Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 29 September 2022

Muslimah Penguasa di Nusantara (Bagian – 2)


islamindonesia.id – Muslimah Penguasa di Nusantara (Bagian – 2)

Amirell tampaknya cenderung lebih memandang diadopsinya perempuan ke atas takhta karena ketiadaan pewaris laki-laki yang sah. Suksesi kekuasaan kepada perempuan berguna sebagai cara untuk menjaga stabilitas dinasti dan menghindari pertikaian internal serta perang saudara.

Di Aceh, misalnya, pelembagaan kekuasaan perempuan berawal dari naiknya Taj al-Alam ke takhta pada 1641. Menurut sebuah sumber kontemporer, Taj al-Alam pada awalnya hanya dinyatakan sebagai regent daripada sultanah atau penguasa atas namanya sendiri. Keadaan ini menunjukkan bahwa kekuasaannya pada awalnya hanya dianggap sebagai solusi sementara.

Kenaikannya ke pucuk kekuasaan mengikuti nasihat dalam Kitab Tajus as-Salatin yang mengatakan bahwa perempuan pada prinsipnya tidak layak untuk memerintah karena kecenderungan mereka untuk membuat keputusan berdasarkan emosi daripada pertimbangan rasional. Namun, menurut Kitab itu, dalam keadaan luar biasa, perempuan dapat diizinkan naik takhta ketika tidak ada ahli waris pria yang tersedia untuk mencegah kekacauan internal.

Lalu, ada anggapan bahwa alasan pengadopsian itu meniru model di Eropa. Namun, orientalis Belanda Pieter Johannes Veth dalam kaitan dengan Aceh pada 1870 mengatakan adalah salah untuk menganggap bahwa kekuasaan perempuan adalah sesuatu yang baru atau sebelumnya tidak pernah terdengar di Asia Tenggara pada Abad ke-17. Pada kenyataannya, praktik itu relatif umum dan mapan di seluruh dunia Melayu jauh sebelum kedatangan orang Eropa ke Samudra Hindia.

Nah, Amirell kemudian berpandangan bahwa penentu utama yang umum bagi relatif banyaknya jumlah ratu di wilayah Samudra Hindia adalah orientasi matrifokal dari sebagian besar masyarakatnya. Dengan meminjam definisi antropolog Nancy Tanner, Amirell menjelaskan matrifokal sebagai sistem kekerabatan dimana ibu secara struktur dan budaya begitu sentral dan dimana sentralitas multidimensi ini adalah absah. Dalam masyarakat seperti itu, hubungan di antara jenis kelamin relatif egaliter: baik perempuan maupun laki-laki adalah aktor penting dalam bidang ekonomi serta ritual.

Pada sebagian besar masyarakat di Asia Tenggara, kekerabatan dilacak secara matrilineal dan bilateral. Jejak sistem kekerabatan ini masih terlihat di beberapa bagian wilayah bahkan hingga hari ini.

Meskipun ada variasi budaya di antara banyak kelompok etnis dan masyarakat, perempuan pada umumnya menikmati status yang relatif tinggi di sebagian besar masyarakat dimana perempuan penguasa ditemukan.

Barbara Watson Andaya dalam investigasinya yang komprehensif dan kritis terhadap perempuan di Asia Tenggara pada awal abad modern sampai pada klaim bahwa perempuan di Asia Tenggara pada umumnya tidak lebih rendah daripada laki-laki. Ini sangat berbeda dengan kondisi di kawasan tetangganya, termasuk Asia timur dan selatan. Menurut Andaya, kesetaraan gender yang relatif ini didasarkan pada pola kekerabatan, perkawinan, serta peran ekonomi perempuan.

Ini terutama bisa dilihat pada masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Perempuan tampaknya telah menikmati status yang sangat tinggi di sini, dimana sebagian besar perempuan diidentifikasi memerintah di wilayah ini selama periode 1300-1900.

Peran gender di antara orang Bugis pada umumnya tidak didefinisikan secara kaku. Tidak ada jenis kelamin yang terlihat dominan secara instrinsik atas yang lain. Penguasa dipilih di antara anggota keluarga bangsawan yang dilacak secara bilateral, baik anggota pria maupun perempuan yang memenuhi syarat.

Filiasi (hubungan darah dengan orang tua) di pihak perempuan seringkali bahkan lebih disukai karena perempuan berbeda dengan laki-laki. Mereka dilarang menikah dengan orang yang derajatnya berada di bawah mereka, sehingga anak-anak mereka akan memiliki peringkat yang sama atau lebih tinggi daripada ibu mereka.

Namun, menurut Amirell, kekuasaan perempuan di Bugis bukanlah masalah yang sederhana, atau sekadar mengikuti adagium “keturunan mengalahkan gender”. Takhta di Bugis tidak diwariskan menurut aturan tetap “orang tua ke anak” tapi dipilih dari mereka yang berdarah bangsawan atas dasar karakter dan kemampuan.

Banyak perempuan yang berkuasa di kerajaan Bugis digambarkan berkemauan keras dan cakap. Ini cerminan bagi aspek meritokrasi dari tatanan suksesi ini meskipun dibatasi oleh sistem keturunan. Ini memberi kemungkinan bagi individu yang mampu dan ambisius, baik pria maupun wanita, untuk mencapai jabatan politik tertinggi tersebut.

Dari sini, Amirell melihat bahwa, khususnya dalam masyarakat Bugis, kedatangan Islam tidak berpengaruh—setidaknya dalam waktu singkat—terhadap pola hubungan gender dan kekerabatan.

Bagi Amirell, Islam di sini juga seringkali dideskripsikan bertentangan dengan gagasan kepemimpinan perempuan. Pandangan negatif tentang perempuan dalam politik di Timur Tengah seringkali dijustifikasi merujuk kepada Islam meskipun subordinasi perempuan dalam ruang publik di Timur Tengah sebenarnya juga memiliki akar-akar pra-Islam.

Islam bias Timur Tengah itu tidak berlaku di wilayah Samudra Hindia, dimana sekitar setengah dari 277 ratu yang diidentifikasi adalah para muslimah yang berkuasa atas populasi mayoritas muslim. Sebelum kedatangan Islam, terdapat sejumlah perempuan penguasa, termasuk dua ratu Hindu di Jawa kuno pada Abad ke-7 dan ke-10. Lalu ada enam perempuan penguasa di Bali pada Abad ke-10 dan ke-11. Dua ratu berkuasa pada Abad ke-14 di Majapahit dan sekitar 35 ratu Bugis di Sulawesi Selatan sebelum awal Abad ke-17, yakni sebelum konversi Bugis kepada Islam.

Namun kemudian, pengaruh Islam bias Timur Tengah itu berdampak kepada kekuasaan perempuan di Aceh. Meskipun ada upaya oleh empat sultanah yang paling lama berkuasa dan paling sukses untuk mempromosikan Islam dan memproyeksikan citra diri mereka sebagai muslimah berkuasa yang saleh, Ratu Aceh terakhir, Kamalat Syah, akhirnya turun takhta setelah lawan-lawan prianya, baik dari kalangan bangsawan maupun ulama, mampu mendapatkan fatwa dari Timur Tengah yang menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan bertentangan dengan Islam. Kondisi tersebut tidak terjadi di Bugis. Sejumlah perempuan bangsawan Bugis justru secara resmi mengambil alih kekuasaan di sejumlah negara di wilayah itu setelah pertengahan Abad ke-18.

Sebelumnya:

AL/Islam Indonesia/ Featured image:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *