Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 10 May 2016

ANALISIS—Disorientasi, Nasrudin & Saut versus HMI (Bagian Pertama)


IslamIndonesia.id–Disorientasi, Nasrudin & Saut versus HMI

Menanggapi fenomena kegaduhan yang makin berkembang di tengah masyarakat akhir-akhir ini, muncul dugaan bahwa bangsa kita sedang mengalami apa yang disebut sebagai disorientasi.

Maka tak heran dalam situasi dan kondisi semacam ini, banyak pihak menengarai bahwa kian menjadi kabur dan samar bagi sebagian besar dari kita, batas-batas antara mana yang penting dan prioritas dan mana yang tak perlu dan tak selayaknya menjadi pusat perhatian. Bahkan meski sekadar dijadikan bahan perbincangan dalam keseharian atau topik pemberitaan di berbagai media, baik media cetak, elektronik maupun media sosial.

Namun mengapa toh ini terjadi? Sebut saja salah satu yang terbaru, berbuntut panjangnya kasus “Statemen maut Saut” salah seorang petinggi KPK yang berbuah gugatan akibat kegerahan yang ditimbulkannya di tubuh HMI bahkan KAHMI. Padahal pada saat yang sama, begitu banyak kasus dan urusan lain tak kalah penting yang membutuhkan perhatian dan konsen serius, baik bagi KPK maupun HMI dan KAHMI, juga kita semua sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar ini.

Persis sebagaimana didefinisikan dalam KBBI, disorientasi adalah sebuah kondisi yang menggambarkan tentang adanya kekacauan kiblat; kesamaran arah; kehilangan daya untuk mengenal lingkungan, terutama yang berkenaan dengan waktu, tempat dan orang, tak terkecuali juga peristiwa yang melingkupinya. Maka tak dapat dipungkiri, itulah yang tampaknya tengah menimpa bangsa kita dua tahun belakangan ini, gara-gara terjangkit penyakit disorientasi.

Lalu, apa hubungan antara Nasrudin, Saut dan HMI dengan disorientasi yang sedang kita bahas kali ini?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mungkin ada baiknya kita kenali lebih dekat, siapakah sebenarnya sosok Nasrudin yang kita maksud disini.

Nasrudin, tak lain adalah Nasrudin Hoja. Tokoh kocak pada kisah sufistik yang selama ini telah dikenal di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berpenduduk Muslim. Hal paling menarik dari cerita-cerita Nasrudin adalah kelucuannya yang sarat dengan makna filosofis, sufistik; menggelitik nalar dan hati nurani.

***

Menurut catatan dari berbagai sumber, sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol ini merupakan seorang filosof yang bijak dan penuh dengan cita rasa humor. Konon, sewaktu masih muda, Nasrudin selalu membuat ulah menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Tak ayal gurunya yang bijak bernubuwat perihal nasib Nasrudin di masa depan,  “Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu.” Ramalan pun menjadi kenyataan, di Aksehir, Nasrudin menjadi Imam dan hakim. Karena rasa humor yang tinggi dan ulasan-ulasannya yang cemerlang, ia pun menjadi sangat tersohor dan terkemuka di kota itu.

Meski hingga kini masih ada yang meragukan sosoknya, apakah dia benar-benar pernah ada atau sekadar tokoh rekaan dan fiktif semata, namun kisah tentang Nasrudin Hoja konon awalnya ditemukan dalam beberapa manuskrip pada awal abad ke-15. Cerita pertama ditemukan dalam Ebu’l-Khayr-i Rumis Saltuk-name (1480). Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Nasrudin merupakan murid sufi dari Seyyid Mahmud Hayrani di Aksehir, barat laut Turki modern. Sementara pada abad ke-19, Mufti Sivrihisar, Huseyin Efendi, menulis dalam Mecmua-i Maarif bahwa Nasrudin lahir pada tahun 1208 di desa Hortu (sekarang disebut Nasreddin Hoca Koyu) bagian dari Sivrihisar dan meninggal 1284 di Aksehir, setelah hijrah ke sana. Menurut sumber ini, Nasrudin belajar di Sivrihisar dan madrasah Konya. Bahkan disebutkan bahwa dia belajar fikih sekaligus tasawuf langsung dari Mawlana Jala al-Din al-Rumi (1207-1273) di Konya saat itu.

Selanjutnya dikabarkan bahwa Nasrudin mengikuti Seyyeid Mahmud Hayrani, sebagai guru sufi keduanya, hijrah ke Aksehir dan menikah di sana.

Kisah-kisah Nasrudin Hoja dikenal di seluruh Timur Tengah yang tentu kemudian diwarnai dengan budaya di mana cerita itu berkembang. Meski begitu akrab sosoknya dengan masyarakat, satu karakter yang tetap melekat pada kisahnya ini adalah inti yang terkandung dari kisah lucu tersebut hanya dapat dipahami oleh orang-orang pada level intelektual tertentu saja. Kisah-kisah lucu namun kaya akan pesan moral, biasanya bahkan penuh dengan pesan-pesan spiritual yang mencerahkan, bahkan memuat perilaku dan jalan menuju maqam makrifatullah. Karena itulah, tak jarang kisah-kisah Nasrudin ini menjadi materi pengajian sufi.

Selain itu, kisah-kisah Nasrudin juga sarat dengan sindiran dan kritik yang cukup berani terhadap tirani dan kekuasaan serta ketimpangan sosial dan egoisme elit. Karena itulah, Nasrudin merupakan simbol keberanian, penentangan, sarkastis, ironis, dan komedi kritis di Timur Tengah.

Dan karena alasan itulah penulis sengaja memperkenalkannya kepada pembaca dalam tulisan ini, sebab Nasrudin dalam salah satu kisahnya, pernah juga menyebut perihal disorientasi yang menimpa kaum elit di eranya.

***

Hujan, Kuda dan Baju

Suatu ketika, Nasrudin diundang ikut serta berburu oleh para pemburu dari kalangan elit di kotanya, tetapi ia sengaja hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Secepat kilat semua kuda dipacu kembali ke rumah. Hanya kuda lamban Nasrudin yang tertinggal jauh di belakang. Tak mau basah kuyup, Nasrudin pun melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya kembali ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya sebelum dirinya bertemu para pemburu elit yang mengundangnya itu.

Seolah paham bahwa di hadapannya semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju para pemburu elit semuanya basah, padahal lari kuda mereka lebih cepat, Nasrudin pun berujar ringan, “Ini semua berkat kuda yang kau pinjamkan kepadaku.”

Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin pun dipinjami kuda yang cepat, sementara para pemburu elit menunggangi kuda yang lamban.

Tak lama kemudian hujan kembali turun lebih deras. Kuda lamban berjalan lambat, sehingga pemburu elit lebih basah kuyup lagi. Sementara Nasrudin, yang melakukan hal sama persis dengan hari sebelumnya, sampai di rumah pemburu elit kondisi bajunya tetap kering.

“Ini semua salahmu!” teriak si pemburu elit kepada Nasrudin, “Kenapa kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu?!” gugatnya.

“Bukan, ini semua bukan salah siapa-siapa,” tangkis Nasrudin. “Masalahnya sederhana saja. Ini murni hanya soal disorientasi. Karena kamu berorientasi pada kuda, sedangkan aku pada baju.”

***

Begitulah setidaknya Nasrudin telah mengajari kita dengan caranya yang khas, tentang apa itu disorientasi. Termasuk juga apa akibatnya bila kita terjangkit penyakit yang membahayakan itu.

Lalu bagaimana halnya dengan Saut versus HMI? Apakah keduanya senasib dengan para pemburu dari kaum elit yang disebut Nasrudin sedang ditimpa disorientasi? Atau jangan-jangan justru kita semua yang ikut ketiban disorientasi dalam memandang kasus Saut versus HMI ini?

(Bersambung…)

 

EH/IslamIndonesia

One response to “ANALISIS—Disorientasi, Nasrudin & Saut versus HMI (Bagian Pertama)”

  1. misbah says:

    menarik, tak sabar menunggu bagian dua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *