Satu Islam Untuk Semua

Friday, 10 June 2016

HIKMAH—Begini Cara Muhammad Ali Memandang Manusia


Islamindonesia.id—Begini Cara Muhammad Ali Memandang Manusia

 

Dunia kehilangan seorang tokoh fenomenal. Jumat (4/6/2016) malam waktu setempat, Muhammad Ali berpulang dalam usia 74 tahun. Berita duka itu disampaikan Bob Gunnell, yang merupakan juru bicara keluarga Ali.

Tak lama kabar duka itu beredar, kesaksian warga Louisville dalam mengenang sosok petinju legendaris yang baru saja wafat itu, ternyata sungguh beragam. Meski demikian, ada satu hal yang mereka sepakati soal Ali, yakni konsen sungguh-sungguh, perhatian serius, dan penghormatannya yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan karena itulah Ali lebih dikenang dan dikagumi sebagai manusia berhati lembut dan dermawan, bukan hanya sekadar karena statusnya sebagai petinju yang juga seorang Muslim.

Warga Louisville mengenang Ali dengan penghormatan dan kekaguman luar biasa. Tak heran, meski dalam karier bertinjunya Ali pernah sekali dua kali kalah dan tak selamanya kemenangan yang diraihnya adalah dengan KO atau TKO, tapi tetap saja warga tempat kelahiran Ali menyatakan bahwa Ali adalah manusia yang selalu menang dan tak pernah kalah. Bahkan seluruh kemenangannya adalah kemenangan KO kalau bukan TKO.

Ali, begitu dikenang di antaranya karena penentangannya terhadap kebijakan pemerintah AS terkait perang Vietnam. Juga penolakannya atas tugas wajib militer pada tahun 1967, hingga gelar juara dunia yang diraihnya pada tahun 1964, dicopot pemerintah akibat penentangan dan penolakannya itu.

Selain itu, warga dunia pun masih mengingat bagaimana sikap penghormatan Ali terhadap nama “Muhammad” yang menurutnya tak boleh dilecehkan. Maka dia pun tak mengizinkan namanya yang memuat lafal “Muhammad” sebagai Nabi Islam, diletakkan di trotoar The Hollywood Walk of Fame, seperti nama-nama 2.400-an tokoh dan pesohor lain yang dianugerahi gelar atau bintang kehormatan serupa, sebagai apresiasi atau bentuk penghargaan atas karya-karya mereka di industri hiburan. Meski Muhammad Ali olahragawan dan bukan aktor, tapi dia dianggap pantas menerimanya karena menampilkan pertandingan tinju atau live performance yang sangat menghibur. Sehingga apa yang ditampilkannya di atas ring dinilai bukan sekadar pertandingan olahraga biasa namun juga ibarat sebuah entertainment show.

“Saya meminta nama Nabi Muhammad dihormati dan tidak mungkin saya mengizinkan orang-orang untuk menginjak-injak namanya.”

Begitu permintaan tegas Ali kala itu, yang dikabulkan oleh pihak Hollywood. Itu sebabnya hingga kini keramik bintang milik Muhammad Ali diletakkan di dinding dan dialah satu-satunya penerima bintang kehormatan yang mendapatkan keistimewaan tersebut.

Kesaksian lain menyebutkan, betapa lembut hati Ali di balik sikap luarnya yang selama hidupnya di dunia tinju terlanjur dikenal arogan dan bermulut besar. Hal itu terbukti, dari perhatiannya pada nasib sesamanya yang kekurangan, tanpa memandang apapun agama dan latar belakang mereka.

Itulah yang membuat orang makin paham bahwa apa yang ditunjukkan Ali di atas ring dan di dunia tinju, tak lebih hanya semata karena posisinya sebagai seorang olahragawan yang sekaligus juga berprofesi sebagai seorang entertainer. Figur publik yang ingin memberikan sajian hiburan terbaik bagi para penggemarnya di seluruh dunia. Sebaliknya dalam dirinya secara personal, Ali sadar bahwa hanya Tuhannya lah yang Maha Besar, dan karena itulah dengan tegas sering Ali nyatakan, “Allah is The Greatest” di dalam banyak kesempatan.

Kaum ibu di Louisville, rata-rata senang karena hampir semua anak mereka mendapatkan kesempatan yang mudah untuk memiliki koleksi foto pribadi untuk disimpan sebagai koleksi kebanggaan yang sangat berharga, yakni foto berdua bersama Ali.

Para ayah di kota kelahiran Ali pun bangga, karena meski kondisi Ali kian lemah dan tak bisa banyak bergerak, namun tetap saja di depan anak-anak Ali selalu berusaha menampakkan gestur bersemangatnya, salah satunya dengan sekuat tenaga mencoba terus menggerak-gerakkan kedua tangannya ibarat sedang bertinju.

Sebagai Muslim, Ali dikenang begitu perhatian kepada non-Muslim di negaranya. Dia sama sekali tak pernah mempermasalahkan agama dan keyakinan orang lain. Ali hanya melihat mereka, murni sebagai sesama manusia, yang dalam pandangan Tuhan, sama seperti dirinya.

Entah Muhammad Ali sadar atau tidak, tapi kaidah hubungan antar manusia; bagaimana seharusnya manusia memandang manusia lain sebagaimana telah dipraktikkannya, memang pernah disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada Gubernurnya di Mesir  yang bernama Malik Al-Ashtar.

“Manusia itu hanya dua macam; satu adalah saudaramu seagama dan yang lain adalah saudaramu sesama manusia.”

Begitu kata Imam Ali kepada Malik dalam suratnya pada tahun 656 M itu. Menilik sikap dan penghormatan Muhammad Ali yang demikian besar kepada sesamanya, tak mustahil dia memang pernah membaca atau mendengar apa yang disampaikan Sayyidina Ali dalam suratnya itu.

Mungkin pemahaman itu pula yang mendorong Ali suatu ketika, setelah memberikan cek dalam jumlah besar kepada seorang pendeta, dia berkata dan berpesan kepadanya. “Bapak Pendeta, jangan satu hari, jangan dua hari, tapi berilah makan mereka, kaum fakir miskin, setiap hari.” 

Seperti itulah cara Ali memperlakukan sesamanya. Maka wajar saja jika si pendeta merasa sangat kehilangan atas kepergian Ali, yang sudah dianggapnya lebih dari sekadar saudaranya dalam kemanusiaan dan sebagai sesama makhluk Tuhan.

Cerita serupa, pernah pula terjadi di Indonesia. Tepatnya saat Ali berkunjung ke Jakarta dalam misi kemanusiaan bersama lembaga Global Village Champions Foundation di tahun 1990-an. Saat itulah Ali mentraktir makan 100 orang di sebuah restoran cepat saji tempat dia dan kawan-kawannya kedapatan memesan sarapan.

Dan masih banyak cerita lain yang mengungkapkan sisi kedermawanan Ali di tengah bangsa-bangsa di dunia. Membuat namanya sangat dikenal di perkampungan kumuh di Asia Tenggara, dan di desa-desa Afrika, sebagaimana ia dikenal oleh para penonton yang bergemuruh di Madison Square Garden.

Mungkin itu pula sebabnya kenapa nama besar Ali digunakan oleh yayasan World Village untuk menggalang dana pengentasan kelaparan di seluruh dunia. Sehingga melalui yayasan tersebut Ali mampu membagi-bagikan 550 juta porsi makanan, terutama untuk mereka yang kelaparan.

Ternyata, memahami sosok Ali lebih jauh, tak semata menambah kekaguman, kebanggaan dan penghormatan, tapi sekaligus juga pelajaran berharga bahwa pada akhirnya setiap manusia mesti kuat untuk menjadi dirinya sendiri dan berani menempuh jalan berbeda dengan manusia lain sebagai sebuah keniscayaan di tengah keragaman.

Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Ali sendiri kepada warga Amerika.

“Saya adalah Muslim dan saya adalah Amerika,” dia pernah berkata. “Saya adalah bagian yang mungkin saja tidak ingin Anda kenali. Tapi terbiasalah dengan saya –hitam, percaya diri, sombong; terbiasalah dengan nama saya, bukan namamu, agama saya, bukan agamamu, tujuan saya, kepunyaan saya sendiri. Terbiasalah dengan saya.”

Begitulah Ali tanpa tedeng aling-aling, sanggup berbicara apa adanya, tentang dirinya. Tanpa ragu apakah orang lain akan mengagumi bahkan memusuhinya.

Toh pada akhirnya fakta berbicara, bahwa Ali lebih banyak pengagum ketimbang musuh. Tak lain karena dunia melihat sosok ini sebagai manusia yang benar-benar bersungguh-sungguh dalam upayanya yang berkesinambungan memanusiakan manusia, hingga akhir hayatnya .

Semoga kita semua juga bisa mengikuti jejak keluhuran budinya dan menjadikan Ali sebagai salah satu figur teladan kehidupan kita.

 

EH/IslamIndonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *