Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 03 November 2016

Peneliti IPAC: Ideologi FPI Terima Demokrasi, Tapi Bisa Main Hakim Sendiri


islamindonesia.id – Peneliti IPAC: Ideologi FPI Terima Demokrasi, Tapi Bisa Main Hakim Sendiri

 

Sejauh ini, menurut  Juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman, penanganan proses hukum oleh kepolisian atas Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama dalam kasus dugaan penistaan agama terkesan lamban. Kalau hukum negara tidak bisa dilakukan, ancam Munarman, maka hukum Islam yang akan bertindak.

“Kalau tidak bisa menggunakan hukum yang berlaku sekarang, maka yang akan dilakukan pada Ahok adalah hukum Islam,” katanya di Jakarta Selatan, Selasa (1/11) seperti dikutip republika.co.id. 

Munarman menambahkan, “Yang menistakan agama, menghina agama itu dipancung kepalanya. Itu kalau negara tidak bisa bekerja, artinya negara membiarkan hukum Islam ditegakkan.”

Pemeriksaan Kasus Ahok, Kapolri: Kami Maunya Cepat, FPI Minta Ditunda

Bicara soal ancaman FPI bertindak di luar konstitusi negara, sejak 2013 peneliti Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) Sidney Jones menyebut itu memungkinkan terjadi. FPI bisa saja menggunakan main hakim sendiri yang merusak prinsip-prinsip demokrasi, tapi kelompok ini berbeda dari kelompok garis keras lainnya.

“Karena secara ideologis FPI tak memiliki masalah dengan demokrasi. Mereka tidak memperjuangkan negara Islam,” kata peneliti gerakan terorisme ini dalam kuliah umum ‘Sisi Gelap Reformasi’ di Universitas Paramadina Jakarta saat itu.

Karena tidak masalah dengan demokrasi, anggota FPI bisa mengejar sebuah jabatan di pemerintah atau sepanggung dengan para kandidat lainnya dalam Pilkada atau Pilgub. Bahkan, menurut Sidney, FPI sempat berpikir untuk mendaftar sebagai partai politik.

“Mereka mendukung piagam Jakarta, tetapi secara umum jauh lebih santai soal agama daripada banyak kelompok garis-keras lain – mungkin karena banyak di antaranya datang dari latar belakang yang sangat tradisional,” katanya.

Seperti dijelaskan oleh salah satu pimpinan FPI di Ciamis, organisasi ini memiliki prosedur rumit, panjang, sebelum akhirnya mereka menggunakan kekerasan. Di antaranya ialah mengirimkan 3 surat peringatan pada lembaga terkait, termasuk pada aparat kepolisian. Jika peringatan ketiga tidak ada hasil, FPI memobilisasi masyarakat sekitar dan anggotanya untuk melakukan demonstrasi ke kantor pejabat setempat misalnya.

“Jika tuntutan ini tetap tak dipenuhi, barulah FPI melakukan aksi sweeping atau serangan.”

NU Tolak Tegas Gerakan HTI dan FPI

Sidney lalu menyinggung bagaimana organisasi ini bisa bertahan yang juga merupakan kajian menarik untuk didalami. Setelah mengalami masa penurunan pasca ditangkapnya pimpinan FPI pada 2002, FPI mendapat kesempatan untuk hidup kembali pada 2005 dan setelah penerapan pilkada langsung. Ia pun mencontohkan kasus di Jawa Barat.

“Di daerah yang sangat konservatif ini, para politisi – terutama dari partai-partai sekuler nasional seperti Golkar – melihat manfaat dan keuntungan dalam kerja sama dengan kelompok-kelompok Islam lokal seperti FPI untuk merencanakan acara kampanye atau untuk mendulang suara.”

Adapun imbalannya, FPI sebagai sebuah kelompok advokasi bisa mendapatkan janji-janji kampanye yang sesuai dengan agenda mereka seperti untuk menutup kegiatan Ahmadiyah, misalnya, atau mencegah gereja tertentu yang sedang dibangun, atau meloloskan perda syariah.

“Misalnya kita melihat, pada 21 Februari 2013, ketika kampanye pilgub Jawa Barat akan berakhir, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menandatangani perjanjian dengan FPI untuk sepenuhnya menerapkan peraturan anti-Ahmadiyah. Ini terjadi di daerah yang mengalami lebih banyak serangan atas nama agama dibanding tempat-tempat lain di negara ini,” katanya menyinggung hasil publikasi penelitian Setara Insititute 7 Mei 2013.

‘Jawa Barat Tidak Serius Cegah Isu Radikalisme’

Micheal Buehler, yang telah melakukan penelitian luas tentang masalah ini, mencatat dalam sebuah artikel, bahwa menjanjikan perda syariah atau program islami lainnya dapat memungkinkan politisi lokal untuk meningkatkan citra publik vis a vis lawan-lawan mereka.

“Di daerah seperti Ciamis, di mana FPI punya basis di dalam komunitas pesantren, organisasi dapat memainkan peran penting dalam membantu calon tanpa kredensial Islam tertentu untuk mendulang suara,” katanya.

Selain itu, FPI juga tercatat terlibat dalam konflik tanah. “Dalam laporan kami mengenai sengketa antara petani singkong dengan perkebunan tanaman industri di Mesuji, Lampung, ditunjukkan bagaimana pensiunan jenderal Saurip Kadi menyerukan para petani untuk menduduki areal konsesi perusahaan.”

Ketika terancam penggusuran, Saurip membawa FPI sebagai pelindung, bukan karena ia setuju dengan berbagai pandangan Habib Rizieq atau memiliki simpati tertentu dengan taktik organisasi ini. Melainkan, karena itu, seperti diakuinya sendiri: ‘Ketika simbol-simbol agama terlibat, pemerintah cenderung mundur.’

“Itu komentar yang menyedihkan tentang keadaan demokrasi di Indonesia,” kata Sidney.

Bagi wanita yang juga pernah aktif di International Crisis Group ini, sudah banyak dokumentasi tentang bagaimana kelahiran FPI disponsori oleh aparat negara; juga tentang bagaimana kegiatannya mencari uang. Sebagaimana dicatat Ian Wilson (2008), untuk sebagian anggota gerakan Islam militan, ‘mendapatkan akses sumber daya dan manfaat ekonomi sering lebih penting daripada komitmen ideologis.’

“Pada tahun 2005, seorang anggota FPI mengatakan kepadanya bahwa nasionalisme dan gagasan ‘Bela Bangsa’ sudah ketinggalan zaman, dan bahwa sekarang, pada era reformasi, kegiatan anti-kemaksiatan atas nama Islam jauh lebih seksi,” katanya mengutip Wilson. []

 

Beredar Foto Teroris Ancam Ahok, Sidney: Demo 4 November Potensi Ditunggangi Kelompok Garis Keras

 

YS / islam indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *