Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 23 April 2016

OPINI—Benarkah Kartini “Syarifah” Keturunan Nabi?


IslamIndonesia.id—Benarkah Kartini Seorang “Syarifah” Keturunan Nabi?

Siapa tak kenal Raden Ajeng Kartini? Apalagi bila 21 April sebagai Hari Kartini telah tiba, hampir semua orang di negeri kita bakal mengingat kembali dan menyebut namanya. Dialah tokoh Perempuan Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan wanita pribumi sejak masa kolonial dulu hingga kini.

Tercatat Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879, dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 di usia 25 tahun. Seorang kawan kolumnis pun menyebut kematian Kartini sebagai kematian muda dalam kegelisahannya.

Selain identik dengan kostum kebaya dan kumpulan surat-suratnya dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, mungkin tak banyak orang yang tahu sisi lain “pemberontakan” Kartini pada apa yang disebutnya sebagai salah-kaprah dalam beragama.

Sebagai anak dari seorang Muslimah yang taat, Kartini tak dapat menerima mentah-mentah agama (dalam hal ini Islam) hanya semata-mata karena kedua orang tuanya Muslim. Beragama bagi Kartini ternyata bukan sekadar bisa membaca isi kitab suci Alquran. Dia ingin menyelami pelik-pelik makna di dalam Kitab Suci itu dan mempraktikkannya sebagai amal sosial di tengah masyarakat tempat dia hidup terkungkung kala itu.

Fragmen singkat “pemberontakan” itu setidaknya sedikit tergambar ketika dalam sebuah acara pengajian di rumah Bupati Demak yang sekaligus paman Kartini, Pangeran Ario Hadiningrat, ulama terkemuka masa itu, Kiai Sholeh Darat sedang memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Bagaimana tampak jelas Kartini tertegun, dan sepanjang pengajian dengan tekun ditangkapnya kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Maklumlah, karena kala itu Kartini hanya bisa membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu lebih jauh.

Tak puas dengan apa yang didengar, sekaligus dialaminya selama ini, usai pengajian ditemani pamannya, Kartini pun menemui dan bertanya kepada Kiai Sholeh Darat, “Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya seorang berilmu yang menyembunyikan ilmunya?”

Tak menyangka bakal ditanya seperti itu, Kiai Sholeh balik bertanya, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”

“Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memaknai surah Al Fatihah yang isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. “Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog inilah yang konon telah menggugah Kiai Sholeh melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Terjemahan ayat demi ayat, juz demi juz. Hingga juz ke-13 yang kemudian diberikannya sebagai hadiah istimewa di momen pernikahan Kartini. Kartini pun menyebut hadiah ini sebagai kado pernikahan yang tak ternilai harganya. Kado istimewa yang takkan mampu dinilai manusia.

Itulah sekilas sisi lain sosok religius Kartini yang belakangan mulai mngemuka, setelah puluhan tahun mengendap dan kita cenderung hanya mengenalnya sebagai Pahlawan Emansipasi Wanita Indonesia.

Tahulah kita kini bahwa ternyata Kartini bukan sekadar sosok Kartini yang selama ini “kadung” terlanjur kita kenal. Sebab apa yang digugat Kartini kepada Kiai Sholeh itu, menjadi lebih jelas lagi ketika dalam salah satu surat yang ditulisnya kepada teman Eropanya, Kartini menyatakan secara lugas dan terus terang sebuah fakta pahit kehidupannya sebagai Muslimah ningrat di zamannya.

“Sebenarnya agamaku Islam hanya karena nenek moyangku Islam. Manakah dapat aku cinta dengan agamaku kalau aku tidak kenal, tiada boleh mengenalnya. Al-Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Orang di sini membaca Al-Qur’an tapi yang dibacanya tiada ia mengerti,” tulis Kartini kepada sahabat pena non-Muslimnya yang bernama Stella.

**

Spekulasi pun mulai bermunculan. Benarkah sejatinya Kartini bukan golongan Muslimah “ningrat” Jawa biasa, melainkan lebih dari itu dia adalah seorang “Syarifah” keturunan Nabi?

Jika tidak, kenapa dalam dirinya “bersinar” kesadaran ilahiah semacam itu di tengah kaumnya yang kala itu bisa dikata dalam posisi lemah dan teraniaya? Seperti tertulis dalam buku sejarah, bukankah kaum perempuan dan para istri kala itu hampir kehilangan hak-hak dasarnya untuk berpendapat apalagi menggugat, di tengah dominasi kaum pria yang menjadikan poligami sebagai sebuah “kewajiban” yang tak boleh ditentang?

Lalu mengapa Kartini jauh berbeda pandangan seolah melampaui zamannya? Keistimewaan macam apa yang bersemayam dalam dirinya?

Belakangan ini sekumpulan pertanyaan itu banyak ditanyakan orang setelah kembali beredar luas di media sosial pohon Silsilah Keturunan lengkap Kartini yang secara genealogis konon bersambung kepada Rasulullah saw, seperti berikut ini:

R.A.A Kartini Djojohadiningrat binti 1. R.M.A.A Sosroningrat (Bupati Jepara menikah dengan M.A Ngasirah) bin 2. Pangeran Ario Tjondronegoro IV (Bupati Demak) bin 3. Adipati Tjondronegoro III (Bupati Kudus) bin 4. Adipati Tjondronegoro II (Bupati Pati) bin 5. Adipati Tjondronegoro I (Bupati Surabaya) bin 6. Pangeran Onggojoyo bin 7. Lanang Dangiran @ Kyai Ageng Brondong Botoputih @ Syaikhul Bachri bin 8. Kendal Wesi @ Kyai Sholeh bin 9. Pangeran Ujung Pangkah II @ Abdul Haqq bin 10. Pangeran Ujung Pangkah I @ Muhammad Sirrullah bin 11. Sunan Kulon @ Ali Khoirol Fathihin bin 12. Sunan Giri I @ Muhammad Ainul Yaqin bin 13. Maulana Ishak bin 14. Ibrahim Asmara / Ibrahim Zainuddin Akbar bin 15. Husein Jamaluddin Akbar bin 16. Ahmad Jalaluddin bin 17. Abdullah Azmatkhan bin 18. Abdul Malik Azmatkhan bin 19. Alwi Ammil Faqih bin 20. Muhammad Sahib Mirbath bin 21. Ali khali Qasam bin 22. Alwi bin 23. Muhammad bin 24. Alwi bin 25. Ubaidillah bin 26. Ahmad Al-Muhajir bin 27. Isa Al-Rummi bin 28. Muhammad An-Naqib bin 29. Ali Uraidh bin 30. Ja’far Ash-Shadiq bin 31. Muhammad Al-Baqir bin 32. Ali Zainal Abidin bin 33. Sayyidina Hussein bin 34. Ali bin Abi Thalib + Fathimah Azzahra binti 35. Muhammad Rasulullah saw.

Silsilah yang beredar luas di medsos beberapa hari terakhir itu konon berasal dari keluarga Data Nasab Robithoh Azmatkhan Asia Tenggara dan Kesultanan Banten. Tentu banyak yang meragukan informasi ini, lantaran memang tidak pernah diverifikasi secara ilmiah.

Lalu, benarkah Kartini seorang Syarifah Keturunan Nabi? Pertanyaan seperti ini di zaman sekarang ternyata lebih mudah dijawab. Lewat suatu penelusuran DNA yang ilmiah persoalan silsilah ini nyaris dapat dituntaskan, setidaknya mengikuti kaidah-kaidah ilmiah paling mutakhir. Ada istilah khusus ihwal ilmu untuk melacak pohon silsilah atau genealogi ini, yakni genografik. Ilmu ini belakangan menjadi pusat perhatian publik setelah berhasil menemukan DNA Ridhard III lewat pelacakan DNA di Kanada.

Riset ilmiah terkait asal-usul lewat pelacakan DNA yang berkembang di sejumlah negara Barat, terutama di AS, sekarang memang sedang banyak digandrungi. Ada banyak alasan, setidaknya alasan ekonomi, yakni hak waris dan previlese yang mungkin dapat diraih melalui cara ini. Dengan biaya tidak terlalu mahal, maka pelbagai spekulasi asal-usul seputar tokoh-tokoh nasional yang kerap beredar luas di kalangan masyarakat sebenarnya lebih mudah dipecahkan secara ilmiah dan teruji.

 

EH&AJ-/IslamIndonesia/Sumber: wikipedia, geotimes.co.id, familytreedna.com & nationalpost.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *