Satu Islam Untuk Semua

Friday, 31 May 2019

Merawat Nalar dan Persaudaraan di Tengah Politik Kebencian: Diskusi Politik bersama Haidar Bagir dan Mohamad Sobary (1)


islamindonesia.id – Merawat Nalar dan Persaudaraan di Tengah Politik Kebencian: Diskusi Politik bersama Haidar Bagir dan Mohamad Sobary (1)

Cendekiawan Muslim Haidar Bagir dan Budayawan Mohamad Sobary, dipandu oleh Budi Adiputro, duduk bersama dalam sebuah Talk Show yang diselenggarakan oleh CNN Indonesia pada Rabu (29/5), dengan tema “Merawat Nalar & Persaudaraan di Tengah Politik Kebencian”.

Haidar menjelaskan, bahwa kekisruhan yang berlanjut pasca Pemilu 2019 merupakan pandemi yang tejadi di seluruh dunia, yaitu yang disebut dengan politik identitas dan populisme. Di negara-negara lain pun muncul hal yang serupa, misalnya di Amerika Serikat yang memunculkan Donald Trump, atau di India yang memunculkan Narendra Modi.

Di tempat lain, di Eropa misalnya, muncul juga partai-partai dan tokoh-tokoh politik yang berhaluan ekstrem kanan yang anti dengan orang-orang asing. Begitu pula dengan Brexit, itu adalah sebuah gerakan politik identitas dan populisme.

Menurut Haidar, tokoh-tokoh tersebut dilahirkan oleh semangat zaman, atau zeitgeist dalam bahasa Jerman. Konsep zeitgeist pertama kali dipopulerkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel pada abad ke-18 dan 19.

Di Indonesia hal ini menjadi lebih parah karena melibatkan agama. Agama yang semestinya menjadi penyejuk dan solusi penyelesaian konflik secara damai, justru menjadi bahan bakar. Agama di sini dalam artian keberagamaan, atau suatu pemahaman tertentu, bukan sebagaimana adanya agama itu sendiri yang semestinya mengajarkan kasih sayang dan kedamaian.

Politik identitas adalah tindakan politik untuk mengentalkan suatu identitas. Apabila identitas masing-masing kelompok semakin mengental, maka potensi konflik otomatis menjadi semakin besar.

Populisme adalah suatu sikap, atau kecenderungan agar disukai oleh banyak orang, atau menjadi populer dan dapat diterima oleh massa. Massa apabila sudah berkumpul, identitasnya semakin menguat, dan dapat memunculkan gejala amuk massa, atau dalam bahasa Inggris amock, yang maknanya adalah kacau atau kerusuhan.

“Agama yang sebaliknya, dari dipahami sebagai sumber kedamaian, cinta kasih, kemudian dipahami sebagai bagian dari identitas, ini kemudian seperti dua cairan kimia yang cocok, saling bercampur, dan menjadikan pengentalan identitas, fanatisme. Kalau sudah pengentalan identitas, ‘yang benar saya, kelompok lain salah.’,” ujar Haidar.

Pengentalan identitas membuat suatu gerakan menjadi tidak terkontrol, dan ketika masuk ke dalam arena politik, hasilnya adalah kekacauan.

Menyingkapi isu yang sama, Sobari mengatakan, bahwa di seluruh dunia, mereka yang memerlukan identitas adalah orang-orang Islam yang relatif baru. Mereka adalah orang-orang yang belum terlampau paham terhadap agama itu sendiri.

Sementara itu, orang-orang yang sebenarnya paham, seperti kalangan Nahdliyin misalnya, cenderung memilih diam dan menarik diri. Mereka justru kecewa mengapa agama ditampilkan dengan wajah seperti ini (bila mengacu kepada diskusi sebelumnya, mengikuti term dari Haidar Bagir, ketika agama menjadi politik identitas dan menghasilkan kekacauan-red). Dan orang yang diam ini, justru jumlahnya mayoritas.

Agama dalam Pusaran Konflik Politik

Ketika ditanya apa penjelasannya, kenapa agama bisa diseret ke dalam konflik politik? Sobary menjelaskan, menurutnya hal seperti ini dapat muncul akibat pertemuan dari elit agama dan elit politik yang sebenarnya belum matang.

Mereka adalah orang-orang yang belum paham secara mendasar. Pengikut mereka sebenarnya sedikit, tapi paling keras suaranya. Dan media terlalu menyorotnya, terlalu memberi peran.

“Media seharusnya mengabaikan mereka yang merusak, orang yang tidak tahu agama tapi sok mengerti agama. Dan kalau berdoa itu, Tuhan kaya miliknya sendiri,” ujarnya mengkritik orang-orang berjubah agama yang seringkali mempertontonkan doa di depan publik dengan suara lantang. Menurutnya itu hanya nafsu kekuasaan politik. “Nothing to do dengan agama, karena itu minus morality,” tambahnya.

Sementara itu, menurut Haidar, banyak orang yang menganggap agama itu hanya sebagai urusan hukum dan politik saja.

Haidar memberi contoh, bahwa dari sejak kecil, anak-anak di Indonesia diajarkan di sekolahnya tentang Sejarah Nabi. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad itu pada awalnya ditindas di Makkah. Lalu beliau hijrah ke Madinah, yang kemudian menjadi penanda awal kalender Hijriyah. Tahun pertama Hijriyah, umat Islam istirahat. Kemudian mulai dari tahun ke-2 hingga wafatnya Nabi, umat Islam itu digambarkan selalu perang terus-menerus.

“Nabi (Muhammad) itu, menjadi nabi kalau dihitung, kira-kira 23 tahun, (atau) 8000 hari. Dalam penelitian, umat Islam waktu itu diagresi, diserang terus. Itu kalau dihitung, keseluruhan perangnya nabi itu hanya 800 hari, bahkan ada yang mengatakan perang benernya itu 80 hari.”

Artinya, pada waktu itu, dalam keadaan diagresi, nabi hanya berperang sebanyak 10%. Lalu 90% sisanya apa yang dilakukan nabi? Terlebih apalagi jika yang dihitung hanya 80 hari perang, artinya itu hanya 1% saja dari masa kenabian. “Anak-anak kita kalau ditanya, ‘Nabi itu selain perang kerjanya apa?’ Ngga ada yang bisa ngomong,” ujar Haidar.

Dengan pemahaman seperti ini, banyak orang yang berpikir, jika ingin menjadi Muslim yang imannya kuat, maka mereka harus berperang, konflik, dan mengkafirkan orang selain mereka. Hal inilah yang bercampur dengan pengentalan identitas.

Akibatnya, “Untuk menunjukkan identitas saya Muslim dan beriman, ‘Saya mesti siap jihad.’ Jihad dalam makna sempit,” ujar Haidar.

Tendensi pengentalan identitas seperti ini sudah terjadi sejak Pilgub Jakarta 2017, dan itu tetap dilanjutkan dalam Pemilu 2019 meskipun kurang efektif, tetapi usaha ke arah sana jelas begitu besar.   

Bersambung ke bagian 2.

PH/IslamIndonesia/Foto Fitur: CNN Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *