Satu Islam Untuk Semua

Monday, 24 March 2014

Awal Pengabdian Orang Tionghoa


foto:panoramio.com

Kisah di balik pembangunan Masjid Agung Sumedang 

 

SRI SULASTRI mengeluarkan sebuah buku bacaan dari tasnya. Hari mulai merayap menuju senja, saat siswa Madrasah Aliah Negeri (MAN) Sumedang tersebut memutuskan untuk tenggelam dalam buku yang dibacanya itu. Baru beberapa lembar ia selesaikan, dari arah pintu gerbang masjid tiba-tiba beberapa remaja putri berjibab putih mendekatinya. Mereka berjingkat. Maksud hati ingin mencandai Sri dengan mengangetkannya namun Sri terlanjur memergokinya. Mereka lantas larut dalam pembicaraan yang ceria dan heboh, laiknya remaja putri.

Sejak duduk di bangku SMP, Sri dan kawan-kawannya sudah rajin mengunjungi Masjid Agung Sumedang sepulang sekolah. Selain untuk sholat dzuhur atau sholat ashar, mereka pun kerap menjadikan teras masjid sebagai tempat belajar bersama atau sekadar ngobrol berbagai hal. ” Di sini tempatnya adem dan menenangkan jadi enak buat belajar dan ngobrol,”ujar remaja 17 tahun ini.

Apa yang dikatakan Sri memang bukan isapan jempol semata. Jika anda berkunjung ke masjid yang terletak di sebelah alun-alun kota Sumedang ini, maka suasana sejuk sangat terasa. Menurut salah seorang penulis Sumedang Deddi Rustandi, situasi itu tercipta karena konstruksi dan arsitek Masjid Agung Sumedang memang diciptakan sedemikian rupa. 

“Para arsitek Tionghoa yang membuat rancangan masjid ini sepertinya sengaja menjadikan kontruksi bangunan memiliki sistem sirkulasi udara yang pas hingga menjadikan para jamaah betah lama-lama di sini,”kata jurnalis di sebuah media terkemuka Jawa Barat tersebut. Lantas, mengapa orang-orang Tionghoa bisa terlibat dalam pembangunan tempat ibadah terbesar umat  Islam di Sumedang itu?  

ALKISAH pada sekitar tahun 1850, telah tiba sekelompok orang Tionghoa ke Sumedang. Kedatangan orang-orang yang kerap disebut juga sebagai Hokian itu bersamaan dengan adanya rencana pendiriansebuah masjid oleh para sesepuh Sumedang.  

Laiknya bangsa yang datang dari dari daratan Tiongkok, orang-orang Hokian ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki keterampilan berniaga dan bertani, selebihnya mereka mengusai ilmu beladiri yang disebutkuntao (cikal bakal kungfu dan wushu sekarang) serta piawai dalam membangun gedung dan mengukir ornamennya. 

Diceritakan, sebagai upaya menunjukkan eksistensinya, mereka lantas mengajak penduduk asli Sumedang untuk mengadakan pertarungan bela diri persahabatan. Gayung bersambut, ‘tantangan’ itu diamini oleh para sesepuh Sumedang. Maka dipertemukanlah sejumlah pendekar silat Sumedang dengan ahli-ahli kuntao etnis Tionghoa tersebut. Adu jajaten(pertarungan) itu sendiri diadakan di Kalangan, sebuah kawasan di daerah Kaum yang konon memang digunakan untuk bertanding silat para pendekar setempat.  

Para sesepuh mengisahkan betapa serunya proses pertarungan tersebut. Masing-masing pendekar dari kedua pihak silih berganti menyerang dan mempergunakan jurus-jurus andalan mereka untuk menjatuhkan lawan. Setelah beberapa jam bertarung, para pendekar kuntau terpaksa harus mengakui keandalan para jawara Sumedang. Sebagai bentuk pengakuan atas kemenangan para jawara Sumedang, mereka lantas menawarkan untuk mengabdikan dirinya kepada  Kadipaten Sumedang. 

Penawaran itu diambut secara ramah oleh para sesepuh Sumedang. Mereka lantas dilibatkan dalam pembangunan masjid yang digagas oleh Pangeran Soegih atau Pangeran Soeria Koesoemah Adinata yang menjabat Bupati Sumedang tahun 1836-1882. Sebagai bentuk terimakasih atas bantuan orang-orang Tionghoa ini, usai selesainya masjid tersebut, Pangeran Soegih  memberikan sebidang tanah yang kemudian dijadikan pemukiman orang-orang Hokian di Sumedang. “Kawasan itu lantas dikenal sebagai Gunung Cina yang letaknya tepat di sebelah utara pusat pemerintahan Kadipaten Sumedang atau sekarang berada di wilayah Jalan Geusan Ulun sekitar SMPN 9 Sumedang,”jelas Deddi.   

PENGARUH TIONGKOK memang sangat kental mewarnai arsitek bangunan  Mesjid Agung Sumedang. Ciri khas yang kentara terlihat dari bentuk kontruksi bangunan dalam dan emper luar kiri kanan dan depan yang terbuka  serta dari bentuk menara yang bersusun tiga.Tiga menara yang berbentuk bujur sangkar ini disebut atap tumpang. Tingkatan paling atas  atau atap terakhir yang berbentuk limas disebut mamale.  

Ciri khas yang paling menonjol dari Masjid Agung Sumedang adalah banyaknya tiang penyangga, dan tiang penyangga utama yang dibuat dari susunan bata yang dibulatkan dengan ukuran besar.  Jumlah  tiang keseluruhan sebanyak 166, terdiri dari tiang utama bagian dalam sebanyak 14 buah dengan diameter 100 cm. Kemudian tiang utama bagian luar sebanyak 106 buah dengan diameter 60 cm, tiang gedung jamban sebanyak 36 buah dengan diameter 40 cm dan tiang Kiserha sebanyak 24 buah dengan diameter 40 cm.  

Para perancang Masjid Agung sengaja membuat bangunan itu kaya ventilasi. Jendela dan pintu yang dibuat sedemikian rupa sangat jauh berbeda dengan bentuk ventilasi dalam bangunan modern. Di emper depan dan pinggir tidak memakai dinding atau tembok, udara segar mengalir penuh ke emper masjid tersebut hingga menjadikan pemandangan dari dalam ke luar dan sebaliknya menjadi sangat nyaman. Jendela  yang terdapat dalam bangunan itu sendiri berjumlah 20 buah dengan masing-masing tinggi empat meter dan lebar satu setengan meter, terbuat dari kayu jati dengan jumlah pintu utama dibangunan sebanyak tiga buah. 

” Di pintu depan, sebagai pintu tambahan terdapat ornamen ukiran jepara yang sangat indah terbuat dari kayu jati dengan warna keemasan, ornamen tersebut dibuat tahun 1850 ketika  mesjid baru didirikan, dan pemasangan ornamen tersebut tidak  mengganggu kekhusuan jemaah dalam salat, karena bentuknya yang sederhana dan artistik,” ujar Deddi yang sempat terlibat dalam pembuatan sebuah buku tentang masjid itu.  

Berbeda dengan masjid-masjid modern hari ini, Masjid Agung Sumedang masih mempertahankan penabuhan bedug tiap waktu salat tiba sebelum azan. Selain itu, bedug  juga ditabuh ketika sudah selesai salat tarawih, Idul Fitri dan Idul Adha dengan pukulan yang disebut dulag. Jumlah bedug yang masih terpelihara dan berumur ratusan tahun ada tiga buah dengan ukuran panjang 3 meter dan berdiameter 60 cm.  

Bentuk menara adzan utama yang ada di bangunan utama diatap paling atas berbentuk limas dan dinamai mamale. Keadaan dan bentuknya masih asli di tiga atap tumpang tersebut di simpan pengeras suara. Menara utama tingginya 35,5 meter sedangkan menara tambahan di halaman mesjid dengan ketinggian 28,5 meter menambah semarak keadaan mesjid karena limas diatapnya dicat dengan warna keemasan.  

Di bangunan utama maupun luar terdapat langit-langit indah. Sepertinya para desainer Tionghoa itu sengaja mengutamakan penciptaan langit-langit ini untuk menambah keagungan dan keanggunan Mesjid Agung. Bentuk langit-langit di luar dipadu dengan warna yang redup dan terbuat dari serpihan kayu jati yang dipotong selebar 6 cm. Bentuk langit-1angit di dalam bangunan utama lebih indah karena disesuaikan dengan bentuk bangunan yang luas dan lebar. 

Dengan situasi seperti di atas, sangat wajar jika Masjid Agung Sumedang banyak dikunjungi para jamaah. Kedatangan mereka ke sana, bukan saja untuk melakukan ibadah ritual seperti sholat dan mengaji, tapi juga sekadar beristirahat dan menenangkan diri. Beberapa siswa malah menjadikan emperan masjid sebagai tempat belajar dan diskusi. Seperti yang dilakukan oleh sekelompok siswa putri dan Sri Sulastri.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *