Menggagas Ulang Konsep “Modernitas Islam” Cak Nur
Dihadapan sejumlah ormas Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Pelajar Islam Indonesia (PII) Nurcholish Majid, atau yang sering disapa Cak Nur, mengemukakan pemikirannya yang saat itu orang belum “ngeh” dengan tema; Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam diskusi diawal Januari 1970 itu Cak Nur menekankan perlunya umat Islam melakukan pembaruan (modernisasi), karena dengan pembaruan, konsep dan pemikiran yang berkembang dalam Islam akan maksimal mengisi proses demokratisasi yang sedang terjadi. Tema penting yang dibahas dalam diskusi itu meliputi; modernisasi dan sekularisasi menjadi bahasan dan perdebatan seru.
Dua tahun kemudian, cak Nur menuangkan kembali gagasannya, namun kali ini lebih halus. Makalah dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.” Benang merah yang bisa diambil dalam diskusi ini adalah, ajakan Cak Nur kepada umat Islam agar tidak segan-segan belajar dari “Barat” tentang banyak hal. Hasil pengetahuan yang didapat bisa diadopsi dan dikembangkan dengan “Benteng” keimanan. seorang muslim yang baik ada mereka yang berguna bagi sesama dan dunia menjadi ladang amal dengan memanfaatkan ilmu untuk kemaslahatan umat.
Buku yang sebelumnya diterbitkan oleh Mizan tahun 1987 ini menjadi sangat relevan dengan kondisi yang sedang dialami umat Islam. Pemikiran Cak nun kala itu 70an seakan melampaui batas waktu, dan tetap menjadi kajian menarik hingga saat ini. Dalam soal Islam dan demokratisasi. Umat Islam Indonesia menghadapi tekanan yang cukup berat dalam mengawal demokratisasi di negeri ini. Apalagi dalam proses tersebut muncul konflik ideologi, termasuk konflik antar ormas dan partai berbasis Islam.
Tidak hanya itu, Islam di Indonesia juga harus berusaha untuk kembali mencerna konsep toleransi yang terkadang menjadi permasalahan diantaranya umatnya sendiri. Umat Islam, dalam pandangan Cak Nur, juga harus bisa membangun kembali “Kerjasama Kemanusiaan”. Dimana kerjasama tersebut harus berpijak pada prinsip persamaan, manusia diseru untuk senantiasa menggalang kerja sama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Untuk itu, umat harus didorong agar senantiasa mencari titik-titik persamaan sebanyak mungkin.
Gagasan2-gagasan menarik Cak Nur tentang ke indonesiaan seperti: Islam dan cita -cita politik indonesia, Islam dan cita-cita keadilan sosial, Islam dan masyarakat modern industrial, Islam dan modernisasi, Islam dan ilmu pengetahuan hingga tentang masa depan Islam menjadi ulasan yang masih memiliki konteks kekinian.
Tidak kalah menarik, dalam buku yang diterbitkan PT Mizan Pustaka ini juga menggagas keterkaian Islam dengan industrialisasi dan Islam. Sembari mengutip analisis sosiolog Robert N. Bellah dalam sebuah tesisnya, Cak Nur, membuat bakal persamaan jika proses industrialiasi didasarkan pada nilai-nilai agama (keTuhanan) maka negara tersebut akan mengalami kemajuan pesat. Dalam tesis Ph.D-nya Bellah mengemukakan hubungan yang dinamis antara agama Tokugawa dan kebangkitan ekonomi Jepang modern. Etika ekonomi Jepang ini bersumber dari etika kelas “Samurai” yang merupakan tulang punggung Restorasi Meiji (1868-1911).
Dalam menanggapi respon sebagian umat Islam tentang definisi modernisasi Cak Nur yang “kebablasan”, dengan bahasa yang cukup santun Cak Nur mengatakan bahwa modernisasi adalah upaya rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir dan bekerja maksimal, guna kebahagiaan umat. “Bukankah ini perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar?, kata Cak Nur.
Sembari mengutip surat Fushshilat [41]:52, Cak Nur mengatakan bahwa tujuan akhir hidup manusia ialah kebenaran Akhir, yakni kebenaran Ilahi. Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada manusia ayat-ayat (hukum-hukum) Kami, baik di seluruh cakrawala maupun dalam diri mereka sendiri, sehingga menjadi terang bagi mereka bahwa Alquran itu benar adanya. Tidak cukupkah Tuhanmu itu menjadi saksi atas segala sesuatu? Menurut Cak Nur, tidak boleh seorangpun berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain, dengan penuh rasa tawadhu kepada Tuhan. Apalagi Nabi Muhammad sendiri pernah menegaskan bahwa setiap kebenaran adalah barang hilang-nya seorang muslim. Maka barang siapa menemuinya, di mana saja dan kapan saja, hendaknya dia memungutnya, dan bahwa kebenaran itu harus dicari di mana saja adanya, sekalipun harus ke negeri Cina.
Menurut Cak Nur, muslim adalah seorang yang senantiasa modern, maju, progresif terus-menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya. Dan inilah yang disebut dengan “ihsan”, salah satu dari dua perintah Tuhan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu akan keadilan dan ihsan” (QS Al Nahl [16]: 90).
Buku setebal 400 halaman ini sangat layak untuk dibaca, apalagi di dalamnya merupakan catatan-catatan penting pemikiran Cak Nur tentang Islam, yang terus menjadi kajian banyak kalang, termasuk non-muslim hingga saat ini. Prof. Franz Magnis-Suseno SJ, misalnya, dengan berani mengatakan bahwa ide negara “Sekuler” dan “Plural” versi Cak Nur, merupakan bukti keberanian seorang muslim menghadirkan paradigma baru (newparadigm), yang menghargai orang diluar Islam. Menurut Franz Magnis, keterbukaan pemikiran Cak Nur merupakan bagian dari dirinya untuk memperlihatkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, dan menjadikan Islam sebagai agama yang bisa terbuka dalam menatap masa depan yang penuh dengan banyak perubahan. [SR]
sumber : Islam Indonesia
Identitas Buku
Judul : Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan
Penulis : Nurcholish Madjid
Penerbit: PT Mizan Pustaka
Tahun Terbit : 2013 (edisi kedua)
Jumlah Halaman : 400
Leave a Reply