Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 14 September 2022

Pentingnya Beragama Lebih Rileks dan Terbuka


islamindonesia.id – Selama setidaknya lima tahun terakhir kita dihadapkan pada hiruk-pikuk kehidupan beragama yang jauh dari nyaman: radikalisme, ujaran kebencian, fitnah, berita-berita dusta, hingga eskalasi fundamentalisme dan euforia penegakan agama.

Terutama ketika hal itu dimanfaatkan sebagai komoditas politik menjelang Pemilu dan Pilkada, isu agama semakin jelas didistorsi dan dimanipulasi, sehingga hiruk-pikuk itu menjadi semakin liar, nekad dan menakutkan.

Tak heran bila mereka yang masih berakal sehat lantas khawatir bahwa kehidupan beragama yang semacam itu akan merusak kehidupan berbangsa yang telah lama diperjuangkan bersama, sekaligus juga merusak martabat agama itu sendiri.

Karena itu, kita membutuhkan visi tentang kehidupan beragama yang lebih luas, lebih terbuka, tapi juga lebih mendalam dan lebih rileks.

Baca: Gus Baha: Sampaikan Islam dengan Santuy

Lalu, bagaimana cara yang mesti ditempuh agar umat beragama, khususnya kaum Muslim di Tanah Air dapat menjalankan agamanya dengan lebih rileks dan santai?

Seperti kita ketahui, Islam memiliki karakteristik rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sifat itulah yang ditiru para alim ulama, termasuk mereka yang berdakwah di Nusantara sejak awal masuknya Islam di negeri kita.

Para mubaligh tersebut menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat dengan cara-cara yang santun. Keyakinan tauhid coba diresapkan ke dalam kesadaran kolektif melalui budaya dan tradisi. Begitu pula beragam ajaran syariat yang dipahamkan kepada masyarakat dengan cara-cara damai tanpa memaksa, dan menjadikannya seolah bukan sesuatu yang baru dan memberatkan bagi mereka.

Itulah di antara sikap moderat para alim ulama di masa lalu, yang pada era kita sekarang lazim kita kenal dengan istilah moderasi beragama.

Nah, di tengah menguatnya ekstremitas sebagian kelompok penganut agama yang dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengganggu kohesi sosial antarwarga, maka upaya penguatan moderasi beragama di Indonesia saat ini penting dilakukan didasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama.  Apalagi Indonesia juga merupakan negara yang agamis, walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu.

Hal ini bisa dirasakan dan dilihat sendiri dengan fakta bahwa hampir tidak ada aktivitas keseharian kehidupan bangsa Indonesia yang lepas dari nilai-nilai agama. Keberadaan agama sangat vital di Indonesia sehingga tidak bisa lepas juga dari kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Selain itu moderasi beragama juga penting untuk digaungkan dalam konteks global, yang agama menjadi bagian penting dalam perwujudan peradaban dunia yang bermartabat.

Selanjutnya, bagaimana cara kita memahami ajaran agama itu yang kemudian akan terwujud pada perilaku dalam kehidupan?


Di sinilah diperlukan moderasi beragama sebagai upaya untuk senantiasa menjaga agar seberagam apa pun tafsir dan pemahaman terhadap agama, sikap setiap pemeluk agama dapat tetap terjaga sesuai koridor sehingga tidak memunculkan cara beragama yang ekstrem dan membahayakan pihak lain.

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap moderasi beragama, mungkin perlu diketahui bahwa moderasi beragama bukanlah ideologi. Moderasi agama adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Moderat di sini dalam arti tidak berlebih-lebihan atau ekstrem.  Jadi yang dimoderasi di sini adalah cara beragama, bukan agama itu sendiri. 

Agama sendiri merupakan sesuatu yang sudah sempurna karena datangnya dari Tuhan yang Maha Sempurna. Namun cara setiap orang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, wajar saja apabila memiliki perbedaan. Hal ini karena keterbatasan manusia dalam menafsirkan pesan-pesan agama sehingga muncul keragaman.

Jika pemahaman dan penafsiran yang muncul tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tentu akan terjebak pada pemahaman yang berimplikasi pada tindakan yang berlebih-lebihan. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai cara beragama yang ekstrem. 

Kita paham bahwa sumber utama agama adalah teks yang terwujud dalam bentuk kitab suci dan orang-orang suci yang mendapat risalah untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam memahami ini, bisa saja seseorang terjebak pada pemahaman dua kutub ekstrem yang pada dasarnya sama-sama berlebih-lebihan.

Satu kutub terlalu tertumpu pada teks itu sendiri tanpa melihat konteks dari teks tersebut yang memunculkan sikap konservatif maupun ultra konservatif. Sementara kutub lainnya terlalu bertumpu pada akal dan nalar sehingga dalam memahami teks selalu mengandalkan konteks dan mengakibatkan keluar dari teks itu sendiri. Kutub kedua inilah yang memunculkan pemahaman liberal dan ultra liberal.

Dua kutub yang berlebih-lebihan ini sama-sama mengancam kehidupan beragama dalam mewujudkan peradaban dunia. Dua kutub ekstrem ini akan terus berjalan dinamis sehingga moderasi beragama juga harus dinamis dengan terus memposisikan diri di tengah-tengahnya.

Ada dua hal yang menjadi prinsip dan ciri moderasi beragama yang pada hakikatnya merupakan ajaran agama itu sendiri. Pertama adalah adil, yakni harus melihat secara adil dua kutub yang ada dan kedua adalah berimbang dalam melihat persoalan yang ada. Artinya memahami teks harus sesuai dengan konteks, memahami konteks harus sesuai dengan teks.

Kemudian apa yang menjadi parameter dan tolok ukur dari moderasi beragama sehingga bisa merangkul pemahaman ekstrem kembali ke posisi moderat dengan tidak menyingkirkan, menyalahkan, ataupun mengkafir-kafirkannya?  Jawabannya adalah kemanusiaan yang memang menjadi inti dari beragama itu sendiri.

Jadi, jika ada orang yang memahami ajaran agama dan mengatasnamakan agama namun merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, apalagi menghilangkannya, maka ini sudah dipastikan berlebih-lebihan. 

Dalam konteks Indonesia, komitmen kebangsaan harus ditegaskan kembali karena bagaimanapun juga keutuhan bangsa yang menjadi tempat umat beragama mengartikulasikan agama, harus senantiasa terjaga keamanan dan kedamaiannya. Siapa pun, tidak boleh atas nama agama, merusak sendi-sendi kehidupan dan kedamaian berbangsa. Sebab kedamaian dalam sebuah bangsa menjadi syarat dalam kenyamanan mengimplementasikan nilai-nilai agama.

Selain itu penting juga mengakomodasi ragam budaya lokal bangsa yang memiliki keragaman khazanah dalam memahami agama. Itulah sebabnya mengapa setiap pemeluk agama mestu senantiasa melihat budaya yang ada. Jika pun secara prinsip ada budaya yang bertentangan dengan inti pokok ajaran agama, maka harus melakukan pendekatan persuasif. Karena agama tidak bisa dibawakan dan diamalkan dengan cara-cara ekstrem dan bernuansa kekerasan.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *