Satu Islam Untuk Semua

Friday, 16 February 2018

BUDAYA – Pencairan Kultural Keturunan Tionghoa di Indonesia


islamindonesia.id – BUDAYA – Pencairan Kultural Keturunan Tionghoa di Indonesia

 

 

Sebenarnya sulit bagi kita sekarang untuk menyatakan bahwa ada sebuah sub-kultur Tionghoa dan sub-masyarakat Tionghoa di Indonesia. Perjalanan sejarah yang panjang telah mengubah begitu banyak aspek sosial budaya keturunan Tionghoa, sehingga kita mengenal perbedaan mereka dengan orang Indonesia lainnya semata-mata dari penampilan luarnya.

Ras, agama, dan etnisitas keturunan Tionghoa tidak lagi dapat dilihat dari kerangka rujukan masyarakat dan kebudayaan Cina klasik semata-mata.  Dalam penelitiannya yang diterbitkan tahun 1960, Donald Earl Willmott, melalui “The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, telah menunjukkan dengan jelas betapa pengaruh Indonesia dan Belanda telah mengubah komunitas keturunan Tionghoa itu.

Baca juga: Awal Pengabdian Orang Tionghoa

Dalam bidang agama, keturunan Tionghoa juga tidak lagi dapat didefinisikan semata-mata sebagai penganut  Confusian, Taoisme, dan Buddhisme lagi. Agama-agama “besar” seperti Katolik, Islam dan Protestan, juga sudah mulai menduduki tempat penting .

Pemelukan orang keturunan Tionghoa atas agama-agama ini dapat dianggap sebagai sebuah penyimpangan kultural yang penting, sebab dalam gambaran agama Confusian klasik perbedaan kultural antara agama-agama Samawi dan Confusianisme itu sangat besar.

Dalam proses perjalanan sejarahnya, selain faktor eksternal seperti politik kolonial Belanda dan Indonesia, gerakan budaya dalam masyarakat Tionghoa dinilai tak kalah pentingnya. Dalam penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi sehari-hari sudah tampak sejak mereka harus berhubungan dengan orang Indonesia dan pemerintahan Belanda.

Orang sering lupa menyebutkan bahwa pemakai bahasa Melayu sebelum bahasa Indonesia secara resmi menjadi bahasa nasional adalah orang Tionghoa. Pers Melayu yang lebih dahulu adalah berasal dari orang Tionghoa di Surakarta yang menerbitkan surat-surat kabar, sebelum orang Jawa sendiri memakai bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu Tionghoa juga merupakan varian yang patut dihargai dalam perkembangan bahasa Indonesia. Demikian juga di kalangan orang Tionghoa terdapat banyak yang bergerak di bidang budaya Indonesia, seperti Tan Koens Swie di Kendiri yang banyak sekali menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa.

Nasionalisme Indonesia sudah mulai menjadi gerakan di lingkungan orang Tionghoa sejak 1930-an. Bahkan sebelum itu sudah ada wakil orang Tionghoa yang turut dalam penandatanganan Sumpah Pemuda, yang di antaranya juga terdapat nama Johan Muhammad Chai. Anggota “Jong Islamieten Bond” ini tercatat sebagai seorang Muslim keturunan Tionghoa yang turut menandatangani sumpah bersejarah pada 28 Oktober 1928 itu.

Baca juga: Pesan Habibie untuk Muslim Tionghoa

Transformasi budaya ini terjadi semakin pesat setelah 1945, sekalipun juga mengalami berbagai ketegangan sejarah, sama seperti perjalanan integrasi nasional bagi golongan etnis lainnya di Indonesia.

Salah satu kekuatan yang sangat menentukan dalam proses pencairan sosio-kultural ialah adanya budaya massa yang disebabkan oleh industrialisasi. Dalam hal ini kita menyaksikan bahwa barang-barang konsumsi yang sama juga dipakai oleh keturunan Tionghoa maupun orang Jawa, Minang, Aceh, dsb.

Pakaian, makanan, hiburan, dan barang-barang konsumsi menembus batas-batas etnisitas. Pola konsumsi, rekreasi, dan ilmu tidak lagi menjadi monopoli sebuat etnisitas. Budaya massa telah mendekatkan keturunan Tionghoa dengan etnis lainnya.

Apa yang terjadi dengan hubungan antara masyarakat keturunan Tionghoa dan orang Indonesia lainnya lebih mendekati konsep asimilasi, dengan berbagai variasinya. Asimilasi kultural telah terjadi melalui berbagai jalan, yaitu etnisisasi, Indonesianiasi, dan massifikasi.

Etnisisasi terjadi ketika keturunan Tionghoa mengambil budaya etnis tempat mereka menetap, seperti mereka yang berasimilasi dengan budaya Jawa, baru kemudian bersama-sama orang Jawa mengenal identitas nasional. Indonesianisasi terjadi setelah mereka yang mengalami etnisisasi mendapatkan pendidikan budaya nasional melalui saluran formal maupun informal seperti melalui media massa.

Di sini perlu dicatat, mereka yang tinggal di kota-kota besar barangkali langsung saja mengalami Indonesianisasi tanpa melalui etnisisasi. Massifikasi terjadi bersamaan dengan datangnya masyarakat industri yang menuntut terbentuknya budaya massa, dan melibatkan bukan saja orang Tionghoa, tetapi golongan lainnya.

Juga perlu dicatat, ‘melting pot’ dalam budaya terjadi dalam proses massifikasi ini. Selain itu, pluralisme budaya juga terjadi dalam kebiasaan makan yang telah mendudukkan seni masak-memasak Tionghoa menjadi bagian dari seni dapur Indonesia – secara khusus perlu disebutkan pentingnya masakan Tionghoa “Islam”.

Sehingga yang terjadi ialah, bukan lagi sekedar asimilasi, tetapi lebih dari itu. Hal ini akan lebih jelas lagi jika kita melihat “asimilasi” agama, terutama jika keturunan Tionghoa memeluk agama Islam. Konsep asimilasi yang menyarankan kemenangan ideologi mayoritas tidak berlaku di sini.

Dengan memeluk Islam, keturunan Tionghoa bukan memeluk agama mayoritas, tetapi memeluk agama Allah yang tidak mengenal minoritas-mayoritas. Membentuk bersama sebuah umat tidak saja berarti menjadi Indonesia, tetapi lebih dari itu. []

Baca juga: KOLOM – Gus Dur, Pahlawan Etnis Tionghoa

 

 

 

 

 

YS / islam indonesia / disarikan dari karya Kuntowijoyo “Paradigma Islam”. Mizan, 2008. Foto: Tempo.co

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *