Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 05 October 2016

KHAS—Inilah Makna Pitu, Sewelas dan Pitulas di antara Enam Macam Ritual Suro Duraka


IslamIndonesia.idInilah Makna Pitu, Sewelas dan Pitulas di antara Enam Macam Ritual Suro Duraka

 

Bulan Suro adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan atau kalender Jawa. Masyarakat Jawa percaya adanya realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun, tak jauh beda dengan alam manusia, juga mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa.

Berdasarkan keyakinan itulah maka bulan Suro juga dianggap merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Adapun alam gaib yang dimaksudkan disini adalah; jagad makhluk halus; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, binatang gaib, serta jagad leluhur; alam arwah, dan bidadari.

Manusia Jawa berpandangan bahwa antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad makhluk halus berbeda-beda dimensinya.  Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad makhluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia  di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jumat Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai (membimbing) anak keturunannya yang masih menghargai dan menjaga hubungan dengan mereka, para leluhur itu.

Maka bulan Suro pun dinilai merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspadha, maka tak mustahil dapat terkena dampaknya.

Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Suro yang bernama Suro Duraka.  Disebut sebagai bulan Suro Duraka karena merupakan bulan terjadinya tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu terjadinya akumulasi para dedemit yang mencari “korban” para manusia yang tidak eling dan waspadha. Apalagi konon pada bulan-bulan Suro biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Suro Duraka. Tak heran bila pada bulan Suro Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan bencana yang melanda jagad manusia.

Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Suro.

[Baca: Sambut Bulan Muharram, Mengapa Masyarakat Jawa Menyebutnya ‘Suro’?]

Sedikitnya ada 6 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Suro seperti berikut ini;

Pertama, Siraman Malam 1 Suro; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” atau lelaku syariat dengan tujuan menyucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Suro; yang antara lain ditempuh dengan lebih ketat dalam menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indra dari hal-hal negatif.

Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan.

Doa tersebut tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belas kasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.

Kedua, Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan Suro berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Suro yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun  orang lain.

Ketiga, lebih Menggiatkan Ziarah Kubur; pada bulan Suro masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri Nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkret generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden).

Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam atau pusara mereka. Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya.

Di samping itu, dengan ziarah kubur kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. Betapa teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan. Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.

Keempat, menyiapkan Sesaji Bunga Setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak keturunan si kucing.

Kelima, Jamasan Pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau memetriwarisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan keterampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahirmegatrend terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.

Keenam, Larung Sesaji; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musyrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji.

Baiklah, berikut ini konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola pikir mengenai tradisi ini.

Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat.

Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus.

Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun  gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogianya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya,  bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, maka akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Padahal seyogianya manusia bertanggungjawab untuk mengemban tugas agar jalinan keharmonisan di jagad raya ini sampai kapanpun tetap terjaga.

[Baca: Benarkah Ritual Sakral Suro Tergolong Lelaku Syirik seperti Kata Wahabi?]

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *