Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 05 May 2016

ANALISIS—Saatnya Memupuk Kecakapan Sosial (Catatan Atas Tiga Tragedi Hardiknas)


IslamIndonesia.id—Saatnya Memupuk Kecakapan Sosial (Catatan Atas Tiga Tragedi Hardiknas)

Di tengah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini, setidaknya ada tiga peristiwa mengenaskan yang patut dijadikan catatan. Pertama, ditemukannya jasad mahasiswi di toilet lantai 5 Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedua, apa yang menimpa Nuraini, Dosen Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FKIP UMSU) yang terpaksa meregang nyawa di ruang Dosen setelah ditikam mahasiswa di kampusnya sendiri. Dan yang ketiga adalah naas yang dialami Yuyun, bocah SMP di Rejang Lebong, Bengkulu yang menjadi korban aksi pemerkosaan dan pembunuhan oleh belasan remaja pemabuk di bawah umur.

Kabar terakhir menyebutkan, mahasiswi yang dinyatakan menghilang sejak 30 April lalu dan ditemukan tewas di kampusnya dengan kondisi bekas jeratan di leher itu teridentifikasi sebagai Feby Kurnia, mahasiswi Geofisika angkatan tahun 2015 asal Batam, Kepulauan Riau. Sedangkan pembunuh Nuraini diketahui bernama Roymando Sah Siregar, mahasiswa semester VI Jurusan PPKN FKIP UMSU. Sementara belasan remaja yang menganiaya dan membunuh Yuyun baru sebagian yang tertangkap dan hingga kini kasusnya masih ditangani pihak kepolisian setempat.

Kriminolog dan pihak kepolisian menduga, Feby tewas dibunuh. Pakar pendidikan menyebut nasib buruk yang dialami Nuraini, mantan Dekan FKIP UMSU itu, sebagiannya adalah akibat cekcok atau miskomunikasi yang terjadi antara dirinya dengan mahasiswanya terkait persoalan perkuliahan. Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui salah seorang Komisionernya menyatakan ikut prihatin dengan nasib Yuyun dan berharap Pemerintah memberi perhatian serius pada tragedi kemanusiaan yang memilukan dan memantik reaksi netizen dengan gerakan #NyalaUntukYuyun tersebut.

Sampai disini, ada satu pertanyaan serius yang patut dijawab: Apa yang mendorong para pelajar pelaku tindak kejahatan ini sehingga mereka tega menghabisi nyawa masing-masing korban?

Pada dasarnya kita setuju jika kriminolog dan aparat kepolisian menengarai bahwa motif di balik setiap kejahatan itu sangat beragam. Namun demikian, ada satu faktor dominan yang menurut hemat penulis layak diperhitungkan sebagai akar permasalahan. Yaitu, kondisi labil dan rendahnya tingkat kecerdasan emosional para pelaku berbagai tindak kejahatan tersebut.

Apa itu kecerdasan emosional? Secara sederhana, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali emosi dirinya untuk kemudian dapat mengelolanya dengan baik. Kecerdasan ini juga terkait kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengenali emosi atau empati orang lain, yang kesemuanya sangat dibutuhkan dalam upaya membina hubungan atau kerjasama dengan sesama.

Mengapa tiap diri kita mesti memandang penting kemampuan membina hubungan dengan orang lain? Tentu saja karena kita adalah makhluk sosial yang dalam kehidupan keseharian niscaya dituntut dapat menjalin komunikasi dan hubungan interpersonal dengan sesama kita di tengah masyarakat.

Daniel Goleman, tokoh psikolog kontemporer  asal Stockton California, saat mendefinikan kecerdasan emosional dalam karya monumentalnya Emotional Intelligence, menyebutkan bahwa di antara elemen kecerdasan tersebut adalah kemampuan seseorang dalam bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs  atau dorongan hati, kemampuan untuk tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, juga kemampuan mengatur  reactive needs, menjaga agar bebas stres, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip “berusaha sambil berdoa”, yang selama ini mungkin biasa kita kenal dengan slogan ora at labora.

Kecerdasan emosional inilah yang menurut Goleman merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia. Yaitu kecerdasan yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecakapan yang lebih ditujukan kepada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat memanfaatkannya dalam upaya memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Selain itu, kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali sekaligus mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri dan mengenali emosi orang lain agar tumbuh empati, yang kesemuanya dapat berujung pada kemampuan untuk membina hubungan harmonis atau kerjasama sinergis dengan orang lain.

Jika beragam kemampuan yang tercakup dalam kecerdasan emosional atau kecakapan sosial ini—yang dalam Islam mungkin dapat dianalogikan dengan akhlakul karimah, tidak dimiliki masing-masing diri kita selaku manusia di tengah manusia lain, maka tak mustahil berbagai tindak kejahatan sebagaimana yang akhir-akhir ini telah menimpa kita, bakal terjadi lagi dan terus berulang.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *