Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 24 March 2016

KISAH – Taubat Malik bin Dinar


Kehidupanku bermula sebagai seorang yang terbuang, suka bermabuk-mabukan dan penuh maksiat. Aku suka menzalimi manusia, makan hak-hak mereka, makan riba, membahayakan orang lain, dan segala kejahatan lainnya aku lakukan. Aku melakukan semua bentuk pembangkangan terhadap Tuhan. Aku benar-benar keji. Semua orang menjauhiku.

Suatu hari, aku berhasrat ingin menikah dan mempunyai keturunan. Aku pun menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan. Aku beri nama Fathimah. Aku begitu mencintainya.

Fathimah semakin besar. Imanku semakin bertambah dan maksiatku semakin berkurang. Boleh jadi lantaran Fathimah pernah melihatku memegang gelas berisi minuman keras. Dia mendekatiku dan aku segera membuang gelas itu. Saat itu dia belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah menyuruh Fathimah melakukannya.

Semakin dia tumbuh dewasa, semakin bertambah kuat imanku dan aku merasa dekat dengan Allah. Aku semakin menjauhi maksiat hingga Fathimah berusia tiga tahun. Namun, suatu hari, ajal menjemput putriku tercinta.

Aku jadi linglung dan kembali ke masa yang lebih buruk dari yang aku alami. Saat itu, aku belum memiliki kesabaran yang dapat menguatkanku menghadapi bencana. Setan menggodaku dan mempermainkanku.

Suatu hari setan mendatangiku seraya berkata, “Hari ini niscaya engkau akan mabuk seperti dulu lagi.” Maka aku pun langsung bertekad mabuk dan menenggak minuman keras lagi sebanyak-banyaknya. Aku mulai minum sepanjang malam hingga aku tertidur.

Aku bermimpi memasuki Hari Kiamat. Langit menjadi gelap. Lautan menjadi neraka. Bumi berguncang dahsyat. Manusia berkumpul di hari itu berkelompok-kelompok.

Aku di tengah manusia lainnya mendengar seruan, “Wahai fulan bin fulan, segeralah menghadap kepada Allah yang Mahakuasa.” Orang itu bersembunyi di sekitarku. Seolah tiada seorang pun di padang Mahsyar.

Kemudian aku melihat seekor ular raksasa menuju ke arahku dan membuka mulutnya. Aku berlari ketakutan. Lalu aku bertemu seorang pria tua yang lemah dan aku berkata kepadanya, “Selamatkan aku dari ular itu.”

Kakek tua itu menjawab, “Betapa lemahnya diriku. Aku tidak sanggup menolongmu. Berlarilah ke arah sini! Semoga engkau selamat.”

Aku semakin cepat berlari ke arah yang ditunjuknya. Ular itu berada tepat di belakangku dan neraka di hadapanku. Aku bergumam, “Lari dari ular ataukah terperosok ke dalam neraka?”

Aku berlari sangat cepat dan kembali ke arah sebelumnya. Aku bertemu lagi dengan sang kakek yang lemah tadi. Aku berkata kepadanya, “Demi Allah, selamatkanlah aku!”

Dia pun menangis iba atas keadaanku seraya berkata, “Aku hanyalah seorang yang lemah. Lihatlah aku tidak mampu melakukan apa pun. Berlarilah ke arah gunung itu! Semoga engkau selamat.”

Maka aku berlari ke arah gunung. Ular mengerikan itu hampir menerkamku. Aku melihat di atas gunung ada beberapa anak kecil. Mereka berteriak, “Wahai Fathimah, tolonglah ayahmu.. tolonglah ayahmu..”

Aku sadar bahwa itu adalah putriku. Aku senang bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal dunia saat berusia tiga tahun. Dialah yang akan menyelamatkanku dari situasi itu.

Kemudian Fathimah meraihku dengan tangan kanannya dan menghalau ular dengan tangan kirinya. Aku ketakutan setengah mati.

Kemudian aku duduk di kamarku seperti di dunia. Fathimah berkata kepadaku, “Wahai ayahku, belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah?” (QS. 57:16)

“Wahai anakku, jelaskanlah kepadaku tentang hakikat ular itu!”

Fathimah berkata, “Itulah amal-amal burukmu. Engkau yang membesarkan dan memanjakannya sehingga hampir saja ia memakanmu. Tidakkah engkau tahu wahai ayahku, bahwa amal-amal di dunia akan bertubuh pada hari kiamat?”

“Bagaimana dengan orang tua yang lemah tadi?” Tanyaku.

“Itulah amal shaleh. Engkau melemahkannya sehingga ia menangis melihat keadaanmu. Ia tidak berdaya atas keadaanmu. Andaikan engkau bukan ayah yang membesarkanku dan aku tidak meninggal di waktu kecil, tidak ada lagi yang dapat berguna bagimu.”

Aku pun terbangun dari tidurku. Aku berkata, “Telah tiba saatnya Ya Rabb, telah tiba saatnya Ya Rabb. Benar, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah?” (QS. 57:16)

Kemudian aku mandi dan keluar untuk shalat subuh. Aku ingin bertaubat dan kembali kepada Allah. Aku masuk masjid dan mendengar sang Imam membaca ayat yang sama, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah?” (QS. 57:16)

Itulah Malik bin Dinar, sang pemimpin tabi’in. Dialah yang terkenal dengan tangisnya sepanjang malam sambil bermunajat:

إلهي أنت وحدك الذي يعلم ساكن الجنة من ساكن النار، فأي الرجلين أنا

اللهم اجعلني من سكان الجنة ولا تجعلني من سكان النار

“Tuhanku, hanyalah Engkau yang mengetahui antara penghuni surga dan neraka. Maka yang manakah aku? Ya Allah, jadikanlah aku penghuni surga dan jangan jadikan aku penghuni neraka.”

Malik bin Dinar pun bertaubat. Dia juga tersohor lantaran setiap kali di pintu masjid dia berseru,

..أيها العبد العاصي عد إلى مولاك

..أيها العبد الغافل عد إلى مولاك

..أيها العبد الهارب عد إلى مولاك

مولاك يناديك بالليل والنهار يقول لك
من تقرب مني شبراً تقربت إليه ذراعاً، ومن تقرب إلي ذراعا تقربت إليه باعاً، من أتاني يمشي أتيته هرولة

Wahai hamba ahli maksiat, kembalilah kepada Tuhan-mu!
Wahai hamba yang lalai, kembalilah kepada Tuhan-mu!
Wahai hamba yang menjauh, kembalilah kepada Tuhan-mu!

Tuhan-mu menyerumu siang dan malam, “Siapa yang mendekat kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku mendekat kepadanya satu hasta. Siapa yang mendekat kepada-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekat kepadanya dua hasta. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, niscaya Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”[]

Tom/Islam Indonesia

One response to “KISAH – Taubat Malik bin Dinar”

  1. Nuriyati says:

    MaaSyaaAllah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *