Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 01 September 2016

OPINI–Cak Nur bukan Jaringan Islam Liberal


Islamindonesia.id–Cak Nur bukan Jaringan Islam Liberal

hFYEGhl8

Oleh M. Deden Ridwan*

Sabtu 15 Maret 2008, Paramadina memperingati “1000 hari wafatnya Nurcholish Madjid”. Meski sudah wafat, sosok Cak Nur masih tetap kontroversial. Sejumlah buletin yang beredar tiap pekan di masjid-masjid dan materi khotbah Jumat seperti tak habis-habisnya mengkritik Cak Nur. Salah satu sorotan paling mutakhir adalah anggapan bahwa pikiran Cak Nur terwariskan ke Jaringan Islam Liberal (JIL).
Cak Nur dan JIL sering dianggap identik. Asumsi ini cukup beralasan, karena Cak Nur pada 1970-an pernah mengusung gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Antara Cak Nur dan JIL seolah terjadi titik temu intelektual. Apalagi, JIL mengakui bahwa gagasannya terinspirasi oleh Cak Nur. Maka, pencitraan Cak Nur sebagai JIL pun tak terhindarkan.
Padahal liberalisasi Cak Nur lebih bersifat sosiologis. Ia berusaha membebaskan umat dari belenggu kultural dan tradisi yang pada waktu itu bisa dianggap menghambat berpikir rasional. Bukan liberalisasi dalam pengertian teologis, seperti mempertanyakan keotentikan Al-Quran, sebagaimana dikampanyekan JIL.
Gagasan Cak Nur dan JIL berbeda secara ide. Pada Cak Nur, gagasan pembaruan Islam lebih ditulis dan diartikulasikan secara akademis. Buku Islam, Doktrin dan Peradaban, menjadi bukti. Secara paradigmatik, gagasan Cak Nur lebih sistematis. Dibandingkan dengan JIL, metode yang Cak Nur tawarkan lebih jelas. Yaitu, “memelihara yang lama yang baik dan mencari yang baru yang lebih baik”. Dalam hal menafsirkan Al-Quran, Cak Nur mengadopsi metode double movement, dari situasi sekarang ke situasi turunnya wahyu, lalu kembali lagi ke masa kini untuk menggali relevansi ajaran agama.
Sebaliknya, sistematisasi ide tidak tampak pada JIL. Gagasan JIL baru sebatas percikan ide spontan yang tercecer di surat kabar dan milis. Artikulasi pemikirannya belum terstruktur secara konseptual dan akademis. Karena itu, gagasan JIL secara epistemologis masih rapuh. JIL sampai kini belum punya metodologi yang jelas dalam menafsirkan Islam. Kritik pedas seperti itu pernah dilontarkan Dr. Haidar Bagir.

(Baca, Cak Nur dan Titik Temu Agama-agama)

Tema pembaruan keduanya juga bisa dikontraskan. Cak Nur sangat kuat dalam penjelajahan intelektual pada tradisi Islam klasik untuk merespons tantangan modernitas. Ia fasih berbicara pemikiran Islam klasik dan abad modern. Buku Khazanah Intelektual Islam yang ia sunting dan terjemahkan adalah bukti. Ia ingin menjadi sosok pious thinker—pemikir yang saleh. Dan rupanya, kesalehan tersebut menjadi semacam ikon Cak Nur, baik dalam kehidupan intelektual, spiritual maupun ritual sehari-hari bahkan personal.
Sementara itu, di tubuh JIL, kesalehan itu tidak menjadi kebanggaan ketika mengumandangkan gagasan pembaruan. JIL benar-benar ingin sekuler. Kelihatannya mereka bangga jika tercerabut dari piety atau tradisi. Mereka tidak begitu “apresiatif” terhadap tradisi Islam klasik. JIL benar-benar menjadi sekuler secara sempurna. Mereka ingin membangun formasi sosial-kultural baru yang sungguh “anti agama”, jauh dari nilai spiritual. Maka, bisa dipahami bila JIL cenderung “anti masjid” dan sinis melihat aktivitas ritual ibadah praktis.
Tradisi pembaruan Cak Nur berangkat dari spirit pencerahan Amerika. Dalam spirit pencerahan Amerika, apresiasi agama sangat tinggi untuk sekularisasi. Agama tidak pernah dipandang sebagai musuh pencerahan dan sekularisme. Sebaliknya, di JIL, agama—khususnya Islam—selalu dimusuhi dan dikritik di luar dosis. Di JIL, semangat pencerahan tampaknya lebih datang dari Eropa yang memang sangat hostile terhadap agama. Meminjam istilah Alfred Stepan, spirit di Eropa ingin freedom of state from religion; sementara spirit Amerika ingin freedom of religion from state.
Dalam debat mutakhir, Cak Nur menjadi pemikir yang sadar menjadikan scripture Islam dan tradisi sebagai bagian dari public reasioning. Dan JIL tampaknya tidak demikian. Pada Cak Nur, penalaran publik itu murni dimotivasi oleh spirit agama. Warisan pemikiran Tocqueville dan Robert N. Bellah sangat kuat pada pembentukan mind set dan paradigma Cak Nur. Jadi, kuat sekali bahwa toleransi dan pluralisme Cak Nur selalu berangkat dari sandaran agama.

(Baca, Menggagas Ulang Konsep “Modernitas” Cak Nur”)
Secara teknis, Cak Nur sangat santun dalam artikulasi pemikiran dan tulisan. Ia berhasil menarik simpatik orang yang sebelumnya memusuhi. JIL justru sebaliknya. Orang yang semula simpatik malah berubah menjadi antipati. Cak Nur memiliki—memakai istilah Toqueville—habits of the mind dan habits of the heart; pikiran dan hatinya sangat santun. Karena itu, bisa dipahami jika Cak Nur itu sensitif terhadap perasaan umat; suatu sikap yang sama sekali tak muncul dari tubuh JIL.
Dengan demikian, gagasan Cak Nur lebih relevan dan punya masa depan. Sebaliknya, JIL selama berwajah rigid, kaku, egois, dan terperangkap ke dalam “fundamentalisme liberal”, akan sulit hidup.[]
*Penulis buku Gagasan Cak Nur dan Media (2002), konsultan media dan perbukuan di Jakarta

AJ/IslamIndonesia/Sumber: Gatra

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *