Satu Islam Untuk Semua

Monday, 23 January 2017

Abdillah Toha: Perbedaan Muslim Moderat dan Ekstrimis


islamindonesia.id – Abdillah Toha: Perbedaan Muslim Moderat dan Ekstrimis

 

Seperti pesan KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri, Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian berharap kelompok moderat tampil menyeimbangi maraknya kelompok yang menganjurkan kebencian, intoleransi hingga terorisme.  Upaya penanggulangan terorisme misalnya, kata Tito, tidak akan berhasil jika hanya dilakukan melalui ranah penegakan hukum.

“Terorisme tidak bisa ditangkal hanya dengan menangkap dan menembak pelaku. Counter ideologi dilakukan dengan memoderasi narasi radikal mereka,” kata Tito dalam acara diskusi ‘Simposium Deradikalisasi’ di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (19/1).

[Baca juga – Kapolri Anyar Tito: Terorisme, Intoleransi, Fokus Utama Saya]

Namun, Tito menyayangkan penyebaran ideologi tandingan seperti Islam Moderat terkendala dengan adanya fenomena silent majority. Meski kelompok moderat jumlahnya banyak, tetapi mereka cenderung diam ketika menemukan paham radikalisme menyebar di masyarakat.

Fenomena ini sebelumnya telah diamini oleh Eks Rois Am PBNU Gus Mus. Jebolan Al Azhar Mesir ini menyerukan orang-orang moderat harus tampil.

“Jangan diam saja. Pers harus menampilkan tokoh berideologi moderat, jangan cuman memikirkan duit  dan rating. Media massa jangan pula menampilkan “aktor ustad”,” kata Gus Mus dalam wawancaranya bersama Tempo awal Januari lalu.

[Baca juga: WAWANCARA – Gus Mus: Fatwa Kok Dikawal, Dasarnya dari Kitab Apa?]

Menyinggung konsep yang disebut kelompok Islam moderat ini, pengamat sosial politik Abdillah Toha memberikan gambaran umum terkait perbedaannya dengan  kelompok ekstrimis. Di akun twitternya, salah satu pendiri Partai Amanat Nasional ini menjelaskan bahwa Muslim moderat ialah orang yang sibuk mengurus imannya sendiri.

“(Sedangkan) Muslim ekstrimis sibuk mengurusi iman atau keyakinan orang lain,” katanya.

Kedua, lanjut Abdillah, Muslim moderat bergantung dan mengembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan. Adapun Muslim ekstrimis, bergantung kepada kelompok, mazhab dan alirannya.

Ketiga, Muslim moderat berupaya agar dia dan orang lain masuk surga. Dan Muslim ekstrimis senantiasa berupaya memastikan orang lain masuk neraka.

IMG_20170123_185230

Selain Muslim moderat cenderung diam, menurut Gus Mus, sekarang ini juga banyaknya ustad dan ulama bikinan. Rakyat awam manthuk-manthuk (mengangguk-ngangguk) saja.

“Orang tidak pernah melihat rekam jejaknya, dia belajar agama dari kiai mana, dimana mondok-nya. Orang hanya melihat tampilan dan citranya,” katanya.

Bila ustad semacam itu yang diberi panggung, lanjut Gus Mus, pikiran orang akan diwarnai kata-katanya. Pers era sekarang seperti penyair di zaman jahiliyah, pembentuk opini.

“Dulu, Ahmad Shiddiq, Rais ‘Am Pengurus Besar NU 1984-1991, menyatakan wartawan  termasukzuama (pemimpin), karena mereka penentu opini,” kenang Gus Mus.

Kembali pada pandangan Jenderal Tito. Kapolri menuturkan, peran para ahli agama memang sangat diperlukan untuk membantu pemerintah, khususnya memberantas terorisme. Pasalnya, penyebaran paham radilkal kerap dilakukan oleh kelompok teroris melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multitafsir.

Tito mencontohkan konsep Islam Nusantara di kalangan Nahdlatul Ulama merupakan salah satu contoh pandangan dunia Islam yang moderat dan dinilai mampu menjadi “counter-ideology” bagi paham radikal, intoleransi maupun ekstrimisme.

“Jika dilakukan secara intensif, kata Tito, maka konsep Islam Nusantara mencegah upaya radikalisasi kelompok teroris,” kata Tito.[]

[Baca juga: Sebut Urgensi Counter-Ideology, Kapolri: “Sayangnya yang Moderat Cenderung Diam”]

YS/ islam indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *