Satu Islam Untuk Semua

Monday, 07 November 2016

Cak Nun: Syarat Pemimpin itu Minimal Dua, Pertama “Medeni” Kedua Malati


islamindonesia.id – Cak Nun: Syarat Pemimpin itu Minimal Dua, Pertama “Medeni” Kedua Malati

 

Dalam banyak tulisan berisi pemotretan spesialnya terhadap situasi dan kondisi rakyat, bangsa, dan negara kita, Cak Nun berulang kali menyoroti betapa pentingnya arti kehadiran pemimpin sejati yang benar-benar pemimpin untuk negara besar seperti Indonesia. Bukan sekadar penguasa yang merasa paling berkuasa, lalu menganggap diri bisa berbuat apa saja. Termasuk berlaku tak adil, tak peduli dan anti kritik, tak ambil pusing langkah-langkahnya berpotensi menyengsarakan rakyat, sebab rakyat menurutnya sudah sepenuhnya dikuasai dan mesti nurut, tunduk, patuh kepadanya, dan seterusnya.

[Baca: Cak Nun: Kepemimpinan Membutuhkan Sosok Insan Kamil]

Cak Nun juga tak kurang sering menyampaikan, bahwa jawaban atas persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kepemimpinan yang sejati dan sungguh-sungguh. Dalam istilah Mbahnya Maiyah ini, tidak perlu teori kepemimpinan muluk-muluk, yang “bagaimana-bagaimana”. Cukuplah kita punya pemimpin dengan dua kriteria saja: medeni (ditakuti, bukan menakutkan) dan malati. Ditakuti dalam arti ditaati karena kebenaran sikap dan kebijakannya, dan malati atau menyebabkan datangnya akibat kutukan atau hukuman dari Allah jika rakyatnya tidak mengikuti kepemimpinannya.

Selain ditakuti, kenapa pemimpin juga perlu malati? Cak Nun menegaskan, karena kita tak bisa berharap dan mencari solusi dari dunia untuk mengatasi masalah, melainkan lebih tepat berharap langsung kepada Allah. Artinya, jika kita sudah punya pemimpin benar tapi kita malah membangkang, maka biarlah Allah yang turun tangan. Maka dengan begitu, rakyat bakal kapok main-main, apalagi sampai punya niatan berkhianat dan main kudeta.

[Baca: Tafsir Lain Tembang Gundul-Gundul Pacul Terkait 4 Prinsip Kepemimpinan Semar]

Sementara dalam merespon situasi dan kondisi kejiwaan bangsa kita yang akhir-akhir ini semakin galau berat oleh berbagai rentetan penderitaan, terutama akibat ulah para elit dan kaum alit terus “berperang” berebut “benar”, Cak Nun kembali mengingatkan bahwa manusia modern seringkali memang cenderung mbegegeg dengan kebenaran yang diyakini, tanpa paham betul apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Padahal kebenaran itu bertingkat-tingkat sesuai jangkauan pemahaman orang-orang yang berusaha memahaminya.

Sudah lazim kita lihat dan dengar, kebanyakan orang justru njelimet memaknai kebenaran. Padahal kata Cak Nun, kebenaran itu sederhana saja, yakni ketika kita diridhai oleh Allah. Benar seperti apapun yang kita yakini, kalau tidak mendatangkan ridha Allah, maka tidak akan menjadi kebenaran. Pendek kata, kurang-kurang sempurna sedikit asal hati ikhlas dan kuat nyantol ke Allah dan mendatangkan ridha-Nya, ya itulah yang namanya kebenaran.

Begitu pula ketila banyak orang Islam mengklaim dirinya hendak membela Islam. Cak Nun menganalogikan bahwa orang yang bersikap demikian, tanpa sadar telah memisahkan dirinya dari Islam.

Ibaratnya, jika ada yang bilang Jokowi membela Ahok, maka yang membela dan yang dibela itu beda. Jokowi ya Jokowi, Ahok ya Ahok. Jokowi bukan Ahok. Ahok bukan Jokowi. Maka, ketika si Fulan mau membela Islam, berarti si Fulan bukan Islam. Lebih jauh, si Fulan berarti tak paham apa itu Islam. Padahal Islam bagi si Fulan, mestinya dipandang ibarat tongkat bagi si buta. Maka tongkat itulah yang lebih pantas “membela” si buta, membantu “menunjukinya” jalan agar dia tidak tersesat. Bukan malah si buta yang pantas membela tongkat.

Begitu pula halnya posisi Islam yang dapat menyelamatkan si Fulan dunia-akhirat. Sementara si Fulan tak bakal mampu membela Islam, jangankan sampai ke akhirat, di dunia pun dia takkan sanggup, selain juga memang tak perlu.

Di sisi lain, sama persis posisi pemimpin yang benar tak perlu dibela-bela begitu rupa sampai merasa halal-halal saja saling mencaci, saling hujat dan saling menghina. Begitupun pemimpin yang tidak benar tak perlu kita terlalu ngotot berupaya menumbang-numbangkan dan membullynya tanpa henti, dari pagi ketemu pagi. Karena pemimpin benar pasti akan malati jika ditentang dikhianati, dan pemimpin tak benar pun, pada saatnya dan sesuai kehendak-Nya, bakal tumbang sendiri tanpa perlu dikudeta dengan taruhan hidup-mati.

[Baca: Demo 4 November Ancam Lengserkan Jokowi, Ini Tanggapan Romo Magnis]

 

EH / Islam Indonesia – Foto: Adin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *