Satu Islam Untuk Semua

Monday, 28 April 2014

Cak Nur dan Titik Temu Agama-agama


rumahnegeriku.com

Apa yang dilakukan Cak Nur merupakan usaha untuk mencari titik temu antara agama-agama yang ada di Indonesia.

 

Gagasan Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur terkait tentang Islam Indonesia kerap menimbulkan kontroversi hebat di kalangan Muslim, bahkan hingga sekarang.

Misalnya pada tahun 1980-an, Cak Nur dengan tegas menolak paham “Negara Islam”, dan menyerukan semboyan, “Islam Yes, Partai Islam No!” yang kemudian dikenal luas. Pasalnya, dengan semboyan ini, ia lebih menempatkan peran agama dalam politik ada pada wilayah moralitas, dan bukan pada politik praktis.

Begitu pula pada 1992. Ia mengeluarkan gagasan tentang “Islam inklusif”, yang sepenuhnya mendukung perlindungan dan perkembangan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia.

“Apa yang dirintis Nurcholis Madjid sejak 1992 telah mengokohkan suatu perspektif mengenai demokrasi secara umum, termasuk pluralisme agama, yang secara konseptual-filosofis mendukung sepenuhnya perlindungan dan perkembangan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia,” kata Budhy Munawar-Rachman dalam disertasi doktornya, berjudul “Titik Temu Agama-agama: Analisis atas Islam Inklusif Nurcholis Madjid”, yang ia kemukakan di depan senat guru besar filsafat STF Driyarkara, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, apa yang dilakukan Cak Nur merupakan usaha untuk mencari titik temu antara agama-agama yang ada di Indonesia.

Cak Nur sadar bahwa tanpa pandangan keagamaan yang inklusif tatanan demokrasi di Indonesia tidak dimungkinkan. Karenanya, ia berusaha mencari landasan teologis yang sesuai dengan bangsa ini.

“Dari Cak Nur kita mengenal konsep yang berasal dari Qur’an, yakni kalimatun sawa’, yakni keyakinan bahwa semua agama, pada tingkat transenden, bertemu dalam satu ultimate concern, sementara pada tingkat imanen dalam keprihatinan etis,” ujarnya.

“Dengan itu Cak Nur menyiapkan landasan teologis agar umat Islam dapat menerima sikap inklusif ini sehingga dapat mengembangkan paham keindonesiaan yang modern.”

Model keberagamaan “Islam inklusif” itu, atau apa yang dulu dicetuskan Cak Nur sebagai “Islam yang hanif”, merupakan antitesa terhadap model keberagamaan yang fundamentalistik dan bersifat kultus. Perumusan teologi inklusif ini menekankan pada bagaimana kita memahami pesan Tuhan, yang kemudian menghadirkan kesadaran bahwa Tuhan Maha Hadir (omnipresent) dalam keseharian kita.

Lewat analisisnya, Cak Nur menyimpulkan, model keberagamaan yang fundamentalistik dan kerap mengkultuskan individu tidak lagi cocok dan tidak memiliki masa depan, karena cenderung tertutup pada perkembangan kiwara dan berorientasi ke masa lampau.

“Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keberagamaan yang berbeda sama sekali. Kita memerlukan model keberagamaan yang lebih inklusif, terbuka, adil, dan demokratis. Ini yang diletakkan Cak Nur lewat Islam yang hanif, atau al-hanifiyah al-sambah, yakni keislaman yang terbuka pada kebenaran dan membawa pada kelapangan hidup.”

Di dalam model keberagamaan seperti itulah cita-cita Cak Nur mengenai kalimat-un sawa’ dapat tercapai.

Budhy sangat yakin, dalam kondisi saat ini, dimana praktik-praktik intoleransi keagamaan meningkat tajam, gagasan-gagasan Cak Nur masih relevan, terutama untuk mencari perspektif keagamaan yang lebih terbuka pada perubahan dan tantangan zaman.

 

Sumber: Satuharapan.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *