Satu Islam Untuk Semua

Friday, 14 August 2015

SEJARAH – Mengenal Kakek, Ayah & Ibunda Rasulullah Muhammad saw (7)


Dua puluh tahun sudah setelah Abdulmuttholib menggali zamzam bersama anaknya, Harits. Abdulmuttholib masih dibebani hutang nazarnya untuk mempersembahkan salah satu putranya untuk Ka’bah. Hanya Tuhan dan hatinya lah yang jadi saksi nazar kala itu.

Sampai suatu hari Abdulmuttholib memanggil kesepuluh putranya yang sudah dewasa di sekitar Ka’bah. Ia menceritakan secara rinci perihal nazarnya dulu.

Tak ayal semua terpaku. Pertanyaan-pertanyaan muncul. Apakah sang ayah bersungguh-sungguh? Mengorbankan salah satu anaknya berdasarkan janji dua puluh tahun lalu? Yang hanya diucapkan sendiri bahkan tanpa sepengatahuan dan persetujuan mereka? Siapa yang akan dikorbankan? Pertanyaan-pertanyaan ini berbeda berdasarkan watak dan sudut pandang anak-anak tersebut.

Lamunan putra-putra Abdulmutthalib pun dipecah sang ayah dengan keputusan. Ia akan mengundi kesepuluh anaknya untuk dikorbankan.

Abdullah, si bungsu berusia 20 tahun, duduk di tengah, paling dekat dari ayahnya. Sejak awal Abdullah penuh khidmat mendengar pesan-pesan ayahnya. Ia memang paling disayang. Abdulmuttholib melihat ketinggian budi pekerti leluhur Bani Hasyim dalam dirinya. Dengan suara datar namun jelas, Abdullah berkata: ”Laksanakanlah undian itu ayah, bersegeralah ayah memenuhi kewajiban nazar, niscaya kegelisahan ayah selama ini akan terbayarkan”.

Kesembilan saudaranya yang lain kaget mendengan Abdullah. Sebagian terharu dan mengagumi saudara bungsunya itu. Sebagian lagi sulit memahami sikap dan pernyataan Abdullah. Bahkan Abulahab berharap nama Abdullah yang keluar dalam undian nanti? Biarlah ia merasakan menjadi korban sembelihan.

Abdulmuttholib memang sangat mengenal sifat anak-anaknya. Ia dapat membaca benak mereka satu persatu. Ia merasakan keikhlasan hati anak bungsunya Abdullah yang paling dicintainya. Itulah yang membuatnya cemas dan khawatir dalam mempersiapkan undian. “Bagaimana bila Abdullah yang keluar dalam undian itu nantinya,” begitu bisikan hatinya.

Kegelisahan Abdulmuttholib terjawab sudah. Nama Abdullah keluar sebagai “pemenang”. Meski begitu, inilah yang diinginkan Abdullah, sebagai bukti pengabdian pada Allah dan kepatuhannya pada sang ayah.

Sementara itu, Abulahab tak bisa memahami logika ayah anak ini yang melihat pengorbanan sebagai jalan kebahagiaan, dan kematian sebagai jalan menuju kehidupan. … Bersambung.

HY/islamindonesia

Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 5

Bagian 6

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *