkan kerugian dan bahaya bagi kepentingan rakyat banyak.

Apa akibatnya? Sudah dapat diduga, maka wakul, yakni amanah jabatan atau kuasanya bakal nggelimpang, bakal jatuh dan tak bisa lagi dipertahankan. Jika pemimpin semacam ini pun, anggap saja masih mampu mempertahankan kursi kekuasaannya, tapi sejatinya kekuasaan yang digenggamnya itu tak lebih dari kuasa tanpa kehormatan. Pemimpin macam inilah yang segane dadi sak latar, yang kuasanya akan berantakan sia-sia, tak dihormati rakyat, mustahil didukung sepenuh hati oleh rakyat karena faktanya memang tak mampu menyejahterakan lahir-batin rakyat.

Maka seyogianya kepada Semar lah, baik para pemimpin yang sudah memegang kekuasaan maupun calon pemimpin yang akan ikut berlaga dalam arena pilkada dan semacamnya di zaman kita, layak berguru. Karena sebagaimana yang kita tahu, insya Allah sosok linuwih seperti Semar memang layak digugu lan ditiru.

Salah satu buktinya, Semar selama ini dikenal sebagai tokoh orang tua sederhana, bijak, dan penuh kebaikan. Bisa dibilang, dialah sosok sempurna atau insan kamil dalam mengayomi semua karakter pewayangan, yang dalam kehidupan manusia pun tak jauh beda, memang perlu ada.

Maka tak heran jika dalam berbagai cerita, Semar juga selalu digambarkan sebagai tokoh yang tak segan dan bosan-bosannya selalu mengingatkan sesamanya untuk kembali kepada kebenaran. Itulah mengapa kuncung pada bagian kepala dan telunjuk kanan Semar mengarah ke atas, sebab dia sangat yakin dan percaya kepada kebenaran yang asal sejatinya bersumber dari Gusti Kang Murbeng Dumadi, Tuhan Semesta Alam.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *