Satu Islam Untuk Semua

Monday, 11 March 2019

Wawancara – Tawfiq Ramadan al-Bouti: Jangan Biarkan Ekstremisme Membesar (2)


islamindonesia.id – Tawfiq Ramadan al-Bouti: Jangan Biarkan Ekstremisme Membesar (2)

 

Ayah Anda, M Said Ramadan al-Bouti, dibunuh saat perang (tahun 2013). Bagaimana sikap Anda?

Dia meninggal dalam syahid, spiritnya hidup. Dia menyerukan penghentian fitnah, pertumpahan darah, dan meletupkan senjata di antara militer dan milisi bersenjata. Diingatkan, negara tanpa pemerintah akan hancur. Pesan itu berpengaruh positif.

Dia ilmuwan dan ulama bereputasi internasional yang bisa berbicara dengan semua kelompok. Seruan perdamaian Al-Bouti dianggap mengganggu skenario perang sehingga dia dibunuh.

Beliau tidak hanya mempunyai peran dalam meredam konflik Suriah, tetapi juga memadamkan api konflik di Aljazair. Karena itu, beliau merupakan ancaman nyata atas kesuksesan skenario musuh. Al-Bouti sangat disegani, bahkan menjadi rujukan utama dalam dunia Islam, karena memiliki ilmu yang dalam dan luas.

Al-Bouti menempatkan dialog untuk menjembatani beliau dengan orang-orang yang tidak sependapat dari berbagai kalangan. Kata Al-Bouti, dengarkan apa yang akan aku katakan dan aku akan mendengarkan apa yang akan kamu katakan.

Ini jelas-jelas sangat berbahaya menurut kacamata penulis skenario konflik. Mereka tidak ingin terjadi dialog yang mengedepankan akal sehat. Akal sehat tidak punya tempat dalam konflik Suriah saat itu.

 

Menyuarakan hal serupa, apakah Anda juga terancam?

Ya, mereka juga mengincar saya, tapi kandas.

 

Sumber: Harian Kompas

Sumber: Harian Kompas

 

Bagaimana kondisi Suriah sekarang?

Suriah membaik. Masih ada kelompok-kelompok musuh dengan persenjataan di Idlib (Suriah barat laut). Tapi, kekuatan mereka akan berakhir. Banyak tantangan, tapi stabilitas keamanan membaik. Para mahasiswa belajar lebih tenang, masyarakat mulai kembali hidup normal.

Kami menyadari, ekstremisme tidak memberikan manfaat apa-apa, kecuali kehancuran. Kami membangun kembali negeri kami, rumah-rumah yang hancur, dan sumber daya manusia.

 

Pelajaran dari perang

Tawfiq menyaksikan perang mereproduksi kekerasan yang merusak. Aleppo (salah satu kota di Suriah), misalnya, dibombardir oleh kebrutalan para teroris. Semua hal di kota itu dihancurkan, seperti masjid, pasar, bahkan Benteng Aleppo yang bersejarah. Penduduk melarikan diri.

 

Belajar dari perang di Suriah, apa pesan Anda untuk bangsa Indonesia agar bisa mencegah konflik serupa?

Pertama, jangan biarkan paham ekstremisme merasuki kaum muda. Kelompok ekstremis berusaha menularkan gagasannya kepada masyarakat. Kita mesti mengembangkan ajaran Islam yang benar dan sesuai pesan Allah, umat Islam yang moderat. Gunakan dialog, bertukar argumentasi. Jangan ambil jalan kekerasan.

Kedua, jangan berlebih-lebihan dalam beragama. Ketiga, jika kita mempelajari keilmuan Islam secara benar, tidak mungkin terjadi perpecahan. Jadi, masyarakat disadarkan akan pemahaman yang benar, persatuan, keadilan, dan menjauhi ekstremisme dan berlebihan dalam beragama.

 

Apa tanda paham ekstremisme itu?

Mereka menginginkan kelompok di luar Islam dibunuh. Padahal, di Madinah, Nabi Muhammad melindungi semua kelompok, termasuk non-Muslim. Jika kelompok mereka tidak memerangi kita, boleh berhubungan baik dengannya. Perang untuk membela diri dari kelompok penyerang.

Nabi tidak memaksa orang masuk Islam. Penerimaan agama itu terkait akal dan hati. Paksaan hanya menciptakan bom waktu.

Bangun masyarakat melalui pendidikan. Orangtua, guru, dan ulama punya tanggung jawab untuk mendakwahkan Islam dengan kebajikan, pesan santun, dan bertukar argumentasi dengan baik.

 

Moderasi Islam di Indonesia

Hubungan antara Indonesia dan Suriah sudah lama terjalin. Banyak mahasiswa Indonesia menimba ilmu di negeri itu. Kehadiran mereka disambut hangat. Banyak alumnus Damascus University (yang sebagian menjadi murid Tawfiq) di Indonesia. Beberapa di antaranya turut mendampingi saat wawancara.

 

Bagaimana Anda melihat kondisi Islam di Indonesia?

Indonesia adalah negara Muslim dan identitas keislamannya yang terang. Ada beberapa masalah, tetapi Indonesia bisa menjadi model negara yang berkembang menuju kemajuan. Terlihat pembangunan nyata. Islam di sini fitri dan mengalir dalam darah penduduk.

Penduduk Indonesia memeluk Islam secara sukarela tanpa penaklukan militer. Indonesia pernah dijajah Belanda dan Jepang, tetapi masyarakat tetap memegang Islam seakan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari bangsa ini.

 

Anda melihat moderatisme Islam tumbuh di sini?

Keagamaan masyarakat Indonesia berkarakter damai dan moderat. Radikalisme dan ekstremisme bukan watak asli bangsa ini, melainkan datang dari luar dan bukan ajaran yang dipelajari.

Islam di sini dibangun di atas ilmu pengetahuan. Buktinya banyak sekolah dan pesantren mengajarkan Islam dengan baik. Ilmu membentengi bangsa ini dari radikalisme, sikap berlebihan dalam beragama, dan menjaga bangsa ini agar tidak lepas kontrol dari agama.

Sekarang kita sedang menghadapi perang budaya lewat televisi, internet, dan media sosial yang rentan memberikan efek negatif. Namun, identitas Islam di masyarakat tetap dominan. Kemajuan peradaban dan praktik keagamaan berjalan beriringan. Ini jelas preseden baik dan saya yakin tidak ada tempat untuk radikalisme di Indonesia.

Selesai.

Baca juga Bagian 1.

 

PH/IslamIndonesia/Sumber: Harian Kompas (9/3)/Ilham Khoiri & Mohammad Bakir/Photo Fitur: Wawan H Prabowo

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *