Satu Islam Untuk Semua

Monday, 03 October 2016

Sambut Bulan Muharram, Mengapa Masyarakat Jawa Menyebutnya ‘Suro’?


IslamIndonesia.id – Sambut Bulan Muharram, Mengapa Masyarakat Jawa Menyebutnya ‘Suro’?

 

Tadi malam (2/10), sebagian masyarakat Yogyakarta mengikuti prosesi tradisi ‘Mubeng Benteng’ yang menandakan masuknya bulan Suro atau Muharram dalam kalender Hijriah. Berbeda dengan suasana menyambut tahun baru Masehi, Mubeng Benteng yang berjalan  tanpa alas kaki itu dilakukan dengan suasana sunyi, tidak boleh bicara.  Tidak seperti Sapar (Safar), Rejeb (Rajab), Ramelan (Ramadhan), yang namanya indentik dengan nama-nama bulan Hijriah, nama bulan  ‘Suro’ (sura) tidak demikian. Mengapa bulan tahun baru disebut oleh orang Jawa dengan Suro (Sura)?

Lalu, mengapa pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung, – pemimpin kerajaan Mataram Islam –  mengeluarkan dekrit untuk mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan)?

Uniknya lagi, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Hal ini menguatkan fakta sejarah bahwa Islam yang menyebar pertama kalinya di Jawa ialah Islam yang tidak anti-budaya, toleran dan terbuka.

Memasuki bulan Muharram atau Suro dalam kalender Jawa, di Yogyakarta misalnya, sejumlah tradisi atau ritual mulai digelar. Seperti tapa brata atau tapa bisu mubeng beteng  yang berarti berjalan mengelilingi beteng keraton di malam atau 1 Suro. Tidak hanya itu, beberapa hari setelahnya diikuti oleh sejumlah ritual seperti sajian bubur suro, siraman pusaka, labuhan dst.

“Tradisi menyambut Muharram atau “bulan Suro” merupakan hal yang menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat Muslim Jawa, baik yang berdomisili di Jawa maupun yang sudah hijrah (transmigrasi dan bermukim di pulau lain),” kata KH. Muhammad Sholikhin, tokoh Nahdlatul Ulama asal Boyolali.

Seperti diketahui, sebagian masyarakat masih meyakini ‘efek mistis’ bulan ini seperti larangan atau pantangan melakukan pernikahan, apalagi kegiatan yang bersifat ‘pesta’. Sedemikian sehingga bulan yang dianggap sakral ini, nyaris diisi dengan ritual-ritual keprihatinan.

“Namun mengenai kekeramatan bulan Suro bagi masyakat Islam-Jawa, lebih disebabkan oleh faktor atau pengaruh budaya kraton, bukan karena “kesangaran” bulan itu sendiri” kata Kiyai Solikhin

[Baca: Benarkah Dimensi Mistis Islam Jawa dari Hindu?]

Karena itu, asal usul tradisi ini pun, menarik dikaji lebih mendalam. Dari mana dan bagaimana bisa sampai diperingati secara khas dan turun-temurun oleh masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, meskipun kini terlihat tenggelam oleh zaman yang dikatakan modern ini.

Menurut Kiyai Solikhin, kata “Suro” sebenarnya berasal dari kata “Asyuro” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”, yakni tanggal 10 bulan Muharram. Ditetapkannya 10 Muharram atau Asyuro sebagai nama awal bulan dalam kalender Jawa memiliki arti yang sangat penting. Dari keseluruhan peribadatan dalam Muharram, yang paling populer adalah ritual pada hari Asyuro, atau hari kesepuluh bulan Muharram. Terkadang juga, kata Kiyai Solikhin, ditambah dengan satu atau dua hari sebelumnya (tarwiyah = 8, hari kedelapan dan tasu’a = 9 ), dan juga ditambah pula satu hari sesudahnya (tanggal 11).

Di sisi lain, menurut Budayawan Ki Herman Sinung Janutama, peristiwa 10 Muharram memiliki banyak peristiwa besar sejak ribuan tahun sebelumnya. Dari Nabi Adam sampai Nabi Isa, dan hijrah Nabi  Muhammad lalu akhirnya sampai peristiwa yang memprihatinkan, yaitu wafatnya cucu kanjeng Nabi dengan kesatria, Sayyidina Husain, di padang Karbala itu. Dalam lidah orang-orang Jawa dahulu, kedua cucu Nabi itu juga populer dengan sebutan Kasan (Hasan) dan Kusain (Husain).

Begitu pentingya pesan Asyuro sehingga, oleh Sultan Agung, bulan pertama dalam kalender Jawa dinamakan Suro. Disamping Suro sendiri, dalam bahasa Kawi, artinya “keramat” atau “sakti”, kata Ki Herman.

Ritual di bulan Suro bagi masyarakat Jawa terbilang cukup padat. Dari malam pertama bulan Suro hingga hari ke sepuluh termasuk setelahnya memiliki hari-hari yang memiliki nilai kesakralan. Di hari yang diyakini sakral itulah, masyarakat Islam Jawa, termasuk di Yogyakarta menyikapinya dengan berbagai ritual yang merupakan tradisi turun temurun. Dan salah satu yang paling populer adalah, tradisi bubur Suro.

Warga masyarakat di sekitar membantu memasak dan penyajian bubur Suran di Pura Pakualaman

Warga masyarakat di sekitar Pakualaman Yogakara menyiapkan bubur Suro (Suran)

Dalam karyanya, ‘Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa’ (2010), Kiyai Solikhin menjelaskan dua tafsir bubur Suro yang umumnya terdiri dari dua warna ini. “(Pertama) untuk mengenang kesyahidan, maka dibuatlah sedekah dalam bentuk bubur merah dan putih sebagai simbol keberanian Husain membela kebenaran. Ada juga yang menafsirkan bubur merah dan putih sebagai simbol dari Hasan-Husain sebagai cucu kesayangan Rasulullah sehingga dalam kenduri yang berhubungan dengan kelahiran anak, umumnya kedua macam bubur ini disajikan.”

Di sisi lain, peristiwa hijrahnya Kanjeng Nabi Muhammad yang lolos dari kejaran musuh merupakan peristiwa yang paling berpengaruh dalam tradisi Suro di Yogyakarta, sedemikian sehingga menurut Ki Herman Sinung Janutama, inti bulan Suro adalah keperithatinan atau ikut merasakan keperihatinan kanjeng nabi dan keluarganya.

Kembali pada “Mubeng Benteng” menyambut bulan Suro. Tradisi ini dilakukan berjalan kali dari dalam kraton ke pojok beteng wetan – pojok beteng kulon – kemudian kembali lagi ke dalam kraton. Saat melaksanakan Mubeng beteng, tidak boleh berbicara selama tradisi berlangsung sehingga tradisi ini disebut juga tapa brata atau tapa bisu. Menurut beberapa pendapat, masyarakat yang ikut dalam kegiatan ini percaya, jika berhasil (ritualnya) maka apa yang diharapkan terkabul.

Tembang Macapat yang merupakan lagu bahasa Jawa diambil dari ayat kitab suci menjadi pendahuluan prosesi baku Mubeng Benteng memperingati Tahun Baru Jawa, 1 Suro. Tembang macapat ini dilantunkan oleh dua orang prajurit pilihan Kraton Yogyakarta. Tembang ini untuk  memantapkan niat masyakarat yang ingin dan akan melakukan ritual  Mubeng. Ada beberapa surat Al Qur’an  yang ditembang khusus dalam bahasa Jawa. Prosesi laku Mubeng Benteng biasanya dimulai pukul 21.30 waktu setempat dengan prosesi pertama; melantunkan tembang.  Tepat pukul 00.00, para peserta prosesi Mubeng benteng mulai melangkahkan kakinya yang tanpa alas kaki itu bertepatan dengan pergantian tahun baru Jawa. []

 

[Baca: Jawa Sejati Muslim Sejati (Telaah 7 Tapa Ki Ageng Suryomentaram)]

 

 

YS/IslamIndonesia/Dari berbagai sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *