Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 06 August 2016

KHAS—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Kedua)


IslamIndonesia.id—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Kedua)

 

Dalam tulisan sebelumnya, Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Pertama) sudah dijelaskan arti kata per kata yang ada dalam syair lagu tersebut. Juga bahwa tembang dolanan ini meskipun syairnya secara harfiah sepintas terkesan lucu, namun di balik itu semua tersirat pesan penting berkenaan dengan sindiran Wali Songo kepada sekelompok orang yang merasa ilmunya paling tinggi dan karenanya mereka merasa sebagai pihak yang paling berhak mengklaim kebenaran.

Berikut ini penjelasan lebih lanjut terkait makna kalimat per kalimat lagu tersebut.

Gundul-gundul Pacul Cul, Gembelengan, mengandung makna bahwa orang yang meletakkan ilmu hanya sebatas di kepala, yang dalam hal ini digambarkan dengan kata Gundul, dan tidak memasukkan ke dalam dirinya ilmu hati atau akhlak, biasanya akan cenderung Gembelengan, angkuh, sombong, keras perangai, dan berbagai sifat lain yang tergolong pada sifat-sifat orang awam, golongan yang disimbolkan dengan Pacul. Maka dengan sifat dan sikap keras kepala dan tanpa kelembutan hati inilah kaum awam yang masih dangkal ilmunya, akan mudah menghakimi orang lain sebagai akibat merasa diri yang paling benar.

Nyunggi-Nyunggi Wakul Kul, Petentengan, mengandung makna bahwa kelompok Gundul-Gundul Pacul inilah yang bila diberi kesempatan Nyunggi atau mendapatkan suatu ilmu atau anugerah, yang dalam hal ini disimbolkan dengan Wakul, maka mereka akan semakin Petentengan, berkacak pinggang dan menjadi semakin sombong.

Wakul NgGelimpang Segane Dadi Sak Latar, mengandung makna bahwa kaum Gundul-Gundul Pacul, yang ilmunya tak seberapa ini, biasanya justru akan lebih suka pamer ilmu dan banyak bicara, disimbolkan dengan Wakul NgGelimpang, dan cenderung membesar-besarkan perkara sehingga ilmu yang dimilikinya, dalam hal ini disimbolkan dengan Segane, yang sesungguhnya hanya sedikit, menjadi tumpah-ruah hingga Sak Latar atau sehalaman penuh.

Artinya, jika mereka bicara tentang ilmu agama, dengan harapan agar terkesan hebat, maka mereka pun akan membahas hal-hal tak penting yang cenderung heboh, seperti soal syirik, bid’ah, khurafat, dan lain-lain yang ujung-ujungnya berbuah sikap menyalahkan dan mengkafirkan orang lain. Padahal mereka sendiri sejatinya belum benar-benar paham hukum agama karena keterbatasan pengetahuannya, dan hanya menilai segala sesuatu terbatas pada satu sudut pandang saja. Mereka seolah lupa bahwa Islam merupakan agama universal dan paling sempurna, yang mengatur segala hal dari beragam sudut pandang.

Akibatnya, muncullah dari kalangan mereka, kaum Gundul-Gundul Pacul ini, pandangan-pandangan keagamaan yang jumud, keras dan kaku, yang kemudian menjelma menjadi paham radikal dan ekstrem semacam Wahabi. Bahkan dari kalangan mereka ini pula muncullah kelompok teroris ISIS dalam bentuknya yang paling mutakhir, yang atas nama agama telah banyak melakukan kejahatan, kerusakan dan pelanggaran, menghalalkan segala cara yang sejatinya dilarang agama.

Bukankah sudah kita saksikan bersama dampak buruk luar biasa dari penafsiran dangkal dan serampangan terhadap teks-teks keagamaan tanpa bermodal ilmu yang cukup, sebagaimana yang dalam beberapa tahun terakhir telah dipraktikkan ISIS di seluruh dunia? Alih-alih mengharumkan nama Islam dan mengundang simpati, mereka justru memantik kebencian,  cercaan dan stigma negatif terhadap Islam.

***

Itulah sekelumit penjelasan tentang pesan mendalam yang sengaja dilekatkan dalam tembang dolanan Gundul-Gundul Pacul oleh para Wali Songo sebagai warning agar kita senantiasa waspada dalam beragama. Peringatan yang semula serupa ramalan, namun ternyata benar-benar terbukti menjadi fakta di zaman kita saat ini.

 

EH/IslamIndonesia

One response to “KHAS—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Kedua)”

  1. Yusuf Buchori says:

    Setahu saya Islam itu satu yaitu Islam yang bersumber al-Qur’an dan al-Sunnah, sedangkan pendapat-pendapat dan metode berfikir itu bisa benar bisa salah, termasuk menafsir beberapa karya ulama terdahulu baik Ulama Indonesia maupun non Indonesia. Makanya masjid itu ya sifatnya universal, siapapun yang berkeyakinan terhadap kebenaran al-Qur’an dan Al-Sunnah boleh saja shalat didalamnya, tidak ada masjid orang Jawa, masjid orang Sumatera, masjid orang Arab, Masjid Orang Amerika, dan sebagainya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *