Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 01 June 2019

Merawat Nalar dan Persaudaraan di Tengah Politik Kebencian: Diskusi Politik bersama Haidar Bagir dan Mohamad Sobary (2)


islamindonesia.id – Merawat Nalar dan Persaudaraan di Tengah Politik Kebencian: Diskusi Politik bersama Haidar Bagir dan Mohamad Sobary (2)

Sambungan dari bagian 1.

Demokrasi dan Hukum

Menurut Sobary di dalam negara demokrasi, hukum adalah mekanisme. Kritik boleh, tapi jangan sampai menghina. Kritik dan hinaan adalah dua hal yang berbeda. Politik itu ada aturannya, hinaan dapat berujung kepada hukum.

Terkait orang-orang yang sudah terkena jerat hukum, seperti Eggi Sudjana dan Permadi Satrio Wiwoho misalnya, Sobary mengatakan, “Mereka itu lupa bahwa politik itu juga ada aturannya. Ketika urusan politik itu selesai, berhentilah. Jangan menabrak wilayah politik itu untuk meloncati ke wilayah hukum dan kriminalitas.”

Terkait hal di atas, ketika sebagian orang menilai bahwa pemerintah telah menggunakan instrumen hukum untuk membungkam kebebasan, Haidar menjelaskan, “Kesan itu bisa muncul karena menurut saya pemerintah sudah agak terlambat. Jadi sebetulnya persoalan hate speech dan lain sebagainya ini, sudah bertahun-tahun yang lalu merebak di kalangan masyarakat. Mestinya sudah sejak dulu hal-hal seperti ini, itu di-law enforcement, ditegakkan, dan ini diperlakukan sebagai pelanggaran hukum.”

Haidar menambahkan, hate speech seharusnya ditindak sejak awal, tidak peduli pelakunya dari pendukung mana pun. Karena lama dibiarkan, sehingga ini terus menumpuk, dan baru sekarang ditindak, sehingga menimbulkan kesan seperti pembungkaman kebebasan. “Tapi kalau saja sejak awal setiap pelanggaran hukum, siapapun yang melakukan, hukum ditegakkan, maka sebenarnya tidak akan muncul kesan seperti ini,” ujar Haidar.

Selain itu, soal demokrasi, Haidar berpendapat bawah demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Jika dibandingkan dengan negara-negara yang dianggap paling demokratis pun, seperti Amerika Serikat misalnya, tidak akan ada yang sampai mengancam Presidennya. “Misalnya ada rakyat Amerika yang demo terus bilang, ‘Kepalanya Trump mau saya penggal,’ itu ngga ada,” kata Haidar.

Budaya Nusantara dan Hukum Positif

Terkait budaya, Haidar berpendapat, “Saya kira yang disebut sebagai budaya nusantara itu ada. Dan budaya kita itu bukan hanya di Jawa, sebetulnya kita bisa mengatakan di seluruh nusantara, itu budaya yang menekankan harmoni, bukan konflik. Artinya konflik diatasi, tapi bukan dengan cara-cara frontal.”

Namun budaya nusantara itu sendiri menjadi rapuh karena struktur atau wadah yang menampung dan memeliharanya tidak kuat. Yang dimaksud dengan struktur di sini adalah keadilan dan penegakkan hukum. Akibatnya datang pengaruh dari luar yang bertentangan dengan budaya lokal.

“Ada satu semangat zaman, manusia modern itu makin stress menurut saya. Manusia modern itu makin tidak berdaya. Informasi begitu banyak, sosial media yang mengantarkan berbagai macam paham dan lain sebagainya membuat orang tidak berdaya, akhirnya bukannya justru menjadi makin toleran, dia masuk ke dalam kepompong yang sempit. Itu yang memperkuat politik identitas.”

Termasuk juga agama. Agama yang seharusnya menjadi pilar dari harmoni, sekarang justru orientasinya hanya soal hukum dan politik, kalau sudah berorientasi seperti itu, maka ia pasti menjadi eksklusifistik, ungkap Haidar.  

Baca Juga:

  • Apakah agama itu merupakan hukum, atau justru sebagai cinta? Baca tulisan Haidar Bagir: Agama Versus Agama

Amerika Serikat, karena negaranya sekuler, maka mereka tidak bisa membawa agama ke dalam ranah politik. Sementara itu di Indonesia, “Di kita ini ada populisme, ada pengentalan identitas, ditambah dengan cara keberagamaan yang menjadikan ramuannya menjadi lengkap, untuk kemudian memiliki daya rusak,” kata Haidar.

Dia menambahkan,“Bomnya sudah meledak berkali-kali (konflik karena agama dan politik identitas-red), tapi kita masih menghindar dari bom yang lebih besar,” pungkas Haidar.

Terkait narasi di atas, Sobary mengatakan hendaknya kita semua tidak perlu terlalu khawatir, karena hal ini merupakan bagian dari proses pematangan demokrasi. Selain itu, “Di kalangan orang-orang yang telah matang secara kebudayan, matang secara filosofi, itu belum lagi memiliki kesempatan untuk menghayati,” ujar Sobary.

“Maka apa boleh buat (karena absennya orang-orang yang matang tersebut-red), model perlawanan budaya kita, itu tidak dengan cara yang lain, selain menggunakan apa yang namanya instrumen hukum,” tambah Sobary.

Namun, yang dimaksud dengan hukum di sini adalah law as culture, atau hukum bagian dari kebudayaan. Menurut Sobary, untuk mengharapkan harmoni hadir dengan sendirinya saat ini sudah tidak kontekstual, maka hukumlah yang harus bertindak ketika ada orang-orang tertentu yang hendak merusaknya.

“Hukum adalah kesepakatan seluruh bangsa, ketika itu dipakai dan masih ada orang yang bawel, (berkata) ‘kita ditangkapi,’ (sebenarnya) hukum yang menangkap, dan Anda meminta ditangkap. Perilaku Anda sudah tua tapi Anda menantang-nantang supaya hukum menangkap, bukan Pak Jokowi bukan Kapolri, yang nangkap itu hukum,” pungkas Sobary.

Sebagai penutup Haidar berkomentar, “Dan harus saya kira disusul dengan upaya rekonsiliasi yang betul-betul direncanakan dengan baik,” pungkas Haidar.

Selesai.

PH/IslamIndonesia/Foto Fitur: CNN Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *